PKS Terbitkan Anjuran Vaksinasi Corona, Berikut Penjabarannya
Jum'at, 15 Januari 2021 - 01:31 WIB
1. Islam memerintahkan agar kita serius melakukan pencegahan dan pengobatan dari penyakit. Ikhtiar merupakan cara mengikuti sunah Nabi (irtiba), termasuk dalam konsep tawakal, dan menunjukkan kesempurnaan iman (Ibn Rajab. 1997. 1/437). Ikhtiar bukan saja tidak bertentangan dengan tawakal, tetapi merupakan syarat sah tawakal itu sendiri (Al Oardawi. 1996. 10).
2. Islam memerintahkan agar kita menjaga diri dari penyakit menular dan virus yang mewabah. Rasulullah saw. bersabda, "Berlarilah dari penderita lepra (al majdzum) seperti engkau melarikan diri dari singa," (Bukhari, 5/5380). "Jika engkau mendengar wabah (at tha'un) sedang melanda suatu tempat, janganlah memasuki tempat itu," (Al-Bukhari, 5/5396).
Menurut Al Garafi, segala upaya untuk melindungi diri dari hal hal yang mendatangkan kerusakan (mafsadah) hukumnya adalah wajib (Al Garafi. 1998. 4/401). Maka, disiplin dengan protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan merupakan perkara yang wajib.
3. Islam memerintahkan agar kita tidak menjadi sebab terjadinya penularan wabah sehingga orang yang potensial menularkan wabah harus melakukan isolasi diri. Rasulullah saw. bersabda, "Jika wabah itu sedang melanda suatu tempat dan engkau sedang berada di sana, janganlah keluar darinya," (Bukhari, 5/5396).
Maka, orang yang merasakan adanya gejala tertular oleh Covid 19, dia harus memeriksakan kesehatannya, lalu melakukan isolasi, dan dilakukan penanganan medis. Jika dia tidak melakukannya sehingga menimbulkan kemudaratan (dharar) bagi orang lain, maka dia berdosa.
4. Menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, hukum berobat dari penyakit yang tidak menular adalah mubah (boleh). Namun, menurut mazhab Syafii hukumnya bisa sunah atau wajib. Sunah jika pengobatan itu tidak dipastikan kemanjurannya. Hukum itu menjadi wajib jika efikasinya itu diduga kuat berhasil (Al Jamal. tt. 2/134).
Keharusan berobat dari penyakit yang menular tentu lebih kuat dari penyakit yang tidak menular. Penyebab (ilat) nya karena berpotensi menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Rasulullah saw. bersabda, "La dhororo wa Ia dhirara," Artinya, tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya. (Ibnu Majah, 2/2341, shahih lighairihi), Maka, jika seseorang menolak untuk berobat dari penyakit yang menular, dia berdosa.
B. Pandangan Fikih Tentang Vaksinasi Covid-19 Beberapa persoalan fikih tentang vaksinasi Covid 19 bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Pencegahan dengan kaidah al akhdzu bil asbab harus dilakukan dengan wasilah yang bisa diukur dan telah terbukti secara ilmiah. Pencegahan dengan cara-cara lain seperti ramuan herbal, rugyah, dan lain lain bisa dipergunakan sebagai pelengkap. Secara medis, vaksinasi Covid 19 merupakan wasilah utama.
2. Vaksin Corona yang digunakan harus sudah melewati uji klinis yang standar berdasarkan penilaian pihak yang memiliki otoritas, yaitu BPOM.
2. Islam memerintahkan agar kita menjaga diri dari penyakit menular dan virus yang mewabah. Rasulullah saw. bersabda, "Berlarilah dari penderita lepra (al majdzum) seperti engkau melarikan diri dari singa," (Bukhari, 5/5380). "Jika engkau mendengar wabah (at tha'un) sedang melanda suatu tempat, janganlah memasuki tempat itu," (Al-Bukhari, 5/5396).
Menurut Al Garafi, segala upaya untuk melindungi diri dari hal hal yang mendatangkan kerusakan (mafsadah) hukumnya adalah wajib (Al Garafi. 1998. 4/401). Maka, disiplin dengan protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan merupakan perkara yang wajib.
3. Islam memerintahkan agar kita tidak menjadi sebab terjadinya penularan wabah sehingga orang yang potensial menularkan wabah harus melakukan isolasi diri. Rasulullah saw. bersabda, "Jika wabah itu sedang melanda suatu tempat dan engkau sedang berada di sana, janganlah keluar darinya," (Bukhari, 5/5396).
Maka, orang yang merasakan adanya gejala tertular oleh Covid 19, dia harus memeriksakan kesehatannya, lalu melakukan isolasi, dan dilakukan penanganan medis. Jika dia tidak melakukannya sehingga menimbulkan kemudaratan (dharar) bagi orang lain, maka dia berdosa.
4. Menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, hukum berobat dari penyakit yang tidak menular adalah mubah (boleh). Namun, menurut mazhab Syafii hukumnya bisa sunah atau wajib. Sunah jika pengobatan itu tidak dipastikan kemanjurannya. Hukum itu menjadi wajib jika efikasinya itu diduga kuat berhasil (Al Jamal. tt. 2/134).
Keharusan berobat dari penyakit yang menular tentu lebih kuat dari penyakit yang tidak menular. Penyebab (ilat) nya karena berpotensi menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Rasulullah saw. bersabda, "La dhororo wa Ia dhirara," Artinya, tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya. (Ibnu Majah, 2/2341, shahih lighairihi), Maka, jika seseorang menolak untuk berobat dari penyakit yang menular, dia berdosa.
B. Pandangan Fikih Tentang Vaksinasi Covid-19 Beberapa persoalan fikih tentang vaksinasi Covid 19 bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Pencegahan dengan kaidah al akhdzu bil asbab harus dilakukan dengan wasilah yang bisa diukur dan telah terbukti secara ilmiah. Pencegahan dengan cara-cara lain seperti ramuan herbal, rugyah, dan lain lain bisa dipergunakan sebagai pelengkap. Secara medis, vaksinasi Covid 19 merupakan wasilah utama.
2. Vaksin Corona yang digunakan harus sudah melewati uji klinis yang standar berdasarkan penilaian pihak yang memiliki otoritas, yaitu BPOM.
Lihat Juga :
tulis komentar anda