Kaleidoskop Komunikasi Politik 2020
Senin, 28 Desember 2020 - 06:30 WIB
Kedua, berdampak pada soliditas pemerintah sendiri dalam mengatasi pandemi. Banyak sekali kebijakan dikeluarkan, tetapi banyak juga yang tidak berjalan efektif. Salah satunya disebabkan lemahnya komunikasi kebijakan. Misalnya kebijakan menyangkut kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres Nomor 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan. Presiden Jokowi meneken dan mengeluarkan Perpres tersebut pada 5 Mei 2020. Kebijakan yang dianggap keluar di musim yang tidak tepat ini, akhirnya sulit diimplementasikan. Hal lain, misalnya, polemik antara penerapan PSBB dan pelonggaran moda transportasi menjelang mudik Lebaran. Koordinasi menjadi kunci dalam komunikasi organisasi birokrasi.
Ke depan, dalam penanganan komunikasi pandemi ataupun kebencanaan nasional lain diperlukan manajemen komunikasi yang lebih baik. Pemerintah harus responsif dengan segera menyiapkan protokol komunikasi, mengoordinasikan peran antarlembaga, serta memiliki acuan kebijakan yang berorientasi pada penanganan persoalan dari hulu ke hilir secara sistemis dan komprehensif.
Komunikasi Publik
Catatan lain, data sepanjang tahun ini juga menunjukkan bolong besar komunikasi publik pemerintah atas sejumlah isu dan persoalan nasional yang berdampak luas pada khalayak. Pengesahan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja menuai polemik luar biasa. Hal lain yang menjadi polemik adalah Perppu Nomor 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dari 23 September ke 9 Desember. Perppu tersebut akhirnya disetujui di DPR menjadi undang-undang dan mendapat resistensi publik luas, bahkan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kalangan kampus, LSM, dan banyak tokoh nasional melakukan penolakan. Hal ini karena situasi pandemi dengan risiko penularan virus korona masih tinggi.
Hal yang tak kalah penting dalam konteks komunikasi kebijakan tentu saja tentang vaksin. Polemik mengemuka karena tidak berperan optimalnya komunikasi publik terkait dengan rencana vaksinasi ini. Misalnya soal dari mana vaksin didatangkan, alasan vaksinasi, kapan dan siapa yang akan diberi vaksin di periode awal, serta mekanisme memperoleh vaksin secara gratis atau berbayar. Perbincangan tersebut cukup membingungkan masyarakat. Beruntungnya Presiden Jokowi segera mengambil peran dengan memastikan bahwa vaksin akan digratiskan.
Tidak mudah berkomunikasi dengan masyarakat. Hal yang sangat diperlukan di saat seperti sekarang adalah komunikasi persuasif. Menjelaskan dengan argumentasi yang rinci, runut, dan terukur agar masyarakat tergerak memahami dan mengikuti fase kenormalan baru yang dikehendaki. Merujuk ke salah satu teori persuasi, yakni Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu akan ditentukan oleh intensi seseorang. Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Niat melakukan atau tidak melakukan hal tertentu dipengaruhi oleh dua faktor mendasar, yakni sikap (attitude towards behavior) dan norma subjektif (subjective norms). Komunikasi publik pemerintah harus lebih baik lagi di tahun depan. Jangan jadikan komunikasi publik sebagai peran pinggiran dan dikelola asal-asalan.
Ke depan, dalam penanganan komunikasi pandemi ataupun kebencanaan nasional lain diperlukan manajemen komunikasi yang lebih baik. Pemerintah harus responsif dengan segera menyiapkan protokol komunikasi, mengoordinasikan peran antarlembaga, serta memiliki acuan kebijakan yang berorientasi pada penanganan persoalan dari hulu ke hilir secara sistemis dan komprehensif.
Komunikasi Publik
Catatan lain, data sepanjang tahun ini juga menunjukkan bolong besar komunikasi publik pemerintah atas sejumlah isu dan persoalan nasional yang berdampak luas pada khalayak. Pengesahan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja menuai polemik luar biasa. Hal lain yang menjadi polemik adalah Perppu Nomor 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dari 23 September ke 9 Desember. Perppu tersebut akhirnya disetujui di DPR menjadi undang-undang dan mendapat resistensi publik luas, bahkan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kalangan kampus, LSM, dan banyak tokoh nasional melakukan penolakan. Hal ini karena situasi pandemi dengan risiko penularan virus korona masih tinggi.
Hal yang tak kalah penting dalam konteks komunikasi kebijakan tentu saja tentang vaksin. Polemik mengemuka karena tidak berperan optimalnya komunikasi publik terkait dengan rencana vaksinasi ini. Misalnya soal dari mana vaksin didatangkan, alasan vaksinasi, kapan dan siapa yang akan diberi vaksin di periode awal, serta mekanisme memperoleh vaksin secara gratis atau berbayar. Perbincangan tersebut cukup membingungkan masyarakat. Beruntungnya Presiden Jokowi segera mengambil peran dengan memastikan bahwa vaksin akan digratiskan.
Tidak mudah berkomunikasi dengan masyarakat. Hal yang sangat diperlukan di saat seperti sekarang adalah komunikasi persuasif. Menjelaskan dengan argumentasi yang rinci, runut, dan terukur agar masyarakat tergerak memahami dan mengikuti fase kenormalan baru yang dikehendaki. Merujuk ke salah satu teori persuasi, yakni Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu akan ditentukan oleh intensi seseorang. Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Niat melakukan atau tidak melakukan hal tertentu dipengaruhi oleh dua faktor mendasar, yakni sikap (attitude towards behavior) dan norma subjektif (subjective norms). Komunikasi publik pemerintah harus lebih baik lagi di tahun depan. Jangan jadikan komunikasi publik sebagai peran pinggiran dan dikelola asal-asalan.
(bmm)
tulis komentar anda