Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi

Senin, 01 Februari 2021 - 06:00 WIB
Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh dari ideal.

Setelah Nahdlatut Tujjar, gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di perdesaan. Namun, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Pengamat berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.

Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma, dan rintisan ekonomi lain di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Namun, keberadaan Nusumma dan rintisan ekonomi NU tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.

Success Story

Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang. Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Lembaga, ikatan dan himpunan pengusaha di lingkungan santri dan NU juga telah bermunculan.

Cerita sukses ekonomi pesantren yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren bisa dijadikan template. Contoh yang paling jelas di antaranya Koperasi Pesantren dan BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya. Khusus pengembangan ekonomi di Pesantren Sidogiri sekarang asetnya sudah mencapai Rp2,7 triliun.

Cerita sukses tersebut belum menjadi contoh bagi pesantren dan organisasi struktural NU karena, pertama, sikap konvensional pengurus NU dan pimpinan pesantren yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman, khususnya percepatan ekonomi digital. NU terasa gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera bagi warganya di bidang ekonomi. Meski, Lazisnu harus di nilai berhasil menjadi rintisan sosial ekonomi model baru.

Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kelompok tertentu. Ini akibat besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah.

Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro dan riil, dan strategi jangka panjang dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiahnya agar bergerak pada sektor ekonomi modern seperti fintech dan e-commerce di zaman disruptif-VUCA.

Ekonomi Modern NU
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More