Bela Negara Bangkit dari Pandemi Covid-19
Sabtu, 19 Desember 2020 - 12:49 WIB
Saya ingin mencoba meneladani bagaimana para petinggi negara kala itu memiliki daya penciuman situasi dan kesigapan langkah dalam merespons masalah genting negara. Hanya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam, upaya penangkapan Belanda kepada para petinggi, tidak menciutkan dan memusnahkan sama sekali eksistensi kemerdekan Republik Indonesia.
Peristiwa sejarah yang kemudian disebut sebagai Hari Bela Negara dan diperingatai di setiap tahunnya ini harus benar-benar dijadikan kompas anak bangsa dalam merawat, mengisi bahkan menghidupkan nilai-nilai bela negara dalam kehidupan aktual berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya.
Kegentingan Bangsa Indonesia
Sejak bulan Maret 2020 Indonesia dan negara bangsa di dunia dihantam tsunami pandemi coronavirus disease (Covid-19). Virus yang muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada November tahun lalu itu nyatanya telah meluluhlantahkan sistem ekonomi berbagai negara. Saat negara lain sudah menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19, Indonesia belum menandakan lepas untuk mengatasi virus mematikan yang menyerang saluran pernapasan ini. Data terbaru pada Jumat (18/12/2020) ada 6.689 kasus baru dalam sehari. Korban kematian akibat Covid-19 sudah menyentuh 19.514 orang, dengan total 531.995 kasus sejak awal Maret virus ini masuk ke Indonesia.
Belum lagi bicara dampak ekonomi. Data Badan Pusat Statistik jelas menyebutkan pada kuartal III Indonesia resesi dengan pertumbuhan minus 3,49 persen. Boleh saja pemerintahan Jokowi yang mengurusi bidang ekonomi optimis. Faktanya jutaan pengangguran baru terus bertambah. Berbagai sektor industri porak-poranda, mulai properti goyah, pertumbuhan manufaktur anjlok total. Hanya bidang pertanian yang menunjukkan kecenderungan positif.
(Lihat Juga Video: Bangkitkan Ekonomi di Masa Pandemi, Jurnalis Olah Daun Eucalyptus ).
Situasi sulit ini pun ternyata belum cukup menyadarkan seluruh anak bangsa, bahwa saat ini bangsa ini sedang menghadapi "agresi" dalam bentuk lain. Kalau pada 72 tahun lalu Indonesia menghadapi upaya penumpasan tentara Belanda hari ini yang kita hadapi tidak hanya sistem neoliberalisme yang bernama kapitalisme global semata. Tsunami pandemi Covid-19 sangat cukup untuk mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dalam upaya menekan penyebaran virus yang telah mematikan jutaan umat manusia di dunia.
Kondisi saat ini sepertinya relevan dengan ucapaan Soekarno yang mengatakan "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Bagaimana tidak, tsunami pandemi Covid-19 ternyata belum membuat bangsa ini bersatu. Sehari-hari kita justru dihadapkan dengan rentetan kegaduhan. Mulai saling menyalahkan para elite. Pernyataan politik para elite yang terkesan menyudutkan, dan bermuatan kebencian dan anti kritik.
Kerumunan massa terus bermunculan. Para simpul tokoh yang berlatar belakang agama dan sosial pun ternyata belum menjadi bagian penting dalam proses melepaskan dari pandemi Covid-19. Kondisi semakin parah karena pemerintah lebih mengedepankan pendekatan hukum dalam menekan angka Covid-19. Penangkapan demi penangkapan, penetapan tersangka dan jarak antara pemangku kepentingan dengan masyarakat menjadi menu makanan sehari-hari kita.
Bagaimana Membela Negara?
Peristiwa sejarah yang kemudian disebut sebagai Hari Bela Negara dan diperingatai di setiap tahunnya ini harus benar-benar dijadikan kompas anak bangsa dalam merawat, mengisi bahkan menghidupkan nilai-nilai bela negara dalam kehidupan aktual berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya.
Kegentingan Bangsa Indonesia
Sejak bulan Maret 2020 Indonesia dan negara bangsa di dunia dihantam tsunami pandemi coronavirus disease (Covid-19). Virus yang muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada November tahun lalu itu nyatanya telah meluluhlantahkan sistem ekonomi berbagai negara. Saat negara lain sudah menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19, Indonesia belum menandakan lepas untuk mengatasi virus mematikan yang menyerang saluran pernapasan ini. Data terbaru pada Jumat (18/12/2020) ada 6.689 kasus baru dalam sehari. Korban kematian akibat Covid-19 sudah menyentuh 19.514 orang, dengan total 531.995 kasus sejak awal Maret virus ini masuk ke Indonesia.
Belum lagi bicara dampak ekonomi. Data Badan Pusat Statistik jelas menyebutkan pada kuartal III Indonesia resesi dengan pertumbuhan minus 3,49 persen. Boleh saja pemerintahan Jokowi yang mengurusi bidang ekonomi optimis. Faktanya jutaan pengangguran baru terus bertambah. Berbagai sektor industri porak-poranda, mulai properti goyah, pertumbuhan manufaktur anjlok total. Hanya bidang pertanian yang menunjukkan kecenderungan positif.
(Lihat Juga Video: Bangkitkan Ekonomi di Masa Pandemi, Jurnalis Olah Daun Eucalyptus ).
Situasi sulit ini pun ternyata belum cukup menyadarkan seluruh anak bangsa, bahwa saat ini bangsa ini sedang menghadapi "agresi" dalam bentuk lain. Kalau pada 72 tahun lalu Indonesia menghadapi upaya penumpasan tentara Belanda hari ini yang kita hadapi tidak hanya sistem neoliberalisme yang bernama kapitalisme global semata. Tsunami pandemi Covid-19 sangat cukup untuk mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dalam upaya menekan penyebaran virus yang telah mematikan jutaan umat manusia di dunia.
Kondisi saat ini sepertinya relevan dengan ucapaan Soekarno yang mengatakan "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Bagaimana tidak, tsunami pandemi Covid-19 ternyata belum membuat bangsa ini bersatu. Sehari-hari kita justru dihadapkan dengan rentetan kegaduhan. Mulai saling menyalahkan para elite. Pernyataan politik para elite yang terkesan menyudutkan, dan bermuatan kebencian dan anti kritik.
Kerumunan massa terus bermunculan. Para simpul tokoh yang berlatar belakang agama dan sosial pun ternyata belum menjadi bagian penting dalam proses melepaskan dari pandemi Covid-19. Kondisi semakin parah karena pemerintah lebih mengedepankan pendekatan hukum dalam menekan angka Covid-19. Penangkapan demi penangkapan, penetapan tersangka dan jarak antara pemangku kepentingan dengan masyarakat menjadi menu makanan sehari-hari kita.
Bagaimana Membela Negara?
tulis komentar anda