Inikah Agenda Pemerintah di Balik Sikap Menolak Revisi UU Pemilu?

Senin, 01 Februari 2021 - 13:39 WIB
loading...
Inikah Agenda Pemerintah...
Pangi Syarwi Chaniago mempertanyakan agenda di balik sikap pemerintah menolak revisi UU Pemilu. Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu atau pilkada secara serentak niat awalnya bertujuan untuk membuat prosesnya lebih efektif dan efisien. Tetapi implementasinya justru mendatangkan persoalan pada kedua aspek tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, merujuk pada bentangan emperis selama ini pilkada serentak justru mendatangkan persolan baru yang lebih rumit dan kompleks. “Kerumitan ini pada akhirnya tidak lagi sesuai dan sejalan dengan roh tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut," tutur Pangi kepada SINDOnews, Senin (1/2/2021).

Pangi mengatakan, persoalan baru yang muncul ke permukaan tidak pernah diprediksi pembuat undang-undang. Banyak hal yang tidak lagi relevan dengan regulasi yang ada. Bahkan, kalau kembali menoleh ke belakang, Pangi menilai UU Pemilu yang mengatur keserentakan pemilu ini sangat minim partisipasi publik.

"Saya ingin katakan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan temporal dan pragmatis para elite politik," beber Pangi.

(Baca: Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu)

Sebagai akibat, produk undang-undang yang dilahirkan melalui proses semacam ini tentu sangat tidak logis dipakai dalam waktu yang lama. Para pembuat undang-undang sendiri meloloskannya hanya untuk memuluskan agenda jangka pendek, kepentingan masing-masing partai. Perubahan-politik yang begitu cepat dan dinamis membuat pruduk undang-undang ini menjadi usang dan tak relevan.

Selain itu, gelombang protes atas pelaksanaan pemilu serentak mulai bising terdengar dari awal, puncaknya penyelenggaraan pemilu 2019 yang menelan banyak korban petugas KPPS yang meninggal, harusnya tidak boleh lagi terulang, via revisi undang undang pemilu.

"Pilkada di tengah pandemi yang dinilai menurunkan kualitas demokrasi. Tak perlu alergi untuk mengevaluasi pemilu serentak melalui revisi undang-undang pemilu semakin mendesak untuk dilakukan," ujarnya.

(Baca: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua)

Di tengah kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap undang-pemilu, sikap pemerintah justru bertolak belakang: menolak revisi. Sikap ini tentu di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda.

Karena itu, Pangi memahami bila public mencurigai kepentingan pemerintah yang bersikeras menolak revisi UU Pemilu, terutama yang berkaitan dengan aspek keserentakan. Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan pemerintah?

Faktanya, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada 2023. Para kepala daerah tersebut adalah hasil pilkada 2017 dan 2018. Dengan demikian akan ada 272 plt kepala daerah.

"Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk kemendagri, sementara kita tahu kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden? Atau karena anak mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023," ucapnya.

(Baca: Penerapan Ambang Batas Harus Bisa Sajikan 4-5 Capres di 2024)

Belum lagi, lanjut dia, penumpukan penyelenggraan pilpres, pileg dan pilkada serentak di 2024 tidak main main, mitigasi pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya, sangat berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat.

Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu. Bahkan, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya nanti perkara sengketa pilkada. Belum lagi potensi berulang tragedi meninggalnya petugas KPPS karena proses penghitungan suara yang berhari-hari dan memakan waktu yang cukup lama.

Yang lebih berbahaya dari semua ini, lanjut Pangi, adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi lokal dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi rakyat melaksanakan hak konstitusionalnya. "Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi publik terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional," tutur dia.

(Baca: Pilkada 2022 Ditunda, Jokowi Bisa Satu-satunya Kepala Daerah yang Jadi Presiden)

Ditambahkan dia, jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt, otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang.

Dan baginya, jika situasi ini berlanjut dan terus dibiarkan bukan tidak mustahil kita akan kembali menelan pil pahit berada di bawah cengkraman pemerintahan yang otoriter. "Ini yang saya khawatirkan. Semoga tidak!" ketus Pangi.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0944 seconds (0.1#10.140)