Wartawan Zaman Telex sampai 'Teler'

Jum'at, 05 Februari 2021 - 05:05 WIB
loading...
Wartawan Zaman Telex sampai Teler
Eddy Koko (Foto: Istimewa)
A A A
Eddy Koko
Wartawan dan Mengajar Jurnalistik di FISIP Unsri Palembang

BERSYUKUR kepada Tuhan, saya diberi pengalaman menjadi wartawan dari zaman masih pakai mesin pengirim berita telex sampai era telepon seluler alias “teler”. Pada zaman teler ini banyak juga wartawan “teler” beneran karena mendapat informasi berlimpah. Saking banyaknya informasi sampai bingung mana harus dipilih dan lupa rambu-rambu jurnalistik.

Waktu masih zaman telex, untuk dapat informasi, relatif susah. Sekarang informasi datang sendiri. Bahkan, ada yang merasa tidak perlu wawancara narasumber karena si narasumber sudah ngoceh sendiri di media sosial. Dulu cari berita pontang-panting naik bus karena sepeda motor masih barang mahal. Tarif bus kota pada 1981-an jauh dekat sama Rp30. Makan nasi soto campur Rp75, kalau baru dapat honor menulis di koran, makan nasi soto pisah Rp125. Tiap hari naik bus kota, ada Pelita Mas Jaya, PPD, Gamadi, Mayasari Bhakti, jadi hafal tulisan di atas kemudi, “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”. Kalau Metromini tidak ada tulisan tersebut dan terkenal ugal-ugalan sejak dulu.

Sekarang ini banyak juga wartawan kebut-kebutan adu cepat tayang di portal atau media online-nya sampai rambu jurnalistik dan etikanya ditabrak. Verifikasi sebagai esensi dari jurnalisme dilupakan. Begitu sudah tayang ternyata salah, jurusnya gampang: hapus saja.

Sampai 1987, saya masih berkutat dengan mesin telex untuk kirim berita ke redaksi dari luar kota. Tentu sulit menemukan mesin telex di tempat umum. Biasanya perusahaan dengan banyak cabang kantor, seperti bank, kantor pemerintahan, perdagangan dan sebagainya memasang telex di kantor. Kantor telepon menyediakan jasa pengiriman, antara lain di bawah Djakarta Theatre, sebelah Gedung Sarinah, sekarang jadi restoran pizza dan lainnya tetapi biaya disamakan dengan tarif telegram, bayar per kata. Mahal! Sudah diakali menulis tidak pakai spasi biar jadi satu kata, misal: demikiandilaporkandarijakarta, operator tetap hitung empat kata.

Telegram dikenal untuk kirim kabar darurat. Contoh: ayah meninggal dunia harap segera pulang. Cukup segitu kalimatnya, irit kata agar murah. Menghindari tarif mahal di kantor telepon, maka saya pinjam telex di kantor-kantor milik kenalan untuk kirim berita ke redaksi.

Banyak mesin telex di kantor-kantor dipakai sesekali, bahkan ada yang tidak pernah terpakai. Dipasang sekadar gengsi atau siapa tahu suatu hari perlu. Tidak banyak yang bisa mengoperasikan mesin telex. Meskipun tidak lancar, saya bisa karena ada di redaksi koran tempat bekerja dan tertarik menggunakannya. Harus diketik dahulu dalam bentuk pita kertas membentuk kode huruf bolong-bolong. Satu halaman A4 bisa sampai tiga meter panjangnya. Usai menciptakan tulisan bolong, kemudian pita dipasang di relnya. Putar nomor telex penerima, setelah tersambung pita dijalankan memandu huruf mesin ketik pada telex. Hasil yang diterima di telex redaksi sudah dalam bentuk lembar kertas tulisan. Suara mesin telex lumayan berisik.

Era Faksimile
Pada 1987 muncul alat mengherankan, faksimile. Bisa kirim copy lembaran kertas berisi persis dengan aslinya. Ini sangat membantu kerja wartawan untuk mengirim laporannya dari luar kota ke redaksi. Mesin faksimile pernah menjadi kebutuhan utama banyak kantor dan dipakai bukan sekadar pajangan seperti telex. Tetapi bertanya kepada generasi kelahiran 2005, sebagian besar, tidak mengenal mesin faksimile. Banyak kantor sudah tidak menggunakan. Tanda mesin faksimile tinggal kenangan.

Ketika mesin faksimile baru muncul, saya kembali ke loket warung telepon dan telegram di Djakarta Theatre. Sudah ada mesin faksimile di sana. Tetapi ketika menunjukkan lembar berisi ketikan berita dua halaman penuh, sengaja menggunakan format satu spasi agar padat, petugas loket kaget. Ditolak. Alasannya Telkom bisa rugi karena hanya butuh sekian detik pulsa untuk mesin faksimile mengirim berita sepanjang itu yang sebelumnya dengan menggunakan telex bisa sampai sepuluh menit pulsa SLJJ (sambungan langsung jarak jauh).

Petugas wartel (warung telekomunikasi) tetap minta bayar per kata. Saya kembali ke mesin telex lagi. Tidak lama kemudian muncul banyak wartel menyediakan jasa saluran telepon dan mesin faksimile, berkembang menjadi warnet (warung internet), sekarang jadi usaha permainan game.

Mesin panggil pager terkenal dengan merek Starco sudah dipakai sejumlah dokter pada 1982-an. Dokter di rumah sakit mahal kawasan Menteng menyelipkan alat sebesar tempe goreng di pinggangnya. Ada nada panggil berisi short message service (SMS), mohon ke klinik ada pasien butuh pertolongan. Pager sangat membantu wartawan pada dekade 90-an. Pada 2000-an pedagang sayur keliling banyak pakai untuk info pesanan sayuran ibu-ibu rumah tangga. Tetapi tidak lama kemudian pager dilibas telepon genggam dan membuat operator pager nyungsep.

Pager pasangannya telepon umum. Telepon rumah termasuk sulit didapat. Kalaupun sanggup bayar tetapi jaringan kabel telepon belum ada ke wilayah peminat. Pemasangan telepon rumah dibuka banyak saat Soesilo Soedarman menjabat Menteri Telkom pada awal dekade 90-an. Banyak wartawan menghubungi narasumber lebih dahulu dengan mengirim pesan permohonan wawancara melalui pager narasumber. Antre menggunakan telepon umum untuk menelepon ke operator pager meminta pesan diteruskan ke pager narasumber. Tunggu sejenak di sekitar lokasi telepon umum berharap pesan dijawab dan bisa segera telepon balik. Ditunggu tidak ada pesan masuk, maka pilihannya meninggalkan lokasi telepon umum. Baru satu kilometer jalan terdengar nada panggil pada pager, ada pesan dari nara sumber: siap diwawancara, ingin ketemu jam berapa? Wartawan balik lagi ke telepon umum untuk menjawab pesan. Antre lagi.

Mesin Ketik
Selain pernah sebagai wartawan liputan bidang olahraga, kriminal, musik, dan politik, saya juga selama lima tahun menjadi fotografer jurnalistik. Tentu masih menggunakan film roll, belum ada digital. Foto di media masih hitam putih. Sebagai wartawan foto harus bisa mencetak sendiri hasil jepretan warna hitam putih. Menjadi wartawan foto lumayan ribet. Jika bepergian harus membawa cangkir proses film, obat film dan enlarger (lihat Google) alat pencetak foto lumayan besar. Kamar mandi hotel selalu disulap menjadi kamar gelap tempat proses cetak film. Penting, koordinasi dengan teman sekamar jangan membuka pintu kamar mandi walau penting. Jika pintu dibuka, tiba-tiba sinar masuk, maka film terbakar dan tiada hasil foto lagi. Hangus, nangis!

Masih ada lagi alat pengirim foto ke redaksi dikenal dengan mesin telephoto. Ukurannya sebesar doz air mineral gelas lumayan berat. Pengiriman foto ke redaksi menggunakan jaringan telepon dan lama. Kadang petugas hotel sampai bertanya meyakinkan, apakah benar memakai jaringan telepon hotel untuk SLJJ begitu lama? Hanya media besar menggunakan alat ini. Serbamahal dari harga dan pengoperasiannya.

Sebagian orang mulai menggunakan laptop pada 90-an tetapi baru segelintir karena mahal. Sebelumnya adalah pemandangan umum wartawan menenteng mesin ketik portable dengan merek Brother, Olympia, Oliveti, dan lain-lainnya. Itu sudah gagah karena harganya lumayan mahal. Berat karena terbuat dari besi tetapi masuk ranah praktis. Seru, ketika usai acara, misal pertandingan olahraga bulu tangkis, puluhan wartawan masuk press room, konsentrasi, tidak ada yang bicara, hanya suara mesin ketik puluhan wartawan bersatu memenuhi ruangan. Dikejar deadline cetak.

Era surat elektronik atau e-mail dikenal banyak orang pada 2000-an meskipun sebelumnya sudah banyak yang pakai. Sekarang “semua” orang pakai e-mail untuk komunikasi. E-mail mampu menggantikan tugas “Pak Pos”, telephoto, telex, faksimile dan sebagainya. Sekarang zaman mudah dan murah. Namun, kemudahan dan banjir informasi yang terjadi saat ini juga dapat menimbulkan masalah jika tidak hati-hati. Tidak sedikit wartawan tergelincir dalam kemudahan ini karena “lupa” aturan berjurnalistik, bahkan ada yang tidak paham. Wartawan, memang, dituntut cepat dan tepat tetapi kode etik jurnalistik harus diutamakan. Tujuannya agar pers dan masyarakat “sehat”.

Membandingkan kemajuan alat komunikasi saat ini membuat “orang lama” geleng-geleng kepala. Kini, semua dapat dikerjakan dengan satu alat dalam genggaman tangan. Tapi saya masih sesekali menulis pakai mesin ketik. Sekadar nostalgia.

Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari!
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1330 seconds (0.1#10.140)