Demokrasi Pasca-Trump

Kamis, 14 Januari 2021 - 05:00 WIB
Di sisi lain, dominasi lelaki berkulit putih dari kelas pekerja tergeser nilai-nilai kesetaraan dan kemajemukan yang lebih progresif. Kehilangan keistimewaan mereka, kalangan ini mengarahkan telunjuk mereka kepada elite liberal dan siapa pun yang dianggap outgroup. Trump berhasil menggemakan kegusaran tersebut dalam simbol politik yang gamblang.

Kemampuan untuk menangkap gejolak sosial tersebut ditunjang oleh kekuatan modal Trump yang mampu membeli teknologi komputasional dan keahlian dalam melakukan propaganda. Dua hal terakhir turut menopang ketokohan personal Trump sehingga dia mampu untuk bukan hanya mengombang-ambingkan kepercayaan, tetapi juga membiakkan kebencian warga.

Superioritas politik Trump telah kandas di tangan Biden. Kendati demikian, empat tahun kekuasaan Trump telah memberi pukulan berarti bagi demokrasi AS dan stabilisasi global. Tanpa kekuasaan hegemonik, dunia ditantang untuk menghadirkan suatu tatanan alternatif yang ramah terhadap kebebasan dan kemajemukan, bukan kebencian yang membahana.

Dunia yang Welas Asih

Demokrasi global kontemporer mengalami perkembangan signifikan seusai Perang Dingin. Liberalisasi politik melaju serupa gelombang menyapu rezim-rezim otoriter ataupun totaliter di berbagai belahan dunia. Sayangnya, penumbangan sebagian diktator berikut pemaksaan instalasi demokrasi oleh kekuatan eksternal turut menjadi bagian ironi demokratisasi global.

Catatan Freedom House pada 2020 mengungkapkan fenomena kemunduran kebebasan global selama 14 tahun berturut-turut. Kemunduran tersebut banyak disumbang oleh negara-negara yang sebelumnya tergolong bebas atau setengah bebas. AS, salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, dalam hal ini juga bukan suatu perkecualian.

Dengan seorang presiden yang menyerang pers, mengancam untuk memenjarakan lawan politiknya, dan menolak hasil pemilu manakala dia kalah, AS di bawah kepemimpinan Trump bukanlah model rujukan demokrasi dunia. Inilah yang membuat Levistsky dan Ziblat (2018) mengkhawatirkan bahwa kematian demokrasi bisa dipicu oleh pemimpin yang justru terpilih melalui pemilu.

Pelimpahan kepemimpinan dari Trump kepada Biden diharapkan membawa perubahan mendasar. Dalam pidato kemenangannya, Biden antara lain menyerukan persatuan dan kegigihan untuk memulihkan demokrasi serta untuk mengontrol pandemi Covid-19. Seluruh upaya tersebut, kata Biden, membutuhkan sikap welas asih, empati, dan kepedulian.

Nilai-nilai kemanusiaan yang bertebaran dalam pidato Biden tersebut dibutuhkan bukan semata dalam kerangka hubungan antarwarga AS, tetapi juga antara AS dan negara-negara lain. Jargon America First telah diterjemahkan secara ofensif dan cenderung merendahkan posisi negara lain sehingga memicu meningkatnya tegangan global beberapa masa terakhir.

Mengacu Wertheim (2020), Trump membangun dukungan domestik dari agendanya untuk membangun kebesaran AS, tetapi minim wawasan tentang kepemimpinan internasional. Wertheim mengajukan tawaran untuk memperbaiki tatanan global tanpa dominasi AS, yang sebelumnya banyak dibesarkan lewat mesin perang mereka, terutama tiga dekade terakhir.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More