Kaleidoskop Komunikasi Politik 2020
Senin, 28 Desember 2020 - 06:30 WIB
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
TAHUN ini diwarnai cerita menyedihkan. Banyak sahabat, kerabat, kolega yang jatuh sakit, meninggal, kehilangan pekerjaan, dan sejumlah cerita berat lain sebagai dampak pandemi Covid-19. Tak berlebihan jika kita simpulkan: inilah tahun kesedihan yang membuat kita perlu berefleksi lebih mendalam lagi tentang cara membangun semangat “kekitaan” di tengah situasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Dari sisi komunikasi, situasi seperti sekarang membutuhkan cara yang tepat untuk membangun pemahaman bersama sekaligus bekerja sama dalam agenda mengurai persoalan bangsa.
Komunikasi Pandemi
Untuk mengurai persoalan yang begitu kompleks sepanjang tahun ini, diperlukan sejumlah perbaikan signifikan. Salah satunya persoalan komunikasi yang kerap kurang direncanakan dan diimplementasikan secara tidak matang.
Pengelolaan komunikasi pandemi menjadi persoalan serius tahun ini. Hal ini terkait dengan manajemen kebencanaan nasional nonalam. Merujuk ke Undang-Undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, ada tiga jenis bencana. Ada bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana nonalam itu contohnya wabah/pandemi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan korona sebagai pandemi. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nasional sejak Sabtu (14/3/2020). Tiga masalah utama komunikasi pandemi ialah komunikasi kebijakan, kelembagaan komunikasi, dan jaringan komunikasi bencana, strategi diseminasi, dan respons dinamika isu yang berkembang. Perspektif komunikasi dalam penanganan pandemi korona harus diletakkan dalam bingkai komunikasi bencana.
Ketergagapan dalam penanganan komunikasi pandemi ini menyebabkan persoalan serius seperti lemahnya koordinasi antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mudik Lebaran, pembatasan moda transportasi, distribusi bantuan, hingga penggunaan anggaran dan implementasi sejumlah kewenangan. Sebenarnya pemerintah sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Di sektor komunikasi, pemerintah sudah memiliki Instruksi Presiden Nomor 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Hanya, turunan dari hal tersebut secara teknis tidak memadai. Misalnya protokol komunikasi terlambat dibuat, peran informasi (information roles) sangat kurang teperhatikan dengan baik, sehingga ada banyak tumpang tindih kendali dalam distribusi serta alokasi pekerjaan.
Problem komunikasi ini berdampak pada dua hal. Pertama, pada kepercayaan publik tentang peran dan fungsi pemerintah dalam penanganan bencana. Sejak Maret 2020 ditetapkannya pandemi hingga saat ini, persoalan kepercayaan ini kerap mengemuka. Misalnya, di masa awal pandemi terhubung dengan kepercayaan publik tentang data yang terpapar Covid-19, data mereka yang berhak mendapatkan bantuan pemerintah, serta transparansi menyangkut alokasi anggarannya. Ketidakpercayaan publik cukup beralasan. Hal ini, dipicu oleh besarnya potensi adanya oknum di pemerintah yang mengail di air keruh. Negara harus menunda sebagian besar rencana kegiatan produktif 2020 karena harus dilakukan realokasi anggaran untuk membiayai perlindungan sosial. Dari total pagu anggaran Rp234,33 triliun, realisasi perlindungan sosial telah mencapai Rp207,8 triliun atau 88,9% hingga akhir November 2020. Problem serius soal data memang menjadi momok sekaligus kendala.
Saat muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada 31 Maret 2020, ketidakpercayaan publik terhubung dengan persepsi sekaligus kekhawatiran bahwa Perppu Covid-19 ini membuka celah bagi pejabat untuk korupsi. Kekhawatiran publik tersebut terkonfirmasi. Misalnya, dalam kasus bantuan sosial yang dikorup sejumlah oknum di Kementrian Sosial yang melibatkan peran Menteri Sosial dan sejumlah pejabat teras lain. Korupsi bantuan sosial kaum papa benar-benar menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Jokowi. Hal tersebut terjadi karena sedari awal ada persoalan, yakni buruknya kejelasan data dan transparansi informasi.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
TAHUN ini diwarnai cerita menyedihkan. Banyak sahabat, kerabat, kolega yang jatuh sakit, meninggal, kehilangan pekerjaan, dan sejumlah cerita berat lain sebagai dampak pandemi Covid-19. Tak berlebihan jika kita simpulkan: inilah tahun kesedihan yang membuat kita perlu berefleksi lebih mendalam lagi tentang cara membangun semangat “kekitaan” di tengah situasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Dari sisi komunikasi, situasi seperti sekarang membutuhkan cara yang tepat untuk membangun pemahaman bersama sekaligus bekerja sama dalam agenda mengurai persoalan bangsa.
Komunikasi Pandemi
Untuk mengurai persoalan yang begitu kompleks sepanjang tahun ini, diperlukan sejumlah perbaikan signifikan. Salah satunya persoalan komunikasi yang kerap kurang direncanakan dan diimplementasikan secara tidak matang.
Pengelolaan komunikasi pandemi menjadi persoalan serius tahun ini. Hal ini terkait dengan manajemen kebencanaan nasional nonalam. Merujuk ke Undang-Undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, ada tiga jenis bencana. Ada bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana nonalam itu contohnya wabah/pandemi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan korona sebagai pandemi. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nasional sejak Sabtu (14/3/2020). Tiga masalah utama komunikasi pandemi ialah komunikasi kebijakan, kelembagaan komunikasi, dan jaringan komunikasi bencana, strategi diseminasi, dan respons dinamika isu yang berkembang. Perspektif komunikasi dalam penanganan pandemi korona harus diletakkan dalam bingkai komunikasi bencana.
Ketergagapan dalam penanganan komunikasi pandemi ini menyebabkan persoalan serius seperti lemahnya koordinasi antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mudik Lebaran, pembatasan moda transportasi, distribusi bantuan, hingga penggunaan anggaran dan implementasi sejumlah kewenangan. Sebenarnya pemerintah sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Di sektor komunikasi, pemerintah sudah memiliki Instruksi Presiden Nomor 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Hanya, turunan dari hal tersebut secara teknis tidak memadai. Misalnya protokol komunikasi terlambat dibuat, peran informasi (information roles) sangat kurang teperhatikan dengan baik, sehingga ada banyak tumpang tindih kendali dalam distribusi serta alokasi pekerjaan.
Problem komunikasi ini berdampak pada dua hal. Pertama, pada kepercayaan publik tentang peran dan fungsi pemerintah dalam penanganan bencana. Sejak Maret 2020 ditetapkannya pandemi hingga saat ini, persoalan kepercayaan ini kerap mengemuka. Misalnya, di masa awal pandemi terhubung dengan kepercayaan publik tentang data yang terpapar Covid-19, data mereka yang berhak mendapatkan bantuan pemerintah, serta transparansi menyangkut alokasi anggarannya. Ketidakpercayaan publik cukup beralasan. Hal ini, dipicu oleh besarnya potensi adanya oknum di pemerintah yang mengail di air keruh. Negara harus menunda sebagian besar rencana kegiatan produktif 2020 karena harus dilakukan realokasi anggaran untuk membiayai perlindungan sosial. Dari total pagu anggaran Rp234,33 triliun, realisasi perlindungan sosial telah mencapai Rp207,8 triliun atau 88,9% hingga akhir November 2020. Problem serius soal data memang menjadi momok sekaligus kendala.
Saat muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada 31 Maret 2020, ketidakpercayaan publik terhubung dengan persepsi sekaligus kekhawatiran bahwa Perppu Covid-19 ini membuka celah bagi pejabat untuk korupsi. Kekhawatiran publik tersebut terkonfirmasi. Misalnya, dalam kasus bantuan sosial yang dikorup sejumlah oknum di Kementrian Sosial yang melibatkan peran Menteri Sosial dan sejumlah pejabat teras lain. Korupsi bantuan sosial kaum papa benar-benar menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Jokowi. Hal tersebut terjadi karena sedari awal ada persoalan, yakni buruknya kejelasan data dan transparansi informasi.
tulis komentar anda