Rapor Merah Kinerja Antikorupsi
Rabu, 03 Februari 2021 - 05:00 WIB
Dalam konteks Indonesia, problem penurunan dan stagnasi kinerja antikorupsi kita selama ini terletak pada realitas timpangnya kualitas transparansi, akuntabilitas, dan integritas pilar-pilar Sistem Integritas Nasional (SIN) yang ada. Jika mengacu pada skema SIN, praktis hanya pilar masyarakat sipil dan media yang relatif sehat dari praktik korupsi. Namun, dua kekuatan itu juga belakangan mulai terfragmentasi dan terpolarisasi akibat dari faksionalisme dan intervensi kepentingan korporasi dengan politik praktis. Selebihnya, hampir semua pilar SIN di jajaran eksekutif, yudikatif, terlebih legislatif masih mempertahankan tradisi korupnya.
Di tengah kekeringan integritas itu, peran KPK begitu sentral dalam menjaga marwah dan martabat pemerintah dalam kinerja pemberantasan dan pencegahan korupsi. Nilai IPK Indonesia selama ini tidak lepas dari kontribusi besar KPK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kendati demikian, agenda antikorupsi adalah kerja tim besar pemerintahan, bukan semata-mata tanggung jawab KPK.
Problemnya, Presiden Joko Widodo sebagai panglima tertinggi pemberantasan korupsi yang seharusnya melindungi KPK, justru lebih memilih untuk membiarkan KPK dikeroyok beramai-ramai oleh aliansi kepentingan yang menghendaki pelemahan KPK, melalui revisi UU KPK di pengujung 2019 lalu. Situasi itu belum tergambar dalam penilaian IPK 2019, yang dirilis pada awal 2020 lalu. Dengan kata lain, penurunan IPK 2020 yang dirilis di awal 2021 ini tak ubahnya merupakan koreksi telak bagi kinerja antikorupsi di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Sebagian pihak barangkali ada yang menilai bahwa revisi UU KPK tidak berdampak signifikan kepada KPK. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P Batubara. Tetapi, patut dicermati bahwa penangkapan itu dijalankan oleh para “The Last Samurai”, atau tim penyidik senior berkualitas KPK yang telah bersiap-siap tereduksi kapasitasnya saat sistem kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN) diberlakukan di dalam lembaga KPK.
Saat momentum itu datang, KPK dengan mudah akan dipaksa tunduk kepada supremasi kepentingan bisnis yang telah berselingkuh dengan kekuatan politik, yang belakangan telah terfasilitasi melalui revisi UU KPK, UU Minerba dan juga UU Cipta Kerja. Jika episode KPK berubah menjadi ‘macan ompong’ itu dimulai, skor IPK Indonesia terancam semakin terjun bebas, bersamaan dengan tren mundurnya kualitas demokrasi.
Untuk itu, koreksi atas kinerja antikorupsi tahun ini harus benar-benar diperhatikan secara serius oleh Presiden sebagai panglima tertinggi agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air. Kewenangan Presiden yang begitu besar merupakan sumber kekuatan yang harus dimanfaatkan (exercised) untuk mengonstruksi dan mengharmonikan elemen-elemen kekuatan integritas di semua struktur kekuasaan negara. Ke depan, Presiden Jokowi masih punya kesempatan besar untuk mengubah catatan suram kinerja antikorupsi ini. Dengan ikhtiar optimal untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas, rakyat akan mengapresiasi setiap legasi pemerintah ini.
Di tengah kekeringan integritas itu, peran KPK begitu sentral dalam menjaga marwah dan martabat pemerintah dalam kinerja pemberantasan dan pencegahan korupsi. Nilai IPK Indonesia selama ini tidak lepas dari kontribusi besar KPK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kendati demikian, agenda antikorupsi adalah kerja tim besar pemerintahan, bukan semata-mata tanggung jawab KPK.
Problemnya, Presiden Joko Widodo sebagai panglima tertinggi pemberantasan korupsi yang seharusnya melindungi KPK, justru lebih memilih untuk membiarkan KPK dikeroyok beramai-ramai oleh aliansi kepentingan yang menghendaki pelemahan KPK, melalui revisi UU KPK di pengujung 2019 lalu. Situasi itu belum tergambar dalam penilaian IPK 2019, yang dirilis pada awal 2020 lalu. Dengan kata lain, penurunan IPK 2020 yang dirilis di awal 2021 ini tak ubahnya merupakan koreksi telak bagi kinerja antikorupsi di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Sebagian pihak barangkali ada yang menilai bahwa revisi UU KPK tidak berdampak signifikan kepada KPK. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P Batubara. Tetapi, patut dicermati bahwa penangkapan itu dijalankan oleh para “The Last Samurai”, atau tim penyidik senior berkualitas KPK yang telah bersiap-siap tereduksi kapasitasnya saat sistem kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN) diberlakukan di dalam lembaga KPK.
Saat momentum itu datang, KPK dengan mudah akan dipaksa tunduk kepada supremasi kepentingan bisnis yang telah berselingkuh dengan kekuatan politik, yang belakangan telah terfasilitasi melalui revisi UU KPK, UU Minerba dan juga UU Cipta Kerja. Jika episode KPK berubah menjadi ‘macan ompong’ itu dimulai, skor IPK Indonesia terancam semakin terjun bebas, bersamaan dengan tren mundurnya kualitas demokrasi.
Untuk itu, koreksi atas kinerja antikorupsi tahun ini harus benar-benar diperhatikan secara serius oleh Presiden sebagai panglima tertinggi agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air. Kewenangan Presiden yang begitu besar merupakan sumber kekuatan yang harus dimanfaatkan (exercised) untuk mengonstruksi dan mengharmonikan elemen-elemen kekuatan integritas di semua struktur kekuasaan negara. Ke depan, Presiden Jokowi masih punya kesempatan besar untuk mengubah catatan suram kinerja antikorupsi ini. Dengan ikhtiar optimal untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas, rakyat akan mengapresiasi setiap legasi pemerintah ini.
(bmm)
tulis komentar anda