Matinya Etika Politik di Era Post Democracy

Selasa, 22 Desember 2020 - 05:00 WIB
Problem post-democracy ini beriringan dengan matinya etika politik. Politik sejatinya adalah jalan luhur mewujudkan kebaikan bersama melalui kekuasaan. Etika memberi panduan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam relasi antarmanusia. Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, para politikus masing-masing punya kecenderungan berbeda. Ada yang menekankan etika politik, ada pula melakukan segala cara.

Sejarah mencatat, pada awalnya pemikiran politik dibangun atas dasar etika politik. Seperti Plato dan Aristoteles yang menekankan etika dalam gambaran negara ideal. Dilanjutkan oleh Thomas Aquinas yang mengintegrasikan agama dan kekuasaan di mana etika politik bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan. Namun, sejak abad ke-16 di Barat mulai terjadi pemisahan etika dengan politik yang dipelopori oleh Machiaveli. Menurutnya, etika tidak diperlukan dalam kekuasaan. Etika baru dibutuhkan bila ia mendatangkan keuntungan secara pragmatis.

Problem utama politik nir etika seperti yang dirumuskan oleh Machiaveli adalah munculnya sekulerisasi politik. Pemisahan antara etika (moral) dan politik memberikan jarak bagi agama (Ketuhanan) dalam politik. Bagi Machiaveli, urusan politik adalah urusan akal pikiran manusia, bukan perkara Ketuhanan (Honohan, 2002).

Atas dasar sekulerisasi itulah, politik Machiavelian memandang manusia pada dasarnya memiliki sifat keburukan, ingkar janji, tamak kekuasaan, pembohong, munafik, dan lain sebagainya. Karena itu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah perkara keburukan. Seseorang yang ingin berkuasa harus memakai muslihat singa dan rubah. Machiavelian modern diterapkan oleh Deng Xioping dengan semboyannya “tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.”

Praktik politik kita hari-hari ini menunjukkan gejala matinya politik yang mewujud pada penerapan etika politik Machiavelian. Di antaranya melalui praktik kandidasi kepala daerah yang elitis, klientalisme, fenomena calon tunggal dan kotak kosong, dan maraknya praktik politik uang.

Proses pencalonan kepala daerah di pilkada yang tidak transparan mengindikasikan praktik oligarki dan elitis. Publik tidak terlibat dalam proses pencalonan dan tidak memiliki akses untuk menentukan calon kepala daerah (Nurhasim, 2020). Pada akhirnya politik mengarah pada praktik klientalisme, di mana pilkada menjadi arena pertarungan para ”penguasa lokal” yang memiliki kelompok di masyarakat dan mewakilkan suaranya kepada para kandidat dalam pilkada (Pahlevi, 2020).

Fenomena calon tunggal disebabkan oleh faktor candidate oriented, parpol yang elitis dan besarnya peluang kemenangan (Ratna Dewi Pettalolo, 2020). Pelaksanaan pilkada cenderung berorientasi pada ketokohan seseorang (candidate oriented), bukan pada gagasan-gagasan yang diusung oleh calon atau partai politik pengusung.

Riil politik ini semakin rusak dengan politik uang. Muncul politik transaksional dengan sistem NPWP (nomor piro, wani piro) pada setiap proses tahapan pemilu. Politik uang antara calon dengan partai terjadi dengan banyak cara. Mulai dari penggunaan istilah mahar politik, uang sewa perahu, uang operasional, hingga uang saksi. Tahapan kampanye sampai pencoblosan juga diwarnai politik uang, baik dalam bentuk pembagian sembako maupun pemberian uang kepada calon pemilih pada hari pencoblosan yang dikenal dengan istilah “serangan fajar.”

Bencana Matinya Etika Politik

Sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Selain itu, kemampuan seseorang berkuasa bergantung pada legitimasi dari cara mendapatkan kekuasaan (Franz Magnis Suseno, 2001).
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More