Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi
loading...
A
A
A
Ali Masykur Musa
Ketua Umum PP ISNU
Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kehadirannya selalu bersenyawa dengan dinamika sosial yang mengitarinya. Apa yang mengitari itu? Tiada lain tuntutan kesejahteraan warganya di tengah-tengah percepatan pembangunan Indonesia. Meskipun organisasi sosial keagamaan terbesar, kenyataannya, di bidang ekonomi NU masih marginal.
Hari-hari ini NU sedang memperingati hari lahir ke-95. NU kini mendekati usia 100 Tahun. Gaung dan semaraknya sudah terasa. Sejak awal berdiri pada 31 Januari 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan embrio berdirinya NU, yaitu Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar.
Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan dan keulamaan, Nahdlatul Wathan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam pola gerak NU dari masa ke masa.
Dari tiga etos perjuangan tersebut aspek mewujudkan kemandirian ekonomi demi kesejahteraan warga NU (nahdliyin) masih belum berhasil. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah, bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian. Etos Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Perniagaan-Ekonomi) inilah yang perlu menjadi arah baru. Jadi, orientasi NU harus bergeser dari sosial keagamaan ke sosial-ekonomi, meski tidak meninggalkan sosial-keagamaan dan sosial-politik.
Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat yang mampu berfungsi sebagai kontrol-positif pemerintah. Agar NU tidak menjadi objek politik baik oleh partai politik maupun oleh pemerintah, kemandirian ekonomi adalah jawabannya.
Arah baru kemandirian ekonomi NU juga untuk menjawab fakta adanya globalisasi dan liberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke perdesaan sebagai basis warga NU. Fakta ini telah memengaruhi perilaku transaksional di kalangan NU—dan rakyat secara umum—karena pragmatisme politik akibat dari liberasi politik. Tentu perilaku ini bertentangan dengan ajaran dasar NU yang mengedepankan sikap ghirah dan harakah dalam memperjuangkan Aswaja.
Pendulum Gerakan Ekonomi NU
Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh dari ideal.
Setelah Nahdlatut Tujjar, gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di perdesaan. Namun, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Pengamat berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.
Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma, dan rintisan ekonomi lain di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Namun, keberadaan Nusumma dan rintisan ekonomi NU tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.
Success Story
Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang. Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Lembaga, ikatan dan himpunan pengusaha di lingkungan santri dan NU juga telah bermunculan.
Cerita sukses ekonomi pesantren yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren bisa dijadikan template. Contoh yang paling jelas di antaranya Koperasi Pesantren dan BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya. Khusus pengembangan ekonomi di Pesantren Sidogiri sekarang asetnya sudah mencapai Rp2,7 triliun.
Cerita sukses tersebut belum menjadi contoh bagi pesantren dan organisasi struktural NU karena, pertama, sikap konvensional pengurus NU dan pimpinan pesantren yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman, khususnya percepatan ekonomi digital. NU terasa gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera bagi warganya di bidang ekonomi. Meski, Lazisnu harus di nilai berhasil menjadi rintisan sosial ekonomi model baru.
Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kelompok tertentu. Ini akibat besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah.
Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro dan riil, dan strategi jangka panjang dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiahnya agar bergerak pada sektor ekonomi modern seperti fintech dan e-commerce di zaman disruptif-VUCA.
Ekonomi Modern NU
Bagaimana melecut pembangunan ekonomi yang adaptasi dengan ekonomi modern? Sebuah percepatan ekonomi bisa dicapai melalui dua hal yaitu power dan capital. Power adalah pengaruh dan personalia kader NU yang mendapat amanat untuk memimpin negara, khususnya wakil presiden RI dan beberapa menteri anggota kabinet Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Struktur kekuasaan ini tentu seharusnya berimplikasi untuk mengader warga NU dalam upaya melahirkan kelas baru entrepreneur di Indonesia. Adapun capital adalah kekuatan modal yang harus di miliki oleh NU untuk menggerakkan mesin perekonomian, dalam hal ini capital economy NU masih lemah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.
Walhasil, dengan kokohnya kemandirian ekonomi modern dan moralitas spiritual NU, maka akan terjadi kolaborasi antara NU dan negara Indonesia untuk menghadang masuknya liberalisasi ekonomi dan paham-paham keagamaan baru yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Cukup menantang bukan? Insyaallah.
Ketua Umum PP ISNU
Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kehadirannya selalu bersenyawa dengan dinamika sosial yang mengitarinya. Apa yang mengitari itu? Tiada lain tuntutan kesejahteraan warganya di tengah-tengah percepatan pembangunan Indonesia. Meskipun organisasi sosial keagamaan terbesar, kenyataannya, di bidang ekonomi NU masih marginal.
Hari-hari ini NU sedang memperingati hari lahir ke-95. NU kini mendekati usia 100 Tahun. Gaung dan semaraknya sudah terasa. Sejak awal berdiri pada 31 Januari 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan embrio berdirinya NU, yaitu Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar.
Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan dan keulamaan, Nahdlatul Wathan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam pola gerak NU dari masa ke masa.
Dari tiga etos perjuangan tersebut aspek mewujudkan kemandirian ekonomi demi kesejahteraan warga NU (nahdliyin) masih belum berhasil. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah, bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian. Etos Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Perniagaan-Ekonomi) inilah yang perlu menjadi arah baru. Jadi, orientasi NU harus bergeser dari sosial keagamaan ke sosial-ekonomi, meski tidak meninggalkan sosial-keagamaan dan sosial-politik.
Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat yang mampu berfungsi sebagai kontrol-positif pemerintah. Agar NU tidak menjadi objek politik baik oleh partai politik maupun oleh pemerintah, kemandirian ekonomi adalah jawabannya.
Arah baru kemandirian ekonomi NU juga untuk menjawab fakta adanya globalisasi dan liberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke perdesaan sebagai basis warga NU. Fakta ini telah memengaruhi perilaku transaksional di kalangan NU—dan rakyat secara umum—karena pragmatisme politik akibat dari liberasi politik. Tentu perilaku ini bertentangan dengan ajaran dasar NU yang mengedepankan sikap ghirah dan harakah dalam memperjuangkan Aswaja.
Pendulum Gerakan Ekonomi NU
Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh dari ideal.
Setelah Nahdlatut Tujjar, gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di perdesaan. Namun, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Pengamat berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.
Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma, dan rintisan ekonomi lain di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Namun, keberadaan Nusumma dan rintisan ekonomi NU tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.
Success Story
Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang. Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Lembaga, ikatan dan himpunan pengusaha di lingkungan santri dan NU juga telah bermunculan.
Cerita sukses ekonomi pesantren yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren bisa dijadikan template. Contoh yang paling jelas di antaranya Koperasi Pesantren dan BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya. Khusus pengembangan ekonomi di Pesantren Sidogiri sekarang asetnya sudah mencapai Rp2,7 triliun.
Cerita sukses tersebut belum menjadi contoh bagi pesantren dan organisasi struktural NU karena, pertama, sikap konvensional pengurus NU dan pimpinan pesantren yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman, khususnya percepatan ekonomi digital. NU terasa gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera bagi warganya di bidang ekonomi. Meski, Lazisnu harus di nilai berhasil menjadi rintisan sosial ekonomi model baru.
Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kelompok tertentu. Ini akibat besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah.
Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro dan riil, dan strategi jangka panjang dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiahnya agar bergerak pada sektor ekonomi modern seperti fintech dan e-commerce di zaman disruptif-VUCA.
Ekonomi Modern NU
Bagaimana melecut pembangunan ekonomi yang adaptasi dengan ekonomi modern? Sebuah percepatan ekonomi bisa dicapai melalui dua hal yaitu power dan capital. Power adalah pengaruh dan personalia kader NU yang mendapat amanat untuk memimpin negara, khususnya wakil presiden RI dan beberapa menteri anggota kabinet Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Struktur kekuasaan ini tentu seharusnya berimplikasi untuk mengader warga NU dalam upaya melahirkan kelas baru entrepreneur di Indonesia. Adapun capital adalah kekuatan modal yang harus di miliki oleh NU untuk menggerakkan mesin perekonomian, dalam hal ini capital economy NU masih lemah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.
Walhasil, dengan kokohnya kemandirian ekonomi modern dan moralitas spiritual NU, maka akan terjadi kolaborasi antara NU dan negara Indonesia untuk menghadang masuknya liberalisasi ekonomi dan paham-paham keagamaan baru yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Cukup menantang bukan? Insyaallah.
(bmm)