Berdamai dengan Ancaman Covid-19
loading...
A
A
A
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Nampaknya, ajakan Presiden Joko Widodo untuk berdamai dengan Covid-19, yang disampaikan pada 8 Mei 2020, bisa jadi alternatif tindakan massa yang patut dipikirkan. Ini terutama, saat pemerintah dan masyarakat Indonesia berhadapan dengan kenyataan belum ada tanda-tanda meredanya penularan virus. Sedangkan untuk melawan, selain vaksin virus yang manjur harus ditemukan, masa berakhirnya penularan masih sulit diprediksi.
Berbagai lembaga penelitian dengan aneka model prediksinya yang paling mutakhir, berbeda-beda meramalkan masa akhir pandemi. Bahkan ada lembaga yang menyebut penularan baru benar-benar berakhir di tahun 2022.
Sementara berharap keadaan cepat normal, yang nampak jelas di hadapan mata adalah, buruknya dampak ekonomi sosial di sana sini. Sehingga tak berlebihan jika ini dikhawatirkan memicu munculnya gejala kerusuhan sosial, yang indikasinya samar-samar ada.
Tentu jika ini makin nyata, akan jadi tekanan yang tak dapat diabaikan oleh pemerintah negara manapun. Demikian juga yang dirasakan warganya. Keresahan akibat terhentinya mata pencaharian, melambatnya roda perekonomian dan muramnya masa depan kehidupan pasca pandemi, membebani pikiran banyak orang.
Walaupun di tengah ajakan damai itu, data global saat tulisan ini disusun, mengkonfirmasi jumlah yang positif tertular mencapai 4.278.180 orang, meninggal 292,376 orang dan berhasil sembuh 1.502.620 orang (Google News, 13 Mei 2020).
Tentu angka-angka ini mengabarkan ancaman dahsyatnya penularan, yang tak bisa dianggap remeh, apalagi dinihilkan. Namun apa yang dipikirkan pemerintah Indonesia, dan diam-diam mungkin juga diharapkan sebagian warganya, bukan khas jadi rencana kebijakan negara ini.
Banyak negara-negara lain, yang bahkan posisi ekonominya lebih mapan dan stabil, mengalami kontraksi ekonomi yang mengkhawatirkan. Para pengambil kebijakan di berbagai negara berpikiran serupa. Pemerintah maupun warganya, berharap adanya relaksasi pembatasan fisik, guna memutar kembali roda ekonomi seraya menormalkan kehidupan sosial.
Persoalannya, apakah pilihannya hendak melawan atau damai dengan Covid-19, ada konsekuensi yang harus dikomunikasikan dengan jelas dan transparan. Para pembuat keputusan harus membangun dialog dengan warganya. Bahkan jika itu harus berpolemik di berbagai media, termasuk media sosial.
Untuk damai artinya, tetap mengakui potensi penularan alamiah virus, yang cepat, tak selalu terlihat dan angka kematiannya nyata di waktu singkat. Di tengah kenyataan itu, semua aktivitas ekonomi bisnis yang dibekukan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), digerakkan kembali. Tentu saja dengan protokol ketat dan tetap menjaga psysical distancing. Ini yang selalu didengungkan pemerintah.
Saat masa PSBB, pergerakan warga, relatif terpusat di rumah-rumah. Satuan pengendalian pencegahan penularan, ada dalam pengawasan keluarga. Keluarga-keluarga yang patuh, mencegah anggotanya berinteraksi ke luar rumah. Kepemimpinan keluarga menghindarkan jatuhnya korban pada anggotanya. Pengawasan ini sekaligus tak membiarkan adanya anggota keluarga yang berpotensi jadi agen penjalaran virus, di luar rumah.
Dalam kenyataannya, lewat skema ketat terawasi pun, penularan tetap terjadi. Sampai hari ini di Indonesia terkonfirmasi 15.438 orang positif terjangkit virus, 1.028 orang meninggal dan 3.287 orang yang berhasil sembuh (Google News, 13 Mei 2020). Indikasi melandainya kurva yang sesuai standar grafik epidemiologi belum pernah tersaji di hadapan publik.
Yang dilaporkan juru bicara pemerintah setiap hari adalah angka pertambahan jumlah yang positif berdasar tanggal laporan, dan bukan tanggal dilalukannya tes Sehingga ketika dilakukan analisis menurut standar epidemiologis yang mengindikasikan berhasil atau stagnannya upaya PSBB, masih samar-samar.
Setidaknya hal itu senada disampaikan Iqbal Elyazar, Manager Group Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, saat jadi pembicara pada Webinar Konferensi, 10 Mei lalu. Iqbal mengatakan bahwa data itu benar, tetapi tak cukup untuk digunakan menilai, apakah kecenderungan penularan sudah konsisten menurun.
Sehingga manakala pengetatan dibuka, kendali pencegahan penularan beralih ke tangan individu anggota keluarga. Mereka adalah pegawai yang kembali ke kantor, mahasiswa dan pelajar yang berkegiatan di ruang-ruang pengajaran, para penumpang moda transportasi umum, maupun para pedagang di arena peraduan mata pencahariannya. Tentu dengan keadaan ini, penularan berpotensi lebih besar, cepat dan luas.
Mutlak adanya penjelasan terkait rencana yang matang, bagaimana pengaturan saat terjadi penularan di kala damai dengan Covid-19 ini. Tentu rumah sakit lebih gampang penuh, rasio tenaga kesehatan dengan jumlah pasien yang harus dirawat, lebih cepat terlampaui. Lalu, apakah hanya rumah sakit tertentu yang dimanfaatkan untuk merawat pasien. Atau semua rumah sakit yang saat ini jadi rujukan, tetap difungsikan untuk melanjutkan merawat pasien Covid-19 yang tertular di kala damai?
Lewat pernyataan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu disebut, perkembangan penularan saat ini tidak saja oleh orang yang bergejala sakit. Banyak kasus, pasien positif yang sama sekali tanpa gejala.
Ini tentu mempersulit pengendalian. Dalam konteks damai itu, terjadi pembauran warga yang sehat dengan yang sakit tanpa gejala. Selama vaksin belum ditemukan, damai tentu saja bukan berarti virus juga bersedia mengurangi agresivitasnya untuk menular. Fokus pembuat keputusan dalam berkomunikasi, pada upaya membangun pemahaman terkait karakter virus. Akan melawan atau damai perlu penjelasan, apa langkah bersama yang mutlak ditempuh dalam mencegah merebaknya penularan. Dan apa tindakannya jika terjadi penularan ?
Sederhanaya, damai artinya virus tetap menular, namun ekonomi diharapkan kembali bergerak. Sehingga warga diminta berpikir seperti menghadapi penularan penyakit lain, hepatitis, DBD, TBC atau bahkan HIV Aids. Sayangnya, Virus Corona belum bisa terkendali lebih jinak dari itu semua.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Nampaknya, ajakan Presiden Joko Widodo untuk berdamai dengan Covid-19, yang disampaikan pada 8 Mei 2020, bisa jadi alternatif tindakan massa yang patut dipikirkan. Ini terutama, saat pemerintah dan masyarakat Indonesia berhadapan dengan kenyataan belum ada tanda-tanda meredanya penularan virus. Sedangkan untuk melawan, selain vaksin virus yang manjur harus ditemukan, masa berakhirnya penularan masih sulit diprediksi.
Berbagai lembaga penelitian dengan aneka model prediksinya yang paling mutakhir, berbeda-beda meramalkan masa akhir pandemi. Bahkan ada lembaga yang menyebut penularan baru benar-benar berakhir di tahun 2022.
Sementara berharap keadaan cepat normal, yang nampak jelas di hadapan mata adalah, buruknya dampak ekonomi sosial di sana sini. Sehingga tak berlebihan jika ini dikhawatirkan memicu munculnya gejala kerusuhan sosial, yang indikasinya samar-samar ada.
Tentu jika ini makin nyata, akan jadi tekanan yang tak dapat diabaikan oleh pemerintah negara manapun. Demikian juga yang dirasakan warganya. Keresahan akibat terhentinya mata pencaharian, melambatnya roda perekonomian dan muramnya masa depan kehidupan pasca pandemi, membebani pikiran banyak orang.
Walaupun di tengah ajakan damai itu, data global saat tulisan ini disusun, mengkonfirmasi jumlah yang positif tertular mencapai 4.278.180 orang, meninggal 292,376 orang dan berhasil sembuh 1.502.620 orang (Google News, 13 Mei 2020).
Tentu angka-angka ini mengabarkan ancaman dahsyatnya penularan, yang tak bisa dianggap remeh, apalagi dinihilkan. Namun apa yang dipikirkan pemerintah Indonesia, dan diam-diam mungkin juga diharapkan sebagian warganya, bukan khas jadi rencana kebijakan negara ini.
Banyak negara-negara lain, yang bahkan posisi ekonominya lebih mapan dan stabil, mengalami kontraksi ekonomi yang mengkhawatirkan. Para pengambil kebijakan di berbagai negara berpikiran serupa. Pemerintah maupun warganya, berharap adanya relaksasi pembatasan fisik, guna memutar kembali roda ekonomi seraya menormalkan kehidupan sosial.
Persoalannya, apakah pilihannya hendak melawan atau damai dengan Covid-19, ada konsekuensi yang harus dikomunikasikan dengan jelas dan transparan. Para pembuat keputusan harus membangun dialog dengan warganya. Bahkan jika itu harus berpolemik di berbagai media, termasuk media sosial.
Untuk damai artinya, tetap mengakui potensi penularan alamiah virus, yang cepat, tak selalu terlihat dan angka kematiannya nyata di waktu singkat. Di tengah kenyataan itu, semua aktivitas ekonomi bisnis yang dibekukan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), digerakkan kembali. Tentu saja dengan protokol ketat dan tetap menjaga psysical distancing. Ini yang selalu didengungkan pemerintah.
Saat masa PSBB, pergerakan warga, relatif terpusat di rumah-rumah. Satuan pengendalian pencegahan penularan, ada dalam pengawasan keluarga. Keluarga-keluarga yang patuh, mencegah anggotanya berinteraksi ke luar rumah. Kepemimpinan keluarga menghindarkan jatuhnya korban pada anggotanya. Pengawasan ini sekaligus tak membiarkan adanya anggota keluarga yang berpotensi jadi agen penjalaran virus, di luar rumah.
Dalam kenyataannya, lewat skema ketat terawasi pun, penularan tetap terjadi. Sampai hari ini di Indonesia terkonfirmasi 15.438 orang positif terjangkit virus, 1.028 orang meninggal dan 3.287 orang yang berhasil sembuh (Google News, 13 Mei 2020). Indikasi melandainya kurva yang sesuai standar grafik epidemiologi belum pernah tersaji di hadapan publik.
Yang dilaporkan juru bicara pemerintah setiap hari adalah angka pertambahan jumlah yang positif berdasar tanggal laporan, dan bukan tanggal dilalukannya tes Sehingga ketika dilakukan analisis menurut standar epidemiologis yang mengindikasikan berhasil atau stagnannya upaya PSBB, masih samar-samar.
Setidaknya hal itu senada disampaikan Iqbal Elyazar, Manager Group Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, saat jadi pembicara pada Webinar Konferensi, 10 Mei lalu. Iqbal mengatakan bahwa data itu benar, tetapi tak cukup untuk digunakan menilai, apakah kecenderungan penularan sudah konsisten menurun.
Sehingga manakala pengetatan dibuka, kendali pencegahan penularan beralih ke tangan individu anggota keluarga. Mereka adalah pegawai yang kembali ke kantor, mahasiswa dan pelajar yang berkegiatan di ruang-ruang pengajaran, para penumpang moda transportasi umum, maupun para pedagang di arena peraduan mata pencahariannya. Tentu dengan keadaan ini, penularan berpotensi lebih besar, cepat dan luas.
Mutlak adanya penjelasan terkait rencana yang matang, bagaimana pengaturan saat terjadi penularan di kala damai dengan Covid-19 ini. Tentu rumah sakit lebih gampang penuh, rasio tenaga kesehatan dengan jumlah pasien yang harus dirawat, lebih cepat terlampaui. Lalu, apakah hanya rumah sakit tertentu yang dimanfaatkan untuk merawat pasien. Atau semua rumah sakit yang saat ini jadi rujukan, tetap difungsikan untuk melanjutkan merawat pasien Covid-19 yang tertular di kala damai?
Lewat pernyataan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu disebut, perkembangan penularan saat ini tidak saja oleh orang yang bergejala sakit. Banyak kasus, pasien positif yang sama sekali tanpa gejala.
Ini tentu mempersulit pengendalian. Dalam konteks damai itu, terjadi pembauran warga yang sehat dengan yang sakit tanpa gejala. Selama vaksin belum ditemukan, damai tentu saja bukan berarti virus juga bersedia mengurangi agresivitasnya untuk menular. Fokus pembuat keputusan dalam berkomunikasi, pada upaya membangun pemahaman terkait karakter virus. Akan melawan atau damai perlu penjelasan, apa langkah bersama yang mutlak ditempuh dalam mencegah merebaknya penularan. Dan apa tindakannya jika terjadi penularan ?
Sederhanaya, damai artinya virus tetap menular, namun ekonomi diharapkan kembali bergerak. Sehingga warga diminta berpikir seperti menghadapi penularan penyakit lain, hepatitis, DBD, TBC atau bahkan HIV Aids. Sayangnya, Virus Corona belum bisa terkendali lebih jinak dari itu semua.
(eko)