Istana Minta Publik Kritis, Ulil Abshar Sebut Banyak Pengkritik Kena UU ITE
Selasa, 09 Februari 2021 - 13:24 WIB
JAKARTA - Presiden Joko Widodo meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI saat Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Pernyataan senada juga disampaikan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung yang menyebutkan bahwa pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers. Pramono mengibaratkan kritik media massa ini sebagai jamu.
"Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan lebih benar," kata Pramono dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2021 dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2/2021).
Cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla mengatakan, publik sudah tidak percaya dengan pernyataan Istana yang meminta agar masyarakat kritis. Faktanya, banyak kritik yang disampaikan ke pemerintah ujungnya dilaporkan dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
"Publik sudah ndak percaya. Para pengkritik banyak dilaporkan dg menggunakan UU ITE," cuit Ulil di akun Twitter @ulil, dikutip, Selasa (9/2/2021).
Sementara itu, sutradara, aktivis sekaligus jurnalis senior yang sering membuat jurnalisme investigasi dengan mengeluarkan produk jurnalistik berupa tulisan ataupun film dokumenter, Dandhy Dwi Laksono mengomentari pernyataan Istana tersebut dengan cuitan saat dirinya ditangkap pada 26 September 2019 atas tuduhan menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Bahkan, penangkapan itu dilakukan hanya sesaat setelah Jokowi menyatakan komitmennya untuk menegakkan demokrasi di Indonesia pada 26 September 2019 sore. Jokowi menyebut kebebasan pers hingga menyampaikan pendapat adalah pilar demokrasi yang harus terus bersama-sama dijaga dan dipertahankan. "Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi)," kata Jokowi saat bertemu dengan puluhan tokoh, mulai dari akademisi, seniman, hingga budayawan, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2021).
Lewat akun Twitter-nya @Dandhy_Laksono, aktivis yang dikenal kritis ini mencuit, "26 September sore: "Jangan ragukan komitmen saya jaga demokrasi". 26 September malam, saya ditangkap. 27 September subuh, Ananda Badudu."
Cuitan itu mengomentari pernyataan Jokowi agar masyarakat kritis dan memberi masukan positif kepada pemerintah. Dandhy juga mengunggah ulang sejumlah link pemberitaan mengenai kasus-kasus hukum terkait UU ITE.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI saat Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Pernyataan senada juga disampaikan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung yang menyebutkan bahwa pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers. Pramono mengibaratkan kritik media massa ini sebagai jamu.
"Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan lebih benar," kata Pramono dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2021 dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2/2021).
Cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla mengatakan, publik sudah tidak percaya dengan pernyataan Istana yang meminta agar masyarakat kritis. Faktanya, banyak kritik yang disampaikan ke pemerintah ujungnya dilaporkan dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
"Publik sudah ndak percaya. Para pengkritik banyak dilaporkan dg menggunakan UU ITE," cuit Ulil di akun Twitter @ulil, dikutip, Selasa (9/2/2021).
Sementara itu, sutradara, aktivis sekaligus jurnalis senior yang sering membuat jurnalisme investigasi dengan mengeluarkan produk jurnalistik berupa tulisan ataupun film dokumenter, Dandhy Dwi Laksono mengomentari pernyataan Istana tersebut dengan cuitan saat dirinya ditangkap pada 26 September 2019 atas tuduhan menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Baca Juga
Bahkan, penangkapan itu dilakukan hanya sesaat setelah Jokowi menyatakan komitmennya untuk menegakkan demokrasi di Indonesia pada 26 September 2019 sore. Jokowi menyebut kebebasan pers hingga menyampaikan pendapat adalah pilar demokrasi yang harus terus bersama-sama dijaga dan dipertahankan. "Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi)," kata Jokowi saat bertemu dengan puluhan tokoh, mulai dari akademisi, seniman, hingga budayawan, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2021).
Lewat akun Twitter-nya @Dandhy_Laksono, aktivis yang dikenal kritis ini mencuit, "26 September sore: "Jangan ragukan komitmen saya jaga demokrasi". 26 September malam, saya ditangkap. 27 September subuh, Ananda Badudu."
Cuitan itu mengomentari pernyataan Jokowi agar masyarakat kritis dan memberi masukan positif kepada pemerintah. Dandhy juga mengunggah ulang sejumlah link pemberitaan mengenai kasus-kasus hukum terkait UU ITE.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda