Nasib Buram Buku Indonesia
Senin, 18 Mei 2020 - 06:34 WIB
Selain karena rendahnya minat baca, akses mendapatkan buku juga tidak mendukung. Menurut dia, terjadinya darurat literasi di mayoritas daerah di Indonesia terjadi karena masyarakat tidak mengakses perpustakaan, tidak baca buku, rumah tangga juga tidak menyediakan koran dan majalah.
“Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta tidak tersedianya perpustakaan. Dan, riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat. Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja enggak ada, bagaimana mau literate,” imbuh Doni.
Untuk memacu minat baca, Doni mendorong gerakan bersama masyarakat membaca. Menurut dia, selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional, tapi arahnya sebatas memberikan akses dengan bagi-bagi buku atau membuat perpustakaan keliling. Dia berharap gerakan lebih bisa mendorong budaya membaca di semua lapisan masyarakat secara konkret.
“Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat enggak ada kebiasaan membaca. Makannya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarakat itu bisa membaca,” katanya.
Pangesti Wiedarti menekankan, jika ingin memajukan multiliterasi bangsa, maka gerakan literasi masyarakat harus didukung dengan budaya baca. Menurut dia, budaya baca ini hanya akan bisa terwujud jika buku yang beredar di masyarakat beraneka ragam. “Terbitkan banyak buku, beri keleluasaan bagi penerbit untuk berkiprah,” ujarnya. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Dari Dulu Sampai Sekarang Nasib Buku Apes)
Dia juga menekankan pentingnya memperbanyak perpustakaan hingga ke tingkat RW. Dalam pandangannya, pemerintah bisa menyisihkan alokasi dana desa untuk pembelian buku yang bisa ditaruh di taman buku masyarakat sehingga warga desa dari segala usia bisa membaca buku yang diminatinya.
Pangesti juga melihat pentingnya pemberian insentif untuk industri perbukuan sehingga mereka bisa membuat buku yang terjangkau. Dia mencontohkan Pemerintah India yang membebaskan pajak buku dan mengatur harga kertas cetak agar bisa murah.
“Selain itu, para pemimpin negeri juga harus memberi contoh teladan membaca. Mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah harus jadi teladan membaca agar SDM Indonesia meningkat sesuai harapan Nawacita,” ujarnya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rosalina berharap pemerintah baik pusat maupun daerah lebih memberikan perhatian pada industri penerbitan buku yang terdampak cukup keras akibat wabah corona ini agar bisa segera bangkit kembali.
Rosidayati menjelaskan, dampak dari pandemi Covid-19 yang dirasakan penerbit di Indonesia beragam bentuknya. Antara lain, penjualan buku yang anjlok karena tutupnya toko-toko buku dan sekolah, produktivitas karyawan merosot karena WFH, penerbit menghentikan produksi buku, dan merumahkan karyawan untuk mengurangi beban perusahaan.
“Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta tidak tersedianya perpustakaan. Dan, riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat. Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja enggak ada, bagaimana mau literate,” imbuh Doni.
Untuk memacu minat baca, Doni mendorong gerakan bersama masyarakat membaca. Menurut dia, selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional, tapi arahnya sebatas memberikan akses dengan bagi-bagi buku atau membuat perpustakaan keliling. Dia berharap gerakan lebih bisa mendorong budaya membaca di semua lapisan masyarakat secara konkret.
“Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat enggak ada kebiasaan membaca. Makannya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarakat itu bisa membaca,” katanya.
Pangesti Wiedarti menekankan, jika ingin memajukan multiliterasi bangsa, maka gerakan literasi masyarakat harus didukung dengan budaya baca. Menurut dia, budaya baca ini hanya akan bisa terwujud jika buku yang beredar di masyarakat beraneka ragam. “Terbitkan banyak buku, beri keleluasaan bagi penerbit untuk berkiprah,” ujarnya. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Dari Dulu Sampai Sekarang Nasib Buku Apes)
Dia juga menekankan pentingnya memperbanyak perpustakaan hingga ke tingkat RW. Dalam pandangannya, pemerintah bisa menyisihkan alokasi dana desa untuk pembelian buku yang bisa ditaruh di taman buku masyarakat sehingga warga desa dari segala usia bisa membaca buku yang diminatinya.
Pangesti juga melihat pentingnya pemberian insentif untuk industri perbukuan sehingga mereka bisa membuat buku yang terjangkau. Dia mencontohkan Pemerintah India yang membebaskan pajak buku dan mengatur harga kertas cetak agar bisa murah.
“Selain itu, para pemimpin negeri juga harus memberi contoh teladan membaca. Mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah harus jadi teladan membaca agar SDM Indonesia meningkat sesuai harapan Nawacita,” ujarnya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rosalina berharap pemerintah baik pusat maupun daerah lebih memberikan perhatian pada industri penerbitan buku yang terdampak cukup keras akibat wabah corona ini agar bisa segera bangkit kembali.
Rosidayati menjelaskan, dampak dari pandemi Covid-19 yang dirasakan penerbit di Indonesia beragam bentuknya. Antara lain, penjualan buku yang anjlok karena tutupnya toko-toko buku dan sekolah, produktivitas karyawan merosot karena WFH, penerbit menghentikan produksi buku, dan merumahkan karyawan untuk mengurangi beban perusahaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda