Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi
Senin, 01 Februari 2021 - 06:00 WIB
Bagaimana melecut pembangunan ekonomi yang adaptasi dengan ekonomi modern? Sebuah percepatan ekonomi bisa dicapai melalui dua hal yaitu power dan capital. Power adalah pengaruh dan personalia kader NU yang mendapat amanat untuk memimpin negara, khususnya wakil presiden RI dan beberapa menteri anggota kabinet Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Struktur kekuasaan ini tentu seharusnya berimplikasi untuk mengader warga NU dalam upaya melahirkan kelas baru entrepreneur di Indonesia. Adapun capital adalah kekuatan modal yang harus di miliki oleh NU untuk menggerakkan mesin perekonomian, dalam hal ini capital economy NU masih lemah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.
Walhasil, dengan kokohnya kemandirian ekonomi modern dan moralitas spiritual NU, maka akan terjadi kolaborasi antara NU dan negara Indonesia untuk menghadang masuknya liberalisasi ekonomi dan paham-paham keagamaan baru yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Cukup menantang bukan? Insyaallah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.
Walhasil, dengan kokohnya kemandirian ekonomi modern dan moralitas spiritual NU, maka akan terjadi kolaborasi antara NU dan negara Indonesia untuk menghadang masuknya liberalisasi ekonomi dan paham-paham keagamaan baru yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Cukup menantang bukan? Insyaallah.
(bmm)
tulis komentar anda