Alam Mengamuk: Krisis Multidimensi
Rabu, 20 Januari 2021 - 19:11 WIB
Maka, di depan mata dan hal ini sudah sering terjadi, kita saksikan dua pemandangan miris. Yaitu – pertama – untuk wilayah berdataran miring, mudah terjadi longsor. Dampaknya bukan semata-mata ambrolnya struktur tanah, tapi juga menimpa dataran rendah.
Jika arealnya berpenduduk, maka bukan hanya umat manusia yang menjadi korban, tapi infrastukturnya (rumah dan lainnya seperti gedung perkantoran, pertokoan) ikut tertimbun atau rusak parah. Nilai kerugiannya bukan hanya material yang relatif bisa dihitung nilainya. Tapi, juga kerugian imaterial, yang sangat subjektif.
Jika sampai pada kematian, tentu kerugiannya tak akan bisa dimaterialkan. Tak bisa tergantikan atas kepergiannya yang selamanya.
Kedua, untuk kawasan yang relatif jauh dari sentra pegunungan, maka debit air yang tak tertampung oleh lapisan tanah kehutanan itu akan terus mencari “wadah” yang berada di permukaan yang lebih rendah. Itulah sebabnya, daerah-daerah perkotaan atau manapun yang berposisi lebih rendah menjadi “agresi” air bah membanjirinya. Maka, pemandangan banjir setiap musim hujan tiba menjadi ritme rutin. Dan musim hujan setahun lalu lima kali esktremitasnya dalam masa 154 tahun terakhir.
Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, curah hujan tahun 2020 lalu tertinggi: mencapai 377 hari, lebih tinggi dari tahun 2007 (340 mm/hari). Juga, lebih tinggi dari enam tahun lalu (277 mm/hari). Atau, lebih tinggi dari curah hujan tahun 1996 (216 mm/hari). Dan potensinya, tahun ini jauh lebih ekstrem. Landasannya, kerusakan lingkungan samakin parah.
Dan disadari atau tidak, pemberlakuan UU Omnibus Law yang siap menabrak banyak arena kehutanan akan memperparah kerusakan lingkungan, sehingga bencana alam pun berpotensi semakin rusak berat. Pertanyaannya, apakah rutinitas banjir bersifat alamiah? Tidak. Panorama banjir – secara kausalitas – merupakan akibat dari ulah manusia yang terus menghabisi tatanan lingkungan pepohonan dalam skala massif-ekstensif.
Ulah manusia yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan personal dan atau keluarganya yang sangat terbatas, tapi komersialisasi potensi kayu hutan, yang – secara kalkulatif – jelas-jelas melampaui batas. Panorama penggundulan menjadi indikator pemenuhan kebutuhan ambisius. Ambisusitas itu pula yang – di sisi lain – menggerakkan aksi pembakaran hutan.
Dengan pemikiran pintas, sejumlah manusia bertindak bagaimana mempercepat pemanfaatn lahan hutan. Dan pembakaran menjadi opsi egois yang begitu jahat, tanpa mempedulikan dampak gelombang asap yang daya hijrahnya demikian luas (lintas regional) dan super cepat sejalan dengan gerak arus angin.
Kesehatan para pihak yang jauh dari sentra kehutanan pun bukan hanya terancam, tapi juga terserang secara telak dalam bentuk sesak nafas dan lainnya. Tak kenal usia, gender, ataupun kelas sosial-ekonomi.
Sementara, gerakan “pemerkosaan” terhadap sumber daya alam (SDA) yang ada di dalam kandungan bumi juga tak terkendali. Eksplorasinya dalam berbagai jenis SDA benar-benar “mabuk”. Atas nama pemanfaatan kekayaan alam, kandungan emas, nikel, batubara, gas alam, minyak dan lainnya benar-benar tak hiraukan kepentingan struktur alam. Karenanya, sungguh rasional ketika kerusakan struktur alam mengakibatkan gempa tektonik, bahkan vulkanik.
Jika arealnya berpenduduk, maka bukan hanya umat manusia yang menjadi korban, tapi infrastukturnya (rumah dan lainnya seperti gedung perkantoran, pertokoan) ikut tertimbun atau rusak parah. Nilai kerugiannya bukan hanya material yang relatif bisa dihitung nilainya. Tapi, juga kerugian imaterial, yang sangat subjektif.
Jika sampai pada kematian, tentu kerugiannya tak akan bisa dimaterialkan. Tak bisa tergantikan atas kepergiannya yang selamanya.
Kedua, untuk kawasan yang relatif jauh dari sentra pegunungan, maka debit air yang tak tertampung oleh lapisan tanah kehutanan itu akan terus mencari “wadah” yang berada di permukaan yang lebih rendah. Itulah sebabnya, daerah-daerah perkotaan atau manapun yang berposisi lebih rendah menjadi “agresi” air bah membanjirinya. Maka, pemandangan banjir setiap musim hujan tiba menjadi ritme rutin. Dan musim hujan setahun lalu lima kali esktremitasnya dalam masa 154 tahun terakhir.
Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, curah hujan tahun 2020 lalu tertinggi: mencapai 377 hari, lebih tinggi dari tahun 2007 (340 mm/hari). Juga, lebih tinggi dari enam tahun lalu (277 mm/hari). Atau, lebih tinggi dari curah hujan tahun 1996 (216 mm/hari). Dan potensinya, tahun ini jauh lebih ekstrem. Landasannya, kerusakan lingkungan samakin parah.
Dan disadari atau tidak, pemberlakuan UU Omnibus Law yang siap menabrak banyak arena kehutanan akan memperparah kerusakan lingkungan, sehingga bencana alam pun berpotensi semakin rusak berat. Pertanyaannya, apakah rutinitas banjir bersifat alamiah? Tidak. Panorama banjir – secara kausalitas – merupakan akibat dari ulah manusia yang terus menghabisi tatanan lingkungan pepohonan dalam skala massif-ekstensif.
Ulah manusia yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan personal dan atau keluarganya yang sangat terbatas, tapi komersialisasi potensi kayu hutan, yang – secara kalkulatif – jelas-jelas melampaui batas. Panorama penggundulan menjadi indikator pemenuhan kebutuhan ambisius. Ambisusitas itu pula yang – di sisi lain – menggerakkan aksi pembakaran hutan.
Dengan pemikiran pintas, sejumlah manusia bertindak bagaimana mempercepat pemanfaatn lahan hutan. Dan pembakaran menjadi opsi egois yang begitu jahat, tanpa mempedulikan dampak gelombang asap yang daya hijrahnya demikian luas (lintas regional) dan super cepat sejalan dengan gerak arus angin.
Kesehatan para pihak yang jauh dari sentra kehutanan pun bukan hanya terancam, tapi juga terserang secara telak dalam bentuk sesak nafas dan lainnya. Tak kenal usia, gender, ataupun kelas sosial-ekonomi.
Sementara, gerakan “pemerkosaan” terhadap sumber daya alam (SDA) yang ada di dalam kandungan bumi juga tak terkendali. Eksplorasinya dalam berbagai jenis SDA benar-benar “mabuk”. Atas nama pemanfaatan kekayaan alam, kandungan emas, nikel, batubara, gas alam, minyak dan lainnya benar-benar tak hiraukan kepentingan struktur alam. Karenanya, sungguh rasional ketika kerusakan struktur alam mengakibatkan gempa tektonik, bahkan vulkanik.
tulis komentar anda