Inikah Agenda Pemerintah di Balik Sikap Menolak Revisi UU Pemilu?
Senin, 01 Februari 2021 - 13:39 WIB
Di tengah kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap undang-pemilu, sikap pemerintah justru bertolak belakang: menolak revisi. Sikap ini tentu di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda.
Karena itu, Pangi memahami bila public mencurigai kepentingan pemerintah yang bersikeras menolak revisi UU Pemilu, terutama yang berkaitan dengan aspek keserentakan. Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan pemerintah?
Faktanya, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada 2023. Para kepala daerah tersebut adalah hasil pilkada 2017 dan 2018. Dengan demikian akan ada 272 plt kepala daerah.
"Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk kemendagri, sementara kita tahu kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden? Atau karena anak mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023," ucapnya.
(Baca: Penerapan Ambang Batas Harus Bisa Sajikan 4-5 Capres di 2024)
Belum lagi, lanjut dia, penumpukan penyelenggraan pilpres, pileg dan pilkada serentak di 2024 tidak main main, mitigasi pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya, sangat berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat.
Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu. Bahkan, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya nanti perkara sengketa pilkada. Belum lagi potensi berulang tragedi meninggalnya petugas KPPS karena proses penghitungan suara yang berhari-hari dan memakan waktu yang cukup lama.
Yang lebih berbahaya dari semua ini, lanjut Pangi, adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi lokal dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi rakyat melaksanakan hak konstitusionalnya. "Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi publik terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional," tutur dia.
(Baca: Pilkada 2022 Ditunda, Jokowi Bisa Satu-satunya Kepala Daerah yang Jadi Presiden)
Ditambahkan dia, jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt, otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang.
Karena itu, Pangi memahami bila public mencurigai kepentingan pemerintah yang bersikeras menolak revisi UU Pemilu, terutama yang berkaitan dengan aspek keserentakan. Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan pemerintah?
Faktanya, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada 2023. Para kepala daerah tersebut adalah hasil pilkada 2017 dan 2018. Dengan demikian akan ada 272 plt kepala daerah.
"Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk kemendagri, sementara kita tahu kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden? Atau karena anak mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023," ucapnya.
(Baca: Penerapan Ambang Batas Harus Bisa Sajikan 4-5 Capres di 2024)
Belum lagi, lanjut dia, penumpukan penyelenggraan pilpres, pileg dan pilkada serentak di 2024 tidak main main, mitigasi pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya, sangat berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat.
Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu. Bahkan, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya nanti perkara sengketa pilkada. Belum lagi potensi berulang tragedi meninggalnya petugas KPPS karena proses penghitungan suara yang berhari-hari dan memakan waktu yang cukup lama.
Yang lebih berbahaya dari semua ini, lanjut Pangi, adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi lokal dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi rakyat melaksanakan hak konstitusionalnya. "Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi publik terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional," tutur dia.
(Baca: Pilkada 2022 Ditunda, Jokowi Bisa Satu-satunya Kepala Daerah yang Jadi Presiden)
Ditambahkan dia, jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt, otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda