Alam Mengamuk: Krisis Multidimensi
Rabu, 20 Januari 2021 - 19:11 WIB
Begitu juga, ketika para pejabat akan menandatangani kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan alam, ia akan
selalu berfikir: apakah akan terjadi proses perusakan alam atau tetap terjaga. Dua hal ini – positif-negatif – akan menjadi pertimbangan utama. Bagi insan beragama dan cukup religius, ia atau mereka akan takut jika tanda tangannya akan berdampak pada proses penghancuran alam.
Sementara itu, masyarakat pun ikut berpartisipasi pro lingkungan dalam ragam “lihat sampah, langsung ambil”. Atau, bergerak dalam aksi penanaman pohon sebagai program.
Lebih dari itu, sebagai insan religius, ia pun senantiasa berpikir: bagaimana menghindari dosa yang dijalani jika menabrak hak-hak atau kepentingan eksosistem alam? Ketika spiritualitas religius itu ada dalam dada sang pengambil kebijakan, ia tak akan pernah berani melakukan tindakan (menandatangani) kebijakan kontraproduktif bagi kepentingan lingkungan.
Ia juga tak akan pernah rela diajak kolusi atau bersokongkol untuk upaya “memperkosa” alam lingkungan. Kini, ada satu urgensi kuat bagaimana membangun “perdamaian” dengan alam. Agar alam tidak mengamuk lagi. Agar penderitaan tidak selalu datang
setiap saat.
Solusinya sederhana: harus segera implementasikan titah Sang Pencipta jagad raya ini, yang di antaranya menitahkan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Inilah kerangka solusi untuk mengakhiri krisis lingkungan. Akan berpengaruh konstruktif bagi tatanan alam. Juga bagi umat manusia.
Kemanfaatan konstruktif dari komitmennya terhadap konstruksi alam yang bersahabat menjadi faktor penting untuk merancang-bangun dalam banyak hal, dalam dimensi berkadilan, dari sisi sosial, ekonomi dan akhirnya sektor lain. Maka, tidaklah berlebihan jika kita menegaskan, ketaatannya terhadap nilai dan prinsip agama menjadi faktor kontributif penting kehidupan umat manusia dan lingkungan.
Jadi, saatnya kembali ke alam pemikiran dan tindakan yang lebih berkualitas dalam bingkai kemanfaatan bersama bagi semua pihak dan tetap menjaga ekosistem. Jauhkan sikap liberalistik yang mengubah cara pandang, yang mendistorsi keharmonisan hubungan antar sesama manusia dan manusia dengan alam sekitar.
selalu berfikir: apakah akan terjadi proses perusakan alam atau tetap terjaga. Dua hal ini – positif-negatif – akan menjadi pertimbangan utama. Bagi insan beragama dan cukup religius, ia atau mereka akan takut jika tanda tangannya akan berdampak pada proses penghancuran alam.
Sementara itu, masyarakat pun ikut berpartisipasi pro lingkungan dalam ragam “lihat sampah, langsung ambil”. Atau, bergerak dalam aksi penanaman pohon sebagai program.
Lebih dari itu, sebagai insan religius, ia pun senantiasa berpikir: bagaimana menghindari dosa yang dijalani jika menabrak hak-hak atau kepentingan eksosistem alam? Ketika spiritualitas religius itu ada dalam dada sang pengambil kebijakan, ia tak akan pernah berani melakukan tindakan (menandatangani) kebijakan kontraproduktif bagi kepentingan lingkungan.
Ia juga tak akan pernah rela diajak kolusi atau bersokongkol untuk upaya “memperkosa” alam lingkungan. Kini, ada satu urgensi kuat bagaimana membangun “perdamaian” dengan alam. Agar alam tidak mengamuk lagi. Agar penderitaan tidak selalu datang
setiap saat.
Solusinya sederhana: harus segera implementasikan titah Sang Pencipta jagad raya ini, yang di antaranya menitahkan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Inilah kerangka solusi untuk mengakhiri krisis lingkungan. Akan berpengaruh konstruktif bagi tatanan alam. Juga bagi umat manusia.
Kemanfaatan konstruktif dari komitmennya terhadap konstruksi alam yang bersahabat menjadi faktor penting untuk merancang-bangun dalam banyak hal, dalam dimensi berkadilan, dari sisi sosial, ekonomi dan akhirnya sektor lain. Maka, tidaklah berlebihan jika kita menegaskan, ketaatannya terhadap nilai dan prinsip agama menjadi faktor kontributif penting kehidupan umat manusia dan lingkungan.
Jadi, saatnya kembali ke alam pemikiran dan tindakan yang lebih berkualitas dalam bingkai kemanfaatan bersama bagi semua pihak dan tetap menjaga ekosistem. Jauhkan sikap liberalistik yang mengubah cara pandang, yang mendistorsi keharmonisan hubungan antar sesama manusia dan manusia dengan alam sekitar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda