2 Menteri Cukup!
Senin, 07 Desember 2020 - 06:09 WIB
Upaya menghentikan korupsi, menurut Feri, membutuhkan perbaikan sistem secara menyeluruh dan kerja sama semua pihak. Feri menyatakan salah satu upaya untuk mencegah korupsi adalah kepatutan dan kelayakan hidup. Gaji hanya salah satu komponennya. “Selain gaji, jaminan hari tua yang pasti dan proses seleksi yang baik. Kalau mereka diberi gaji besar, tetapi ‘dipaksa’ mencari pundi-pundi partai ya bakal korupsi juga. Jadi mesti ada kesinambungan sistem,” katanya.
Ulah Juliari dan Edhy jelas menjadi tamparan keras bagi Presiden Jokowi. Apalagi, sejak awal dia sudah mewanti-wanti para menterinya di Kabinet Indonesia Baru untuk tidak melakukan korupsi. Jokowi pun mengaku terus-menerus meminta agar diciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi. Dia meminta agar menteri dan kepala daerah makin berhati-hati dalam menggunakan APBD maupun APBN. “Itu uang rakyat. Apalagi ini terkait dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan oleh rakyat,” ujar Jokowi dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor kemarin.
Jokowi tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi. Dia percaya KPK bekerja secara profesional. “Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” tutur Jokowi yang kemarin juga menetapkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sebagai pelaksana tugas (plt) menteri sosial (mensos). (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
KPK Siap Terapkan Hukuman Mati
Ketua KPK Firli Bahuri memastikan siap menerapkan tuntutan pidana mati terhadap Mensos Juliari dan empat tersangka lain dalam penyalahgunaan dana bansos. Menurut Firli, pandemi Covid-19 yang merupakan bencana nonalam telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Dengan demikian, untuk penanganan kasus Juliari dkk tentu tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan suap-menyuap.
Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat memungkinkan penerapan pidana mati. “Kita paham juga pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam nasional sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan," jamin Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Firli menggariskan, KPK akan bekerja secara maksimal untuk melihat adanya unsur penyalahgunaan kewenangan, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi hingga berujung kerugian negara. Seperti diketahui, nilai pengadaan paket bansos sembako penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020 mencapai Rp5,9 triliun. Program bansos ini melibatkan 272 vendor dan dilaksanakan dalam dua periode. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Berdasarkan data KPK, salah satu kementerian yang selalu dilibatkan dalam pengawasan selama ini adalah Kemensos . Sejak awal KPK juga sudah menyampaikan titik-titik rawan akan terjadi korupsi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, salah satunya terkait pelaksanaan perlindungan sosial dalam hal ini pemberian bansos. "Jadi, KPK sudah mendeteksi sejak awal, dan betul ada," kata Firli.
PK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan paket bansos sembako. Lima tersangka terbagi dalam dua bagian. Sebagai penerima suap adalah Juliari Batubara selaku menteri sosial, Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) sekaligus pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (RPI), dan Adi Wahyono selaku PPK Kemensos sekaligus Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos. Dua tersangka pemberi suap yakni Ardian IM (swasta), dan Harry Sabukke (swasta).
Saat OTT, tim KPK menyita uang tunai yang disimpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel, dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14, 5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing sejumlah Rp11, 9 miliar, USD171,085 (setara Rp2,420 M), dan SGD23.000 (setara Rp243 juta).
Ulah Juliari dan Edhy jelas menjadi tamparan keras bagi Presiden Jokowi. Apalagi, sejak awal dia sudah mewanti-wanti para menterinya di Kabinet Indonesia Baru untuk tidak melakukan korupsi. Jokowi pun mengaku terus-menerus meminta agar diciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi. Dia meminta agar menteri dan kepala daerah makin berhati-hati dalam menggunakan APBD maupun APBN. “Itu uang rakyat. Apalagi ini terkait dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan oleh rakyat,” ujar Jokowi dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor kemarin.
Jokowi tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi. Dia percaya KPK bekerja secara profesional. “Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” tutur Jokowi yang kemarin juga menetapkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sebagai pelaksana tugas (plt) menteri sosial (mensos). (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
KPK Siap Terapkan Hukuman Mati
Ketua KPK Firli Bahuri memastikan siap menerapkan tuntutan pidana mati terhadap Mensos Juliari dan empat tersangka lain dalam penyalahgunaan dana bansos. Menurut Firli, pandemi Covid-19 yang merupakan bencana nonalam telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Dengan demikian, untuk penanganan kasus Juliari dkk tentu tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan suap-menyuap.
Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat memungkinkan penerapan pidana mati. “Kita paham juga pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam nasional sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan," jamin Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Firli menggariskan, KPK akan bekerja secara maksimal untuk melihat adanya unsur penyalahgunaan kewenangan, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi hingga berujung kerugian negara. Seperti diketahui, nilai pengadaan paket bansos sembako penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020 mencapai Rp5,9 triliun. Program bansos ini melibatkan 272 vendor dan dilaksanakan dalam dua periode. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Berdasarkan data KPK, salah satu kementerian yang selalu dilibatkan dalam pengawasan selama ini adalah Kemensos . Sejak awal KPK juga sudah menyampaikan titik-titik rawan akan terjadi korupsi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, salah satunya terkait pelaksanaan perlindungan sosial dalam hal ini pemberian bansos. "Jadi, KPK sudah mendeteksi sejak awal, dan betul ada," kata Firli.
PK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan paket bansos sembako. Lima tersangka terbagi dalam dua bagian. Sebagai penerima suap adalah Juliari Batubara selaku menteri sosial, Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) sekaligus pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (RPI), dan Adi Wahyono selaku PPK Kemensos sekaligus Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos. Dua tersangka pemberi suap yakni Ardian IM (swasta), dan Harry Sabukke (swasta).
Saat OTT, tim KPK menyita uang tunai yang disimpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel, dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14, 5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing sejumlah Rp11, 9 miliar, USD171,085 (setara Rp2,420 M), dan SGD23.000 (setara Rp243 juta).
tulis komentar anda