Gaok Mencari Pewaris

Kamis, 18 Februari 2021 - 15:21 WIB
Selain pelaku seni seperti Aki Rukmin, keberadaan naskah menjadi bukti peninggalan seni sunda karuhun (lama) yang hingga saat ini masih bertahan. Aki Rukmin yang berperan sebagai dalang Gaok, menguasai berbagai jenis pupuhnya, di mana yang sering dia bawakan antara lain Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.

"Lagu-lagu itu harus purwakanti (repetisi yang sama), kalau ga gitu, ga enak didengar, kapan suara sedang, besar kecil, susah," kata Aki Rukmin menegaskan.

Jika diibaratkan, Gaok sebagai pekerjaan menyanyi yang dimainkan empat sampai enam orang yang dipimpin dalang. Gaok merupakan seni dengan model partisipatif dan saling berbalas. "Yang baca cerita itu dalang, kemudian dilanjut sampe habis pupuh itu ya ketujuh personel itu. Dangding pupuhnya harus hapal semua. Nah sekarang mencari personel yang bisa pupuh itu yang susah, kebetulan di sini tinggal ini doang yang masih eksis," kata Andi, personel Gaok lainnya, ikut menimpali.

Tidak semata sumber daya manusia, pengelolaan koleksi naskah wawacan juga menjadi sorotan. Pasalnya, naskah wawacan asli yang ada, tidak lebih tua dari umur perjalanan Aki Rukmin menggeluti Gaok. "Aksara Arab, ini buatan tahun 61-62. disebutnya Aksara Pegon, dibikinnya sebaris oleh mantan sekretaris Desa Wangsadihardja," katanya.

Selain lapuk karena materialnya, wawacan asli dengan Aksara Pegon yang disodorkan Aki Rukmin pada saya, memang terlihat kurang terawat. Robek di beberapa sisi, pudar di beberapa bagian halamannya. Bahkan, sebagian di antaranya malah hilang tidak kembali akibat peminjaman. Alih bahasa yang dilakukan beberapa peneliti yang concern dengan manuskrip sastra kuno, tetapi itupun dirasa belum cukup.

"Iya ini tos dialihkeun (dipindahkan ke Aksara Latin) sabait sabaris, diterjemahkan iyeu," ujar Aki Rukmin sambil menunjuk buku penelitian tebal milik mahasiswa yang meneliti wawacan Samun.

Mencari Pewaris Gaok

Seiring perkembangan zaman, sejumlah persoalan menghadang seni Gaok. Kini masyarakat sudah banyak berubah. Konteks realitas yang ada, membuat Majalengka bukan kota kecil seperti dulu. Di berbagai wilayah, infrastruktur mulai dibangun. Pabrik-pabrik industri kini merambah daerah-daerah di Majalengka sebagai migrasi kepadatan di Ibu Kota. Jalan tol Cikampek-Palimanan atau (Cipali) menyeruak akses jalan dari dan menuju Majalengka. Pun kemajuan teknologi berangsur membuka akses informasi bagi desa-desa tradisional yang selama ini tertutup. Eksesnya, pedesaan dengan masyarakat agronya, beranjak dari kultur lamanya. Bekerja di kota, berinteraksi, mengubah konteks sosial budaya yang ada.

Imbas dari realitas kehidupan yang ada, membuat Gaok tidak lagi berkembang. Yang terasa, pementasan Gaok jauh berkurang. Bahkan tradisi masyarakat yang biasanya mengundang Gaok untuk tampil, tidak lagi dilakukan.

Diakui Aki Rukmin, penampilan Gaok melorot jauh. Jika ada undangan mengisi hajatan atau tampil, itu pun untuk keperluan penelitian semata. Keluhan Aki Rukmin seiring dengan turunnya minat terhadap Gaok. Gaok dianggap old-fashion. Sebagai hiburan, Gaok dianggap monoton. Seninya orang tua. Realitas yang juga disadari oleh Aki Rukmin. Regenerasi yang ia coba lakukan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More