Wamenkumham Ungkap Pentingnya Pengesahan Rancangan KUHP

Selasa, 29 Desember 2020 - 20:44 WIB
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan pengesahan Rancangan KUHP penting untuk mengubah mindset masyarakat terhadap hukum pidana. FOTO/DOK.SINDOnews
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM ( Wamenkumham ) Edward Omar Sharif Hiariej meminta masyarakat mengubah mindset terkait kasus pidana untuk tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif. Model keadilan retributif menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan kejahatan, maka hukuman yang diterima oleh pelaku merupakan hukuman yang ditujukan untuk membalas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan pelaku.

"Mengapa demikian? Saya kasih contoh konkret, masyarakat kita itu mindset-nya ketika berkaitan dengan kasus pidana, yang mereka mau tuh pelakunya ditangkap dihukum seberat-beratnya. Jadi apa? Masyarakat kita, even aparat penegak hukum yang ada mindset-nya apa? Keadilan retributif, keadilan pembalasan padahal, new paradigm in the world regarding criminolog," kata Eddy Hiariej dalam diskusi bertajuk 'Catatan Akhir Tahun dan Menatap Hukum Masa Depan' secara daring, Selasa (29/12/2020).

Eddy menekankan bahwa paradigma baru yang berkaitan dengan hukum pidana secara universal itu tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. "Dan ini akan terjawab ketika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu disahkan menjadi KUHP," katanya. ( )

Menurut Eddy, ada sekitar 7 jenis pidana dan pidana penjara itu diletakan paling terakhir. Kemenkumham harus mengubah paradigma masyarakat agar tidak lagi hanya fokus pada hukuman semata tapi ada restorasi justice dalam pengertian keadilan yang dipulihkan.



"Jadi ini merupakan satu kesatuan ketika kita berbicara bagaimana membenahi lapas, maka dimulai dengan hukum materialnya KUHP ini segera disahkan supaya apa bagaimana kita mencoba mengubah mindset masyarakat bahwa jangan apa-apa dilemparkan ke lapas, apa-apa dilemparkan ke lapas," katanya.

"Anda bisa bayangkann koruptor, pemerkosa, pembunuh, pencuri, ini kok semua diserahkan kepada lapas untuk dibina? it doesnt makes sense," ujarnya. ( )

Padahal, kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia terbatas yakni hanya bisa menampung sekitar 160.000 orang sedangkan narapidananya berjumlah sekitar 238.000 orang.

"Kapasitas yang kecil sementara masyarakat maunya menghukum seberat-beratnya, jadi ini tidak match. Karena itu bagaimana membenahi lapas itu bukan hal yang mudah. Kita berbicara sistem peradilan pidana secara keseluruhan," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More