Jokowi Minta Masyarakat Aktif Beri Kritikan, Pengamat Anggap Cuma Ingin Pulihkan Citra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyatakan, pidato Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat lebih aktif memberi kritik terhadap pemerintah, khususnya yang terkait dengan pelayanan publik, bisa dilihat sebagai upaya pulihkan citra.
Ray menilai, pidato tersebut sekadar memulihkan citra yang terus merosot di mata masyarakat. "Setidaknya hal ini terungkap dalam hasil survei IPI Februari 2021," ujar Ray kepada SINDOnews, Selasa (9/2/2021).
Ray mengatakan, mengapa pidato Jokowi sekadar ingin memulihkan citra. Pertama, tidak ada pembenahan terhadap alur komunikasi kepada presiden, khususnya di lingkungan Istana Negara. Sebab, begitu melimpah berbagai kritik publik terhadap pemerintah, khususnya di masa priode kedua Jokowi, yang disampaikan di berbagai sarana yang tersedia.
"Sejak revisi UU KPK, penetapan UU Omnibus Law, pembubaran FPI, pemolisian pandangan kritis, termasuk berbagai pemberitaan menurunnya hampir semua indikasi negara demokratis kita, baik dari data pemeringkat global, maupun dari dalam negeri sendiri," tutur dia.
Ray mengatakan, kritik tentang makin lemahnya perhatian pemerintah pada penguatan HAM, kebebasan berekspresi dan berpendapat, menguatnya kolusi dan nepotisme politik tak henti-henti disuarakan. "Apakah berbagai kritik ini tidak sampai ke presiden? Jika tidak, di mana terhambatnya? Jika sampai, apakah memang ada atensi pemerintah atas berbagai kritik itu," imbuhnya.
Kedua, penertiban apa yang selama ini diresahkan masyarakat. Yakni serangan buzzer bagi mereka yang menyatakan pandangan berbeda dan mengkritik. Tanpa penertiban para buzzer, kritik yang jernih sekalipun akan berbuah bully-an. Serangan para buzzer tidak sekadar hendak merontokkan argumen para pengkritik, bahkan lebih jauh dari itu, masuk ke ranah pribadi para kritikus.
Baca juga: Kwik Kian Gie Ketakutan, Pemerintah Diminta Tertibkan Buzzer
"Para kritikus ditempatkan seperti warga yang hanya hendak mengacau, anti ini itu, dan sekarang berkembang dengan cap sebagai kadrun, pendukung khilafah dan anti-Pancasila. Yang pada ujungnya, bukan saja berpotensi membungkam para pengkritik tapi bahkan membuat luka baru: pengelompokan warga negara sebagai kelompok ini atau kelompok itu," ujarnya.
Ketiga, kata Ray, memperbaiki cara pandang aparat penegak hukum agar lebih peduli dan mengembangkan kebebasan bersuara warga negara. Penegakan hukum yang cepat kepada beberapa orang yang menyatakan sikap berbeda dengan pandangan dan kebijakan pemerintah akan memberi efek psikologis pada warga.
Dia menyebut, seperti sekarang yang dialami oleh Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Dalam hal ini, Presiden harus terus mengingatkan betapa pentingnya menjaga dan memelihara kebebasan berpendapat, bersuara dan bersikap. Kata bijak yang disampaikan oleh Habibie dan Jimly Asshiddiqie sangat layak dikembangkan dan digaungkan: hukum dan pidanakanlah para penjahat, bukan mereka yang berbeda sikap.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
Ray menilai, pidato tersebut sekadar memulihkan citra yang terus merosot di mata masyarakat. "Setidaknya hal ini terungkap dalam hasil survei IPI Februari 2021," ujar Ray kepada SINDOnews, Selasa (9/2/2021).
Ray mengatakan, mengapa pidato Jokowi sekadar ingin memulihkan citra. Pertama, tidak ada pembenahan terhadap alur komunikasi kepada presiden, khususnya di lingkungan Istana Negara. Sebab, begitu melimpah berbagai kritik publik terhadap pemerintah, khususnya di masa priode kedua Jokowi, yang disampaikan di berbagai sarana yang tersedia.
"Sejak revisi UU KPK, penetapan UU Omnibus Law, pembubaran FPI, pemolisian pandangan kritis, termasuk berbagai pemberitaan menurunnya hampir semua indikasi negara demokratis kita, baik dari data pemeringkat global, maupun dari dalam negeri sendiri," tutur dia.
Ray mengatakan, kritik tentang makin lemahnya perhatian pemerintah pada penguatan HAM, kebebasan berekspresi dan berpendapat, menguatnya kolusi dan nepotisme politik tak henti-henti disuarakan. "Apakah berbagai kritik ini tidak sampai ke presiden? Jika tidak, di mana terhambatnya? Jika sampai, apakah memang ada atensi pemerintah atas berbagai kritik itu," imbuhnya.
Kedua, penertiban apa yang selama ini diresahkan masyarakat. Yakni serangan buzzer bagi mereka yang menyatakan pandangan berbeda dan mengkritik. Tanpa penertiban para buzzer, kritik yang jernih sekalipun akan berbuah bully-an. Serangan para buzzer tidak sekadar hendak merontokkan argumen para pengkritik, bahkan lebih jauh dari itu, masuk ke ranah pribadi para kritikus.
Baca juga: Kwik Kian Gie Ketakutan, Pemerintah Diminta Tertibkan Buzzer
"Para kritikus ditempatkan seperti warga yang hanya hendak mengacau, anti ini itu, dan sekarang berkembang dengan cap sebagai kadrun, pendukung khilafah dan anti-Pancasila. Yang pada ujungnya, bukan saja berpotensi membungkam para pengkritik tapi bahkan membuat luka baru: pengelompokan warga negara sebagai kelompok ini atau kelompok itu," ujarnya.
Ketiga, kata Ray, memperbaiki cara pandang aparat penegak hukum agar lebih peduli dan mengembangkan kebebasan bersuara warga negara. Penegakan hukum yang cepat kepada beberapa orang yang menyatakan sikap berbeda dengan pandangan dan kebijakan pemerintah akan memberi efek psikologis pada warga.
Dia menyebut, seperti sekarang yang dialami oleh Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Dalam hal ini, Presiden harus terus mengingatkan betapa pentingnya menjaga dan memelihara kebebasan berpendapat, bersuara dan bersikap. Kata bijak yang disampaikan oleh Habibie dan Jimly Asshiddiqie sangat layak dikembangkan dan digaungkan: hukum dan pidanakanlah para penjahat, bukan mereka yang berbeda sikap.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
(zik)