Demokrasi Pasca-Trump
Kamis, 14 Januari 2021 - 05:00 WIB
Arif Susanto
Analis politik Exposit Strategic, Dosen LSPR Jakarta
DEMOKRASI terancam di tangan pemimpin otoriter populis seperti Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang terpilih bahkan melalui suatu pemilu. Hasutan politik yang dilakukannya telah menumbuhkan kebencian dalam suatu polarisasi politik, sekaligus memicu kecenderungan kekerasan politik. Pasca-Trump, AS dan dunia ditantang untuk mengupayakan perwujudan suatu tatanan yang welas asih, minus penyalahgunaan demokrasi sebagai instrumen hegemoni politik global.
Polarisasi Politik
Unjuk rasa berikut “pendudukan” Gedung DPR atau Capitol Hill di Washington DC pada Rabu (6/1) oleh para pendukung Trump mendapat kecaman luas. Presiden terpilih AS Joe Biden menyebutnya sebagai “serangan yang belum pernah terjadi dalam demokrasi modern AS”. Mantan Presiden AS Barack Obama menunjuknya sebagai “hasil hasutan yang memalukan”.
Sejak sebelum pemilu, hasutan politik memang telah meningkatkan kecenderungan kekerasan di antara pendukung kedua kubu calon presiden. Merespons insiden pendudukan Gedung Capitol, Trump menunjukkan simpati kepada perusuh sambil terus menuding terjadi kecurangan pemilu. Tak pelak, unggahan Trump media sosial diturunkan oleh para penyedia aplikasi. Twitter bahkan menutup akun Trump.
Trump kerap memengaruhi opini publik, termasuk menciptakan polarisasi politik, melalui unggahan di media sosial. Media-media utama, seperti Washington Post dan New York Times, disebutnya penyebar kabar bohong dan musuh masyarakat. Pesaingnya di pemilihan presiden (pilpres), Biden, pun ditudingnya mengusung agenda radikal Kiri untuk melawan Tuhan serta mencampakkan Alkitab.
Dalam empat tahun terakhir retorika politik Trump sebenarnya tidak banyak beringsut dari kegusaran akibat dampak pergeseran sosial. Ekspresi-ekspresi berbau rasisme, seksisme, atau xenofobia yang berpadu dengan jargon anti-elitisme, secara ironi dibungkus dalam slogan Make America Great Again, menarik para pemuja supremasi lampau konservatisme gaya AS.
Studi Norris dan Inglehart (2019) menunjukkan bahwa dukungan terhadap gagasan populisme otoritarian Trump berakar antara lain pada kondisi terkini ekonomi dan budaya. Kerentanan ekonomi Negeri Paman Sam membuat banyak orang cenderung menghendaki pemimpin kuat yang dipandang mampu melindungi mereka dari ancaman yang dipersepsi bersumber eksternal.
Analis politik Exposit Strategic, Dosen LSPR Jakarta
DEMOKRASI terancam di tangan pemimpin otoriter populis seperti Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang terpilih bahkan melalui suatu pemilu. Hasutan politik yang dilakukannya telah menumbuhkan kebencian dalam suatu polarisasi politik, sekaligus memicu kecenderungan kekerasan politik. Pasca-Trump, AS dan dunia ditantang untuk mengupayakan perwujudan suatu tatanan yang welas asih, minus penyalahgunaan demokrasi sebagai instrumen hegemoni politik global.
Polarisasi Politik
Unjuk rasa berikut “pendudukan” Gedung DPR atau Capitol Hill di Washington DC pada Rabu (6/1) oleh para pendukung Trump mendapat kecaman luas. Presiden terpilih AS Joe Biden menyebutnya sebagai “serangan yang belum pernah terjadi dalam demokrasi modern AS”. Mantan Presiden AS Barack Obama menunjuknya sebagai “hasil hasutan yang memalukan”.
Sejak sebelum pemilu, hasutan politik memang telah meningkatkan kecenderungan kekerasan di antara pendukung kedua kubu calon presiden. Merespons insiden pendudukan Gedung Capitol, Trump menunjukkan simpati kepada perusuh sambil terus menuding terjadi kecurangan pemilu. Tak pelak, unggahan Trump media sosial diturunkan oleh para penyedia aplikasi. Twitter bahkan menutup akun Trump.
Trump kerap memengaruhi opini publik, termasuk menciptakan polarisasi politik, melalui unggahan di media sosial. Media-media utama, seperti Washington Post dan New York Times, disebutnya penyebar kabar bohong dan musuh masyarakat. Pesaingnya di pemilihan presiden (pilpres), Biden, pun ditudingnya mengusung agenda radikal Kiri untuk melawan Tuhan serta mencampakkan Alkitab.
Dalam empat tahun terakhir retorika politik Trump sebenarnya tidak banyak beringsut dari kegusaran akibat dampak pergeseran sosial. Ekspresi-ekspresi berbau rasisme, seksisme, atau xenofobia yang berpadu dengan jargon anti-elitisme, secara ironi dibungkus dalam slogan Make America Great Again, menarik para pemuja supremasi lampau konservatisme gaya AS.
Studi Norris dan Inglehart (2019) menunjukkan bahwa dukungan terhadap gagasan populisme otoritarian Trump berakar antara lain pada kondisi terkini ekonomi dan budaya. Kerentanan ekonomi Negeri Paman Sam membuat banyak orang cenderung menghendaki pemimpin kuat yang dipandang mampu melindungi mereka dari ancaman yang dipersepsi bersumber eksternal.
Lihat Juga :
tulis komentar anda