Misi Politik Kemanusiaan Ramadan
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
MENJALANKAN puasa Ramadan di tengah pandemi korona terasa istimewa. Setidaknya menguji dua hal sekaligus, yakni kemampuan menahan diri dan menumbuhkan solidaritas sosial. Di tengah kesulitan justru menyimpan ragam hikmah. Terutama memupuk rasa empati terhadap korban terdampak korona serta daya tahan untuk tak bicara politik apa pun. Kecuali misi politik kemanusiaan. Inilah misi utama politik di bulan Ramadan.
Adagium politik cukup populer mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Narasi sederhana namun perkara sulit untuk dipraktikkan. Mengandung makna filosofis mendalam. Bahwa politik tak melulu soal rebutan kekuasaan. Politik dalam batas tertentu sangat lekat dengan misi politik humanisme universal.
Diktum politik di atas makin relevan di tengah kondisi korona yang mengkhawatirkan. Saat ini semua energi bangsa mesti diarahkah menanggulangi wabah ganas korona. Hentikan segala bentuk pertikaian politik kekuasaan. Redakan sejenak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan wacana pindah ibu Kota sebagai bentuk simpati musibah korona.
Semua diskursus serta aktivitas politik harus diprioritaskan menanggulangi korana. Inilah sejatinya politik yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan. Korona merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Indonesia turut merasakan betapa mengerikan daya rusak wabah yang telah menghancurkan sendi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi ini. Tak ada yang tahu pasti kapan musibah korona akan berlalu.
Oleh karena itu, pemerintah, parlemen, partai politik, serta eksponen politik lainnya mesti satu suara menanggulangi korona. Tak perlu lagi ribut karena perbedaan mazhab politik. Saling nyiyir tak berkesudahan. Mari bergandengan tangan karena korona masalah bersama bangsa. Inisiatif DPR membentuk unit tugas korona layak diapresiasi. Tentu tugasnya bukan semata sinergi dan mengontrol kinerja pemerintah. Namun, juga harus menjadi lokomotif utama pencegahan korona. Usul potong gaji anggota dewan segera direalisasikan secara kolektif. Bukan semata wacana indah di tengah musim pandemi korona.
Jumlah korban terdampak korona terus bertambah. Segala daya sudah diupayakan mulai dari imbauan menjauhi kerumunan, social distancing, pola hidup sehat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga larangan mudik. Semua sudah dilakukan sebagai bentuk ikhtiar mengamputasi sebaran korona.
Politik Kemanusiaan
Politik kemanusiaan mengacu pada komitmen bahwa korona adalah tragedi kemanusiaan yang harus dihadapi bersama. Kerja sama semua pihak adalah solusinya. Hilangkan sekat politik. Semua blok ideologi mesti bersatu. Kerja menanggulangi korona adalah kolektif kolegial. Tak bisa parsial dan saling mengandalkan. Karena korona bukan hanya urusan pemerintah melainkan juga urusan seluruh rakyat.
Karena itu, isu korona di atas segalanya. Termasuk di atas kepentingan target ekonomi, investasi, maupun pariwisata. Korona menyangkut keselamatan hidup rakyat. Kondisi ekonomi bisa diperbaiki, tapi nyawa tak ada gantinya. Ini penting diingat karena khawatir masih saja ada pihak terkesan melihat korona bukan masalah besar. Keselamatan dan nyawa rakyat itu prioritas.
Pilkada sudah ditunda. Bentuk empati terhadap tragedi kemanusiaan korona. Tentu saja segala hal yang bertalian dengan politik selain korona harus dihentikan. Publik berharap pemerintah, anggota parlemen, dan partai poltik kompak bergandengan tangan menjadikan korona sebagai isu utama. Kalangan civil society, pekerja seni, dan kelompok filantropi sudah bergerak atas nama kemanusiaan.
Tak ada gunanya banyak regulasi lahir, tapi rakyat hidup dalam keadaan cemas. Untuk apa banyak klausul konstitusional disahkan jika angka kematian tak bisa dibendung. Politik kemanusiaan adalah corak politik menjadikan korona sebagai satu-satunya isu yang harus disikapi bersama saat ini. Bukan isu lain yang masih bisa ditunda. Toh , biasanya kerja regulasi selalu meleset jauh dari target prolegnas.
Di luar itu, dibutuhkan uluran tangan berbagai pihak. Bangsa ini besar karena budaya gotong royong. Harus melekat sebagai iman politik bahwa soal korona bukan hanya urusan pemerintah, parlemen, dan partai politik. Namun, juga menjadi urusan pengusaha, perusahaan multinasional, artis, budayawan, dan seterusnya. Urusan korona tak kenal kasta sosial. Pejabat publik hingga rakyat biasa butuh berkolaborasi untuk bergerak bersama.
Bulan puasa menjadi momentum mewujudkan misi politik kemanusiaan. Menjadikan korona sebagai prioritas. Membantu mereka yang kesusahan. Tragedi korona faktual bukan fiksi apalagi dongeng. Butuh gerakan solidaritas kemanusiaan yang juga nyata. Semua energi politik sejatinya diarahkan menanggulangi tragedi kemanusiaan ini.
Peran Partai Politik
Di tengah hiruk-pikuk penanggulangan korona, kiprah partai politik senyap bak ditelan bumi. Padahal bekas jejak mengikuti pemilu 2019 masih terasa. Ruang publik pengap dengan narasi politik mereka. Berebut klaim populis. Merasa paling dekat dengan rakyat. Agresivitas kampanye dilakukan nyaris tanpa jeda. Berdenyut setiap saat.
Suka tak suka negara ini bekerja di bawah kuasa rezim partai politik. Semua kebijakan politik strategis ditentukan oleh pejabat publik yang dipenuhi kader partai. Presiden, menteri, anggota dewan, gubernur, bupati, dan wali kota mayoritas kader partai politik. Sangat wajar jika peran partai politik dalam kasus korona dinantikan publik. Menggugah sedikit kepedulian mereka untuk terlibat.
Partai politik akan kehilangan legitimasi politik sebagai institusi yang mengagregasi kepentingan rakyat. Berjarak dengan realitas sosial. Pada saat rakyat banyak yang susah uluran tangan, partai politik nyaris tak terdengar. Secara institusional belum terlihat instruksi nyata turut serta menangani wabah korona. Hanya sedikit saja yang terlihat bergerak menolong. Itu pun masih parsial, belum menjadi gerakan kolektif yang bergerak masif dari pusat hingga akar rumput. Sikap partai politik terlihat begitu landai. Sepertinya isu korona tak seksi untuk kepentingan politik elektoral. Mungkin karena pemilu masih jauh.
Inilah cacat bawaan partai politik. Hanya hadir jelang pemilu. Bersolek lima tahun sekali. Semacam partai politik musiman yang abai dengan isu-isu humanis. Mestinya korona menjadi topik sentral karena semua ini musibah kemanusiaan yang datang tanpa diundang. Partai politik perlu memeluk hati rakyat yang cemas ketakutan terjangkit virus. Menguatkan dan memotivasi rakyat untuk terus optimistis menghadapi wabah korona.
Pada titik ini publik berharap partai politik sibuk berjibaku memberikan bantuan sosial langsung. Ramadan menjadi momen bersafari dari pintu ke pintu memastikan kesehatan dan kebutuhan hidup rakyat. Mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka dengan membagikan masker, hand sanitizer, sembako, dan bantuan sosial lain yang bisa meringankan beban hidup terdampak korona. Semoga bulan suci membuka mata hati partai politik tergerak secara kolektif untuk membantu kesulitan mereka.
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
MENJALANKAN puasa Ramadan di tengah pandemi korona terasa istimewa. Setidaknya menguji dua hal sekaligus, yakni kemampuan menahan diri dan menumbuhkan solidaritas sosial. Di tengah kesulitan justru menyimpan ragam hikmah. Terutama memupuk rasa empati terhadap korban terdampak korona serta daya tahan untuk tak bicara politik apa pun. Kecuali misi politik kemanusiaan. Inilah misi utama politik di bulan Ramadan.
Adagium politik cukup populer mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Narasi sederhana namun perkara sulit untuk dipraktikkan. Mengandung makna filosofis mendalam. Bahwa politik tak melulu soal rebutan kekuasaan. Politik dalam batas tertentu sangat lekat dengan misi politik humanisme universal.
Diktum politik di atas makin relevan di tengah kondisi korona yang mengkhawatirkan. Saat ini semua energi bangsa mesti diarahkah menanggulangi wabah ganas korona. Hentikan segala bentuk pertikaian politik kekuasaan. Redakan sejenak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan wacana pindah ibu Kota sebagai bentuk simpati musibah korona.
Semua diskursus serta aktivitas politik harus diprioritaskan menanggulangi korana. Inilah sejatinya politik yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan. Korona merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Indonesia turut merasakan betapa mengerikan daya rusak wabah yang telah menghancurkan sendi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi ini. Tak ada yang tahu pasti kapan musibah korona akan berlalu.
Oleh karena itu, pemerintah, parlemen, partai politik, serta eksponen politik lainnya mesti satu suara menanggulangi korona. Tak perlu lagi ribut karena perbedaan mazhab politik. Saling nyiyir tak berkesudahan. Mari bergandengan tangan karena korona masalah bersama bangsa. Inisiatif DPR membentuk unit tugas korona layak diapresiasi. Tentu tugasnya bukan semata sinergi dan mengontrol kinerja pemerintah. Namun, juga harus menjadi lokomotif utama pencegahan korona. Usul potong gaji anggota dewan segera direalisasikan secara kolektif. Bukan semata wacana indah di tengah musim pandemi korona.
Jumlah korban terdampak korona terus bertambah. Segala daya sudah diupayakan mulai dari imbauan menjauhi kerumunan, social distancing, pola hidup sehat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga larangan mudik. Semua sudah dilakukan sebagai bentuk ikhtiar mengamputasi sebaran korona.
Politik Kemanusiaan
Politik kemanusiaan mengacu pada komitmen bahwa korona adalah tragedi kemanusiaan yang harus dihadapi bersama. Kerja sama semua pihak adalah solusinya. Hilangkan sekat politik. Semua blok ideologi mesti bersatu. Kerja menanggulangi korona adalah kolektif kolegial. Tak bisa parsial dan saling mengandalkan. Karena korona bukan hanya urusan pemerintah melainkan juga urusan seluruh rakyat.
Karena itu, isu korona di atas segalanya. Termasuk di atas kepentingan target ekonomi, investasi, maupun pariwisata. Korona menyangkut keselamatan hidup rakyat. Kondisi ekonomi bisa diperbaiki, tapi nyawa tak ada gantinya. Ini penting diingat karena khawatir masih saja ada pihak terkesan melihat korona bukan masalah besar. Keselamatan dan nyawa rakyat itu prioritas.
Pilkada sudah ditunda. Bentuk empati terhadap tragedi kemanusiaan korona. Tentu saja segala hal yang bertalian dengan politik selain korona harus dihentikan. Publik berharap pemerintah, anggota parlemen, dan partai poltik kompak bergandengan tangan menjadikan korona sebagai isu utama. Kalangan civil society, pekerja seni, dan kelompok filantropi sudah bergerak atas nama kemanusiaan.
Tak ada gunanya banyak regulasi lahir, tapi rakyat hidup dalam keadaan cemas. Untuk apa banyak klausul konstitusional disahkan jika angka kematian tak bisa dibendung. Politik kemanusiaan adalah corak politik menjadikan korona sebagai satu-satunya isu yang harus disikapi bersama saat ini. Bukan isu lain yang masih bisa ditunda. Toh , biasanya kerja regulasi selalu meleset jauh dari target prolegnas.
Di luar itu, dibutuhkan uluran tangan berbagai pihak. Bangsa ini besar karena budaya gotong royong. Harus melekat sebagai iman politik bahwa soal korona bukan hanya urusan pemerintah, parlemen, dan partai politik. Namun, juga menjadi urusan pengusaha, perusahaan multinasional, artis, budayawan, dan seterusnya. Urusan korona tak kenal kasta sosial. Pejabat publik hingga rakyat biasa butuh berkolaborasi untuk bergerak bersama.
Bulan puasa menjadi momentum mewujudkan misi politik kemanusiaan. Menjadikan korona sebagai prioritas. Membantu mereka yang kesusahan. Tragedi korona faktual bukan fiksi apalagi dongeng. Butuh gerakan solidaritas kemanusiaan yang juga nyata. Semua energi politik sejatinya diarahkan menanggulangi tragedi kemanusiaan ini.
Peran Partai Politik
Di tengah hiruk-pikuk penanggulangan korona, kiprah partai politik senyap bak ditelan bumi. Padahal bekas jejak mengikuti pemilu 2019 masih terasa. Ruang publik pengap dengan narasi politik mereka. Berebut klaim populis. Merasa paling dekat dengan rakyat. Agresivitas kampanye dilakukan nyaris tanpa jeda. Berdenyut setiap saat.
Suka tak suka negara ini bekerja di bawah kuasa rezim partai politik. Semua kebijakan politik strategis ditentukan oleh pejabat publik yang dipenuhi kader partai. Presiden, menteri, anggota dewan, gubernur, bupati, dan wali kota mayoritas kader partai politik. Sangat wajar jika peran partai politik dalam kasus korona dinantikan publik. Menggugah sedikit kepedulian mereka untuk terlibat.
Partai politik akan kehilangan legitimasi politik sebagai institusi yang mengagregasi kepentingan rakyat. Berjarak dengan realitas sosial. Pada saat rakyat banyak yang susah uluran tangan, partai politik nyaris tak terdengar. Secara institusional belum terlihat instruksi nyata turut serta menangani wabah korona. Hanya sedikit saja yang terlihat bergerak menolong. Itu pun masih parsial, belum menjadi gerakan kolektif yang bergerak masif dari pusat hingga akar rumput. Sikap partai politik terlihat begitu landai. Sepertinya isu korona tak seksi untuk kepentingan politik elektoral. Mungkin karena pemilu masih jauh.
Inilah cacat bawaan partai politik. Hanya hadir jelang pemilu. Bersolek lima tahun sekali. Semacam partai politik musiman yang abai dengan isu-isu humanis. Mestinya korona menjadi topik sentral karena semua ini musibah kemanusiaan yang datang tanpa diundang. Partai politik perlu memeluk hati rakyat yang cemas ketakutan terjangkit virus. Menguatkan dan memotivasi rakyat untuk terus optimistis menghadapi wabah korona.
Pada titik ini publik berharap partai politik sibuk berjibaku memberikan bantuan sosial langsung. Ramadan menjadi momen bersafari dari pintu ke pintu memastikan kesehatan dan kebutuhan hidup rakyat. Mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka dengan membagikan masker, hand sanitizer, sembako, dan bantuan sosial lain yang bisa meringankan beban hidup terdampak korona. Semoga bulan suci membuka mata hati partai politik tergerak secara kolektif untuk membantu kesulitan mereka.
(mpw)