Misi Politik Kemanusiaan Ramadan
Kamis, 14 Mei 2020 - 06:14 WIB
Adi Prayitno
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
MENJALANKAN puasa Ramadan di tengah pandemi korona terasa istimewa. Setidaknya menguji dua hal sekaligus, yakni kemampuan menahan diri dan menumbuhkan solidaritas sosial. Di tengah kesulitan justru menyimpan ragam hikmah. Terutama memupuk rasa empati terhadap korban terdampak korona serta daya tahan untuk tak bicara politik apa pun. Kecuali misi politik kemanusiaan. Inilah misi utama politik di bulan Ramadan.
Adagium politik cukup populer mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Narasi sederhana namun perkara sulit untuk dipraktikkan. Mengandung makna filosofis mendalam. Bahwa politik tak melulu soal rebutan kekuasaan. Politik dalam batas tertentu sangat lekat dengan misi politik humanisme universal.
Diktum politik di atas makin relevan di tengah kondisi korona yang mengkhawatirkan. Saat ini semua energi bangsa mesti diarahkah menanggulangi wabah ganas korona. Hentikan segala bentuk pertikaian politik kekuasaan. Redakan sejenak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan wacana pindah ibu Kota sebagai bentuk simpati musibah korona.
Semua diskursus serta aktivitas politik harus diprioritaskan menanggulangi korana. Inilah sejatinya politik yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan. Korona merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Indonesia turut merasakan betapa mengerikan daya rusak wabah yang telah menghancurkan sendi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi ini. Tak ada yang tahu pasti kapan musibah korona akan berlalu.
Oleh karena itu, pemerintah, parlemen, partai politik, serta eksponen politik lainnya mesti satu suara menanggulangi korona. Tak perlu lagi ribut karena perbedaan mazhab politik. Saling nyiyir tak berkesudahan. Mari bergandengan tangan karena korona masalah bersama bangsa. Inisiatif DPR membentuk unit tugas korona layak diapresiasi. Tentu tugasnya bukan semata sinergi dan mengontrol kinerja pemerintah. Namun, juga harus menjadi lokomotif utama pencegahan korona. Usul potong gaji anggota dewan segera direalisasikan secara kolektif. Bukan semata wacana indah di tengah musim pandemi korona.
Jumlah korban terdampak korona terus bertambah. Segala daya sudah diupayakan mulai dari imbauan menjauhi kerumunan, social distancing, pola hidup sehat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga larangan mudik. Semua sudah dilakukan sebagai bentuk ikhtiar mengamputasi sebaran korona.
Politik Kemanusiaan
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
MENJALANKAN puasa Ramadan di tengah pandemi korona terasa istimewa. Setidaknya menguji dua hal sekaligus, yakni kemampuan menahan diri dan menumbuhkan solidaritas sosial. Di tengah kesulitan justru menyimpan ragam hikmah. Terutama memupuk rasa empati terhadap korban terdampak korona serta daya tahan untuk tak bicara politik apa pun. Kecuali misi politik kemanusiaan. Inilah misi utama politik di bulan Ramadan.
Adagium politik cukup populer mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Narasi sederhana namun perkara sulit untuk dipraktikkan. Mengandung makna filosofis mendalam. Bahwa politik tak melulu soal rebutan kekuasaan. Politik dalam batas tertentu sangat lekat dengan misi politik humanisme universal.
Diktum politik di atas makin relevan di tengah kondisi korona yang mengkhawatirkan. Saat ini semua energi bangsa mesti diarahkah menanggulangi wabah ganas korona. Hentikan segala bentuk pertikaian politik kekuasaan. Redakan sejenak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan wacana pindah ibu Kota sebagai bentuk simpati musibah korona.
Semua diskursus serta aktivitas politik harus diprioritaskan menanggulangi korana. Inilah sejatinya politik yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan. Korona merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Indonesia turut merasakan betapa mengerikan daya rusak wabah yang telah menghancurkan sendi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi ini. Tak ada yang tahu pasti kapan musibah korona akan berlalu.
Oleh karena itu, pemerintah, parlemen, partai politik, serta eksponen politik lainnya mesti satu suara menanggulangi korona. Tak perlu lagi ribut karena perbedaan mazhab politik. Saling nyiyir tak berkesudahan. Mari bergandengan tangan karena korona masalah bersama bangsa. Inisiatif DPR membentuk unit tugas korona layak diapresiasi. Tentu tugasnya bukan semata sinergi dan mengontrol kinerja pemerintah. Namun, juga harus menjadi lokomotif utama pencegahan korona. Usul potong gaji anggota dewan segera direalisasikan secara kolektif. Bukan semata wacana indah di tengah musim pandemi korona.
Jumlah korban terdampak korona terus bertambah. Segala daya sudah diupayakan mulai dari imbauan menjauhi kerumunan, social distancing, pola hidup sehat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga larangan mudik. Semua sudah dilakukan sebagai bentuk ikhtiar mengamputasi sebaran korona.
Politik Kemanusiaan
tulis komentar anda