New Normal di Industri Hulu Migas Indonesia
Selasa, 08 Desember 2020 - 16:11 WIB
Erwin Suryadi
Praktisi Minyak dan Gas Bumi
PEMERINTAH saat ini sedang mendorong terjadinya peningkatan investasi secara masif di dalam negeri guna membawa Indonesia menjadi salah satu negara maju di dunia. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan menerbitkan UU Cipta Kerja yang akan digunakan untuk melakukan simplifikasi perijinan dalam hal melakukan bisnis di Indonesia.
Terobosan ini diyakini akan meningkatkan kepercayaan investor dan pelaku bisnis untuk bisa berkarya dan menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja di Indonesia termasuk di Industri Hulu Migas serta industri penunjangnya.
Namun pada kenyataannya saat ini juga industri hulu migas Indonesia bahkan dunia sedang berdiri di persimpangan jalan, dimana di satu sisi banyak pakar energi yang mengatakan bahwa ini adalah akhir masa penggunaan energi fosil dan akan segera berganti dengan era renewable energy yang dapat dihasilkan oleh matahari, angin, panas bumi, biomassa dan ombak.
Sementara di sisi lain dikatakan bahwa migrasi energi fosil ini tidak semudah itu dilaksanakan bahkan Kementerian ESDM bersama dengan SKK Migas telah mencanangkan pencapaian visi untuk dapat melakukan lifting 1 juta barel minyak bumi per hari.
Kegalauan masa depan industri hulu migas ini, akan sangat berpengaruh pada besaran investasi yang akan digelontorkan oleh berbagai pihak khususnya di industri penunjang hulu migas baik dari dalam maupun luar negeri. Kegalauan ini bukan hanya terjadi di pelaku bisnis akan tetapi juga pada para pemberi support seperti industri perbankan dalam negeri yang masih cukup khawatir dengan perkembangan masa depan industri hulu migas Indonesia.
Kegalauan tersebut memang sesuatu yang sangat lumrah mengingat saat ini memang banyak sekali faktor-faktor yang kurang mendukung seperti masa kejayaan migas beberapa dekade yang lalu. Harga minyak dunia, wilayah kerja yang lebih sulit dan padat modal serta teknologi serta sudah mulai beroperasinya pembangkit-pembangkit listrik dengan bahan bakar dari energi baru terbarukan menjadi kontributor dari menurunnya tingkat pengembalian investasi dari para kontraktor kerja sama termasuk yang kelas dunia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, maka salah satu kata kuncinya adalah transformasi industri hulu migas Indonesia. Transformasi yang dibangun oleh Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan SKK Migas mendorong visi meningkatkan produksi migas Indonesia kembali ke 1 juta barel per hari melalui perbaikan mindset, tata kelola dan digitalisasi merupakan sebuah terobosan yang perlu diapresiasi guna menjawab perubahan bisnis energi di masa depan.
Praktisi Minyak dan Gas Bumi
PEMERINTAH saat ini sedang mendorong terjadinya peningkatan investasi secara masif di dalam negeri guna membawa Indonesia menjadi salah satu negara maju di dunia. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan menerbitkan UU Cipta Kerja yang akan digunakan untuk melakukan simplifikasi perijinan dalam hal melakukan bisnis di Indonesia.
Terobosan ini diyakini akan meningkatkan kepercayaan investor dan pelaku bisnis untuk bisa berkarya dan menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja di Indonesia termasuk di Industri Hulu Migas serta industri penunjangnya.
Namun pada kenyataannya saat ini juga industri hulu migas Indonesia bahkan dunia sedang berdiri di persimpangan jalan, dimana di satu sisi banyak pakar energi yang mengatakan bahwa ini adalah akhir masa penggunaan energi fosil dan akan segera berganti dengan era renewable energy yang dapat dihasilkan oleh matahari, angin, panas bumi, biomassa dan ombak.
Sementara di sisi lain dikatakan bahwa migrasi energi fosil ini tidak semudah itu dilaksanakan bahkan Kementerian ESDM bersama dengan SKK Migas telah mencanangkan pencapaian visi untuk dapat melakukan lifting 1 juta barel minyak bumi per hari.
Kegalauan masa depan industri hulu migas ini, akan sangat berpengaruh pada besaran investasi yang akan digelontorkan oleh berbagai pihak khususnya di industri penunjang hulu migas baik dari dalam maupun luar negeri. Kegalauan ini bukan hanya terjadi di pelaku bisnis akan tetapi juga pada para pemberi support seperti industri perbankan dalam negeri yang masih cukup khawatir dengan perkembangan masa depan industri hulu migas Indonesia.
Kegalauan tersebut memang sesuatu yang sangat lumrah mengingat saat ini memang banyak sekali faktor-faktor yang kurang mendukung seperti masa kejayaan migas beberapa dekade yang lalu. Harga minyak dunia, wilayah kerja yang lebih sulit dan padat modal serta teknologi serta sudah mulai beroperasinya pembangkit-pembangkit listrik dengan bahan bakar dari energi baru terbarukan menjadi kontributor dari menurunnya tingkat pengembalian investasi dari para kontraktor kerja sama termasuk yang kelas dunia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, maka salah satu kata kuncinya adalah transformasi industri hulu migas Indonesia. Transformasi yang dibangun oleh Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan SKK Migas mendorong visi meningkatkan produksi migas Indonesia kembali ke 1 juta barel per hari melalui perbaikan mindset, tata kelola dan digitalisasi merupakan sebuah terobosan yang perlu diapresiasi guna menjawab perubahan bisnis energi di masa depan.
tulis komentar anda