Nasib Buram Buku Indonesia
Senin, 18 Mei 2020 - 06:34 WIB
JAKARTA - “Buku apa saja yang Anda baca selama masa pandemi ini?” demikian ucapan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam akun sosial medianya untuk menyambut Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei kemarin.
Secara tersirat melalui pernyataan tersebut mantan wali Kota Solo ini meyakini masyarakat mempunyai banyak waktu di rumah selama masa pandemi korona (Covid-19) berlangsung dan meluangkan sebagian waktu tersebut untuk lebih banyak membaca buku ketimbang hari biasa. Benarkah demikian? Inilah pertanyaannya.
Secara faktual apa yang disampaikan Jokowi benar adanya. Fakta tersebut bisa diverifikasi melalui lonjakan penjualan buku secara internasional, baik buku fisik maupun e-book, selama masa pandemi korona ini. Tapi, apakah hal tersebut serta-merta mencerminkan kondisi di Indonesia?
Jika dilihat fakta yang ada selama ini, nasib dunia perbukuan di Tanah Air masih sangat memprihatinkan. Kondisinya seiring sejalan dengan lemahnya animo membaca masyarakat. Karena itu, seluas apa pun waktu yang dimiliki, tidak akan berpengaruh signifikan karena rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Indeks Literasi Baca Masyarakat yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019 menyebut bahwa 80% provinsi Indonesia darurat literasi baca karena minimnya akses. PISA 2018 menahbiskan fakta ini dengan memberi skor 371 kepada Indonesia. Bandingkan dengan rerata kemampuan membaca negara maju yang mencapai skor 485. (Baca: Selamatkan Buku, Harus Ada Gerakan Bersama Membaca)
Terpuruknya minat membaca dan nasib buku Tanah Air diakui pengamat pendidikan Doni Koesuma dan Ketua Pusat Kreativitas Literasi dan Pembelajaran Sepanjang Hayat LPPM Universitas Negeri Yogyakarta Pangesti Wiedarti. Menurut mereka, baik buka kertas maupun digital sama-sama sepi pembacanya.
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital, tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Dia mencontohkan buku digital di grup media sosialnya. Dia mengungkapkan, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya.
“Kalau ada buku, mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, enggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Secara tersirat melalui pernyataan tersebut mantan wali Kota Solo ini meyakini masyarakat mempunyai banyak waktu di rumah selama masa pandemi korona (Covid-19) berlangsung dan meluangkan sebagian waktu tersebut untuk lebih banyak membaca buku ketimbang hari biasa. Benarkah demikian? Inilah pertanyaannya.
Secara faktual apa yang disampaikan Jokowi benar adanya. Fakta tersebut bisa diverifikasi melalui lonjakan penjualan buku secara internasional, baik buku fisik maupun e-book, selama masa pandemi korona ini. Tapi, apakah hal tersebut serta-merta mencerminkan kondisi di Indonesia?
Jika dilihat fakta yang ada selama ini, nasib dunia perbukuan di Tanah Air masih sangat memprihatinkan. Kondisinya seiring sejalan dengan lemahnya animo membaca masyarakat. Karena itu, seluas apa pun waktu yang dimiliki, tidak akan berpengaruh signifikan karena rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Indeks Literasi Baca Masyarakat yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019 menyebut bahwa 80% provinsi Indonesia darurat literasi baca karena minimnya akses. PISA 2018 menahbiskan fakta ini dengan memberi skor 371 kepada Indonesia. Bandingkan dengan rerata kemampuan membaca negara maju yang mencapai skor 485. (Baca: Selamatkan Buku, Harus Ada Gerakan Bersama Membaca)
Terpuruknya minat membaca dan nasib buku Tanah Air diakui pengamat pendidikan Doni Koesuma dan Ketua Pusat Kreativitas Literasi dan Pembelajaran Sepanjang Hayat LPPM Universitas Negeri Yogyakarta Pangesti Wiedarti. Menurut mereka, baik buka kertas maupun digital sama-sama sepi pembacanya.
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital, tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Dia mencontohkan buku digital di grup media sosialnya. Dia mengungkapkan, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya.
“Kalau ada buku, mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, enggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda