Presidential Threshold dan Pilpres Kompetitif
Selasa, 19 Januari 2021 - 05:04 WIB
Jamaludin Ghafur
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
SALAH satu ciri penting dari pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah sifatnya yang kompetitif, dalam arti membuka peluang sebesar-besarnya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk ikut berkompetisi di dalamnya. Karena itu, menurut Albert Weale (2006), tidak ada dalam sejarah di mana pemilu yang hanya diikuti atau dimonopoli oleh satu pasangan calon yang kemudian dapat dikaitkan dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, kompetisi adalah suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem yang otoriter, absolut, dan meniadakan alternatif.
Sayangnya, kecenderungan yang terdapat dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) di era Reformasi adalah semakin terbatasnya jumlah calon. Tiga pelaksanaan pilpres di awal reformasi, yaitu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu menghadirkan lebih dari dua calon. Namun, setelahnya, yaitu pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 hanya tersedia dua pasangan calon.
Sejumlah pihak menengarai bahwa terbatasnya jumlah calon yang kemudian berkonsekuensi pada merosotnya derajat persaingan dalam pilpres, salah satunya disebabkan oleh aturan ambang batas pencalonan (presidential threshold) yang dipatok sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan yaitu memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dilandasi—salah satunya—oleh keinginan untuk mewujudkan kembali pilpres kompetitif yang membuka peluang bagi khalayak umum untuk mencalonkan diri sehingga pasangan calon tidak hanya didominasi oleh sosok itu-itu saja, pada 4 September 2020, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, mereka berdua memohon kepada MK untuk membatalkan pasal tersebut (a quo).
Di luar ekspektasi, melalui Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada Kamis, 14 Januari 2020, mayoritas hakim, yakni 5 dari 9 Hakim MK menyatakan permohonan pengujian UU tersebut dinyatakan tidak dapat diterima [NO (niet ontvankelijke verklaard)] karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Amanat Pilpres yang Kompetitif
UUD 1945 mengamanatkan agar pilpres berlangsung secara kompetitif, yaitu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pilpres dua putaran dengan syarat apabila di putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
SALAH satu ciri penting dari pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah sifatnya yang kompetitif, dalam arti membuka peluang sebesar-besarnya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk ikut berkompetisi di dalamnya. Karena itu, menurut Albert Weale (2006), tidak ada dalam sejarah di mana pemilu yang hanya diikuti atau dimonopoli oleh satu pasangan calon yang kemudian dapat dikaitkan dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, kompetisi adalah suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem yang otoriter, absolut, dan meniadakan alternatif.
Sayangnya, kecenderungan yang terdapat dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) di era Reformasi adalah semakin terbatasnya jumlah calon. Tiga pelaksanaan pilpres di awal reformasi, yaitu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu menghadirkan lebih dari dua calon. Namun, setelahnya, yaitu pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 hanya tersedia dua pasangan calon.
Sejumlah pihak menengarai bahwa terbatasnya jumlah calon yang kemudian berkonsekuensi pada merosotnya derajat persaingan dalam pilpres, salah satunya disebabkan oleh aturan ambang batas pencalonan (presidential threshold) yang dipatok sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan yaitu memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dilandasi—salah satunya—oleh keinginan untuk mewujudkan kembali pilpres kompetitif yang membuka peluang bagi khalayak umum untuk mencalonkan diri sehingga pasangan calon tidak hanya didominasi oleh sosok itu-itu saja, pada 4 September 2020, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, mereka berdua memohon kepada MK untuk membatalkan pasal tersebut (a quo).
Di luar ekspektasi, melalui Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada Kamis, 14 Januari 2020, mayoritas hakim, yakni 5 dari 9 Hakim MK menyatakan permohonan pengujian UU tersebut dinyatakan tidak dapat diterima [NO (niet ontvankelijke verklaard)] karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Amanat Pilpres yang Kompetitif
UUD 1945 mengamanatkan agar pilpres berlangsung secara kompetitif, yaitu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pilpres dua putaran dengan syarat apabila di putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda