Berdamai dengan Ancaman Covid-19
Jum'at, 15 Mei 2020 - 21:59 WIB
Banyak negara-negara lain, yang bahkan posisi ekonominya lebih mapan dan stabil, mengalami kontraksi ekonomi yang mengkhawatirkan. Para pengambil kebijakan di berbagai negara berpikiran serupa. Pemerintah maupun warganya, berharap adanya relaksasi pembatasan fisik, guna memutar kembali roda ekonomi seraya menormalkan kehidupan sosial.
Persoalannya, apakah pilihannya hendak melawan atau damai dengan Covid-19, ada konsekuensi yang harus dikomunikasikan dengan jelas dan transparan. Para pembuat keputusan harus membangun dialog dengan warganya. Bahkan jika itu harus berpolemik di berbagai media, termasuk media sosial.
Untuk damai artinya, tetap mengakui potensi penularan alamiah virus, yang cepat, tak selalu terlihat dan angka kematiannya nyata di waktu singkat. Di tengah kenyataan itu, semua aktivitas ekonomi bisnis yang dibekukan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), digerakkan kembali. Tentu saja dengan protokol ketat dan tetap menjaga psysical distancing. Ini yang selalu didengungkan pemerintah.
Saat masa PSBB, pergerakan warga, relatif terpusat di rumah-rumah. Satuan pengendalian pencegahan penularan, ada dalam pengawasan keluarga. Keluarga-keluarga yang patuh, mencegah anggotanya berinteraksi ke luar rumah. Kepemimpinan keluarga menghindarkan jatuhnya korban pada anggotanya. Pengawasan ini sekaligus tak membiarkan adanya anggota keluarga yang berpotensi jadi agen penjalaran virus, di luar rumah.
Dalam kenyataannya, lewat skema ketat terawasi pun, penularan tetap terjadi. Sampai hari ini di Indonesia terkonfirmasi 15.438 orang positif terjangkit virus, 1.028 orang meninggal dan 3.287 orang yang berhasil sembuh (Google News, 13 Mei 2020). Indikasi melandainya kurva yang sesuai standar grafik epidemiologi belum pernah tersaji di hadapan publik.
Yang dilaporkan juru bicara pemerintah setiap hari adalah angka pertambahan jumlah yang positif berdasar tanggal laporan, dan bukan tanggal dilalukannya tes Sehingga ketika dilakukan analisis menurut standar epidemiologis yang mengindikasikan berhasil atau stagnannya upaya PSBB, masih samar-samar.
Setidaknya hal itu senada disampaikan Iqbal Elyazar, Manager Group Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, saat jadi pembicara pada Webinar Konferensi, 10 Mei lalu. Iqbal mengatakan bahwa data itu benar, tetapi tak cukup untuk digunakan menilai, apakah kecenderungan penularan sudah konsisten menurun.
Sehingga manakala pengetatan dibuka, kendali pencegahan penularan beralih ke tangan individu anggota keluarga. Mereka adalah pegawai yang kembali ke kantor, mahasiswa dan pelajar yang berkegiatan di ruang-ruang pengajaran, para penumpang moda transportasi umum, maupun para pedagang di arena peraduan mata pencahariannya. Tentu dengan keadaan ini, penularan berpotensi lebih besar, cepat dan luas.
Mutlak adanya penjelasan terkait rencana yang matang, bagaimana pengaturan saat terjadi penularan di kala damai dengan Covid-19 ini. Tentu rumah sakit lebih gampang penuh, rasio tenaga kesehatan dengan jumlah pasien yang harus dirawat, lebih cepat terlampaui. Lalu, apakah hanya rumah sakit tertentu yang dimanfaatkan untuk merawat pasien. Atau semua rumah sakit yang saat ini jadi rujukan, tetap difungsikan untuk melanjutkan merawat pasien Covid-19 yang tertular di kala damai?
Lewat pernyataan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu disebut, perkembangan penularan saat ini tidak saja oleh orang yang bergejala sakit. Banyak kasus, pasien positif yang sama sekali tanpa gejala.
Persoalannya, apakah pilihannya hendak melawan atau damai dengan Covid-19, ada konsekuensi yang harus dikomunikasikan dengan jelas dan transparan. Para pembuat keputusan harus membangun dialog dengan warganya. Bahkan jika itu harus berpolemik di berbagai media, termasuk media sosial.
Untuk damai artinya, tetap mengakui potensi penularan alamiah virus, yang cepat, tak selalu terlihat dan angka kematiannya nyata di waktu singkat. Di tengah kenyataan itu, semua aktivitas ekonomi bisnis yang dibekukan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), digerakkan kembali. Tentu saja dengan protokol ketat dan tetap menjaga psysical distancing. Ini yang selalu didengungkan pemerintah.
Saat masa PSBB, pergerakan warga, relatif terpusat di rumah-rumah. Satuan pengendalian pencegahan penularan, ada dalam pengawasan keluarga. Keluarga-keluarga yang patuh, mencegah anggotanya berinteraksi ke luar rumah. Kepemimpinan keluarga menghindarkan jatuhnya korban pada anggotanya. Pengawasan ini sekaligus tak membiarkan adanya anggota keluarga yang berpotensi jadi agen penjalaran virus, di luar rumah.
Dalam kenyataannya, lewat skema ketat terawasi pun, penularan tetap terjadi. Sampai hari ini di Indonesia terkonfirmasi 15.438 orang positif terjangkit virus, 1.028 orang meninggal dan 3.287 orang yang berhasil sembuh (Google News, 13 Mei 2020). Indikasi melandainya kurva yang sesuai standar grafik epidemiologi belum pernah tersaji di hadapan publik.
Yang dilaporkan juru bicara pemerintah setiap hari adalah angka pertambahan jumlah yang positif berdasar tanggal laporan, dan bukan tanggal dilalukannya tes Sehingga ketika dilakukan analisis menurut standar epidemiologis yang mengindikasikan berhasil atau stagnannya upaya PSBB, masih samar-samar.
Setidaknya hal itu senada disampaikan Iqbal Elyazar, Manager Group Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, saat jadi pembicara pada Webinar Konferensi, 10 Mei lalu. Iqbal mengatakan bahwa data itu benar, tetapi tak cukup untuk digunakan menilai, apakah kecenderungan penularan sudah konsisten menurun.
Sehingga manakala pengetatan dibuka, kendali pencegahan penularan beralih ke tangan individu anggota keluarga. Mereka adalah pegawai yang kembali ke kantor, mahasiswa dan pelajar yang berkegiatan di ruang-ruang pengajaran, para penumpang moda transportasi umum, maupun para pedagang di arena peraduan mata pencahariannya. Tentu dengan keadaan ini, penularan berpotensi lebih besar, cepat dan luas.
Mutlak adanya penjelasan terkait rencana yang matang, bagaimana pengaturan saat terjadi penularan di kala damai dengan Covid-19 ini. Tentu rumah sakit lebih gampang penuh, rasio tenaga kesehatan dengan jumlah pasien yang harus dirawat, lebih cepat terlampaui. Lalu, apakah hanya rumah sakit tertentu yang dimanfaatkan untuk merawat pasien. Atau semua rumah sakit yang saat ini jadi rujukan, tetap difungsikan untuk melanjutkan merawat pasien Covid-19 yang tertular di kala damai?
Lewat pernyataan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu disebut, perkembangan penularan saat ini tidak saja oleh orang yang bergejala sakit. Banyak kasus, pasien positif yang sama sekali tanpa gejala.
Lihat Juga :
tulis komentar anda