Wartawan Zaman Telex sampai 'Teler'
Jum'at, 05 Februari 2021 - 05:05 WIB
Pada 1987 muncul alat mengherankan, faksimile. Bisa kirim copy lembaran kertas berisi persis dengan aslinya. Ini sangat membantu kerja wartawan untuk mengirim laporannya dari luar kota ke redaksi. Mesin faksimile pernah menjadi kebutuhan utama banyak kantor dan dipakai bukan sekadar pajangan seperti telex. Tetapi bertanya kepada generasi kelahiran 2005, sebagian besar, tidak mengenal mesin faksimile. Banyak kantor sudah tidak menggunakan. Tanda mesin faksimile tinggal kenangan.
Ketika mesin faksimile baru muncul, saya kembali ke loket warung telepon dan telegram di Djakarta Theatre. Sudah ada mesin faksimile di sana. Tetapi ketika menunjukkan lembar berisi ketikan berita dua halaman penuh, sengaja menggunakan format satu spasi agar padat, petugas loket kaget. Ditolak. Alasannya Telkom bisa rugi karena hanya butuh sekian detik pulsa untuk mesin faksimile mengirim berita sepanjang itu yang sebelumnya dengan menggunakan telex bisa sampai sepuluh menit pulsa SLJJ (sambungan langsung jarak jauh).
Petugas wartel (warung telekomunikasi) tetap minta bayar per kata. Saya kembali ke mesin telex lagi. Tidak lama kemudian muncul banyak wartel menyediakan jasa saluran telepon dan mesin faksimile, berkembang menjadi warnet (warung internet), sekarang jadi usaha permainan game.
Mesin panggil pager terkenal dengan merek Starco sudah dipakai sejumlah dokter pada 1982-an. Dokter di rumah sakit mahal kawasan Menteng menyelipkan alat sebesar tempe goreng di pinggangnya. Ada nada panggil berisi short message service (SMS), mohon ke klinik ada pasien butuh pertolongan. Pager sangat membantu wartawan pada dekade 90-an. Pada 2000-an pedagang sayur keliling banyak pakai untuk info pesanan sayuran ibu-ibu rumah tangga. Tetapi tidak lama kemudian pager dilibas telepon genggam dan membuat operator pager nyungsep.
Pager pasangannya telepon umum. Telepon rumah termasuk sulit didapat. Kalaupun sanggup bayar tetapi jaringan kabel telepon belum ada ke wilayah peminat. Pemasangan telepon rumah dibuka banyak saat Soesilo Soedarman menjabat Menteri Telkom pada awal dekade 90-an. Banyak wartawan menghubungi narasumber lebih dahulu dengan mengirim pesan permohonan wawancara melalui pager narasumber. Antre menggunakan telepon umum untuk menelepon ke operator pager meminta pesan diteruskan ke pager narasumber. Tunggu sejenak di sekitar lokasi telepon umum berharap pesan dijawab dan bisa segera telepon balik. Ditunggu tidak ada pesan masuk, maka pilihannya meninggalkan lokasi telepon umum. Baru satu kilometer jalan terdengar nada panggil pada pager, ada pesan dari nara sumber: siap diwawancara, ingin ketemu jam berapa? Wartawan balik lagi ke telepon umum untuk menjawab pesan. Antre lagi.
Mesin Ketik
Selain pernah sebagai wartawan liputan bidang olahraga, kriminal, musik, dan politik, saya juga selama lima tahun menjadi fotografer jurnalistik. Tentu masih menggunakan film roll, belum ada digital. Foto di media masih hitam putih. Sebagai wartawan foto harus bisa mencetak sendiri hasil jepretan warna hitam putih. Menjadi wartawan foto lumayan ribet. Jika bepergian harus membawa cangkir proses film, obat film dan enlarger (lihat Google) alat pencetak foto lumayan besar. Kamar mandi hotel selalu disulap menjadi kamar gelap tempat proses cetak film. Penting, koordinasi dengan teman sekamar jangan membuka pintu kamar mandi walau penting. Jika pintu dibuka, tiba-tiba sinar masuk, maka film terbakar dan tiada hasil foto lagi. Hangus, nangis!
Masih ada lagi alat pengirim foto ke redaksi dikenal dengan mesin telephoto. Ukurannya sebesar doz air mineral gelas lumayan berat. Pengiriman foto ke redaksi menggunakan jaringan telepon dan lama. Kadang petugas hotel sampai bertanya meyakinkan, apakah benar memakai jaringan telepon hotel untuk SLJJ begitu lama? Hanya media besar menggunakan alat ini. Serbamahal dari harga dan pengoperasiannya.
Sebagian orang mulai menggunakan laptop pada 90-an tetapi baru segelintir karena mahal. Sebelumnya adalah pemandangan umum wartawan menenteng mesin ketik portable dengan merek Brother, Olympia, Oliveti, dan lain-lainnya. Itu sudah gagah karena harganya lumayan mahal. Berat karena terbuat dari besi tetapi masuk ranah praktis. Seru, ketika usai acara, misal pertandingan olahraga bulu tangkis, puluhan wartawan masuk press room, konsentrasi, tidak ada yang bicara, hanya suara mesin ketik puluhan wartawan bersatu memenuhi ruangan. Dikejar deadline cetak.
Era surat elektronik atau e-mail dikenal banyak orang pada 2000-an meskipun sebelumnya sudah banyak yang pakai. Sekarang “semua” orang pakai e-mail untuk komunikasi. E-mail mampu menggantikan tugas “Pak Pos”, telephoto, telex, faksimile dan sebagainya. Sekarang zaman mudah dan murah. Namun, kemudahan dan banjir informasi yang terjadi saat ini juga dapat menimbulkan masalah jika tidak hati-hati. Tidak sedikit wartawan tergelincir dalam kemudahan ini karena “lupa” aturan berjurnalistik, bahkan ada yang tidak paham. Wartawan, memang, dituntut cepat dan tepat tetapi kode etik jurnalistik harus diutamakan. Tujuannya agar pers dan masyarakat “sehat”.
Ketika mesin faksimile baru muncul, saya kembali ke loket warung telepon dan telegram di Djakarta Theatre. Sudah ada mesin faksimile di sana. Tetapi ketika menunjukkan lembar berisi ketikan berita dua halaman penuh, sengaja menggunakan format satu spasi agar padat, petugas loket kaget. Ditolak. Alasannya Telkom bisa rugi karena hanya butuh sekian detik pulsa untuk mesin faksimile mengirim berita sepanjang itu yang sebelumnya dengan menggunakan telex bisa sampai sepuluh menit pulsa SLJJ (sambungan langsung jarak jauh).
Petugas wartel (warung telekomunikasi) tetap minta bayar per kata. Saya kembali ke mesin telex lagi. Tidak lama kemudian muncul banyak wartel menyediakan jasa saluran telepon dan mesin faksimile, berkembang menjadi warnet (warung internet), sekarang jadi usaha permainan game.
Mesin panggil pager terkenal dengan merek Starco sudah dipakai sejumlah dokter pada 1982-an. Dokter di rumah sakit mahal kawasan Menteng menyelipkan alat sebesar tempe goreng di pinggangnya. Ada nada panggil berisi short message service (SMS), mohon ke klinik ada pasien butuh pertolongan. Pager sangat membantu wartawan pada dekade 90-an. Pada 2000-an pedagang sayur keliling banyak pakai untuk info pesanan sayuran ibu-ibu rumah tangga. Tetapi tidak lama kemudian pager dilibas telepon genggam dan membuat operator pager nyungsep.
Pager pasangannya telepon umum. Telepon rumah termasuk sulit didapat. Kalaupun sanggup bayar tetapi jaringan kabel telepon belum ada ke wilayah peminat. Pemasangan telepon rumah dibuka banyak saat Soesilo Soedarman menjabat Menteri Telkom pada awal dekade 90-an. Banyak wartawan menghubungi narasumber lebih dahulu dengan mengirim pesan permohonan wawancara melalui pager narasumber. Antre menggunakan telepon umum untuk menelepon ke operator pager meminta pesan diteruskan ke pager narasumber. Tunggu sejenak di sekitar lokasi telepon umum berharap pesan dijawab dan bisa segera telepon balik. Ditunggu tidak ada pesan masuk, maka pilihannya meninggalkan lokasi telepon umum. Baru satu kilometer jalan terdengar nada panggil pada pager, ada pesan dari nara sumber: siap diwawancara, ingin ketemu jam berapa? Wartawan balik lagi ke telepon umum untuk menjawab pesan. Antre lagi.
Mesin Ketik
Selain pernah sebagai wartawan liputan bidang olahraga, kriminal, musik, dan politik, saya juga selama lima tahun menjadi fotografer jurnalistik. Tentu masih menggunakan film roll, belum ada digital. Foto di media masih hitam putih. Sebagai wartawan foto harus bisa mencetak sendiri hasil jepretan warna hitam putih. Menjadi wartawan foto lumayan ribet. Jika bepergian harus membawa cangkir proses film, obat film dan enlarger (lihat Google) alat pencetak foto lumayan besar. Kamar mandi hotel selalu disulap menjadi kamar gelap tempat proses cetak film. Penting, koordinasi dengan teman sekamar jangan membuka pintu kamar mandi walau penting. Jika pintu dibuka, tiba-tiba sinar masuk, maka film terbakar dan tiada hasil foto lagi. Hangus, nangis!
Masih ada lagi alat pengirim foto ke redaksi dikenal dengan mesin telephoto. Ukurannya sebesar doz air mineral gelas lumayan berat. Pengiriman foto ke redaksi menggunakan jaringan telepon dan lama. Kadang petugas hotel sampai bertanya meyakinkan, apakah benar memakai jaringan telepon hotel untuk SLJJ begitu lama? Hanya media besar menggunakan alat ini. Serbamahal dari harga dan pengoperasiannya.
Sebagian orang mulai menggunakan laptop pada 90-an tetapi baru segelintir karena mahal. Sebelumnya adalah pemandangan umum wartawan menenteng mesin ketik portable dengan merek Brother, Olympia, Oliveti, dan lain-lainnya. Itu sudah gagah karena harganya lumayan mahal. Berat karena terbuat dari besi tetapi masuk ranah praktis. Seru, ketika usai acara, misal pertandingan olahraga bulu tangkis, puluhan wartawan masuk press room, konsentrasi, tidak ada yang bicara, hanya suara mesin ketik puluhan wartawan bersatu memenuhi ruangan. Dikejar deadline cetak.
Era surat elektronik atau e-mail dikenal banyak orang pada 2000-an meskipun sebelumnya sudah banyak yang pakai. Sekarang “semua” orang pakai e-mail untuk komunikasi. E-mail mampu menggantikan tugas “Pak Pos”, telephoto, telex, faksimile dan sebagainya. Sekarang zaman mudah dan murah. Namun, kemudahan dan banjir informasi yang terjadi saat ini juga dapat menimbulkan masalah jika tidak hati-hati. Tidak sedikit wartawan tergelincir dalam kemudahan ini karena “lupa” aturan berjurnalistik, bahkan ada yang tidak paham. Wartawan, memang, dituntut cepat dan tepat tetapi kode etik jurnalistik harus diutamakan. Tujuannya agar pers dan masyarakat “sehat”.
Lihat Juga :
tulis komentar anda