2 Menteri Cukup!

Senin, 07 Desember 2020 - 06:09 WIB
loading...
2 Menteri Cukup!
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi bantuan sosial yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara kian melukai rasa keadilan dan kepercayaan rakyat. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Terbongkarnya kasus dugaan korupsi bantuan sosial yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara kian melukai rasa keadilan dan kepercayaan rakyat. Integritas dan komitmen antikorupsi terbukti masih sebatas janji. Lebih ironis, kejahatan para pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini dilakukan di tengah pandemi.

2 Menteri Cukup!


Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan Juliari dan sejumlah pejabatnya, Sabtu (5/12), memang memprihatinkan. Penangkapan ini hanya berselang 10 hari dari OTT terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. (Baca: KPK Beberkan Dana yang Diduga Mengalir ke Mensos Juliari)

Dari dua OTT ini puluhan miliar uang rakyat telah sengaja diselewengkan. Tindakan tak terpuji para menteri ini tak ayal membuat rakyat makin jengah dan marah. Mereka kecewa karena di tengah kondisi bangsa yang mengalami banyak keterbatasan ekonomi saat ini, para menteri justru bekerja seolah tanpa hati. Pada kasus Juliari, uang rakyat Rp5,9 triliun yang seharusnya digunakan untuk membantu rakyat lewat bansos justru dikorupsi.

Dua OTT ini juga menjadi alarm keras bagi Presiden Jokowi. Berbagai kalangan menilai saat ini juga momentum yang tepat Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para menteri. Jika ditemukan indikasi menteri yang bertindak seperti Juliari atau Edhy, saatnya untuk cepat-cepat dibersihkan. Demikian juga performa menteri yang lemah di tengah perjuangan bersama untuk bangkit dari pandemi ini juga patut diganti.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, kasus baru yang menjerat Juliari ini harus menjadi sarana evaluasi yang serius terhadap kinerja para menteri. Apalagi dalam satu tahun pemerintahan Jokowi, publik berpandangan terdapat menteri-menteri yang kinerjanya di bawah standar, miss-match, dan under capacity. “Presiden perlu melakukan evaluasi dan langkah serius terhadap integritas dan kinerja para menteri," katanya kemarin. (Baca juga: Amalkan Lima Doa Ini, Rezeki Datang Bertubi-tubi)

Dugaan korupsi yang dilakukan Juliari dan Edhy dalam penilaian Mu’ti jelas mengoyak rasa keadilan masyarakat. Sebab, di tengah pandemi ini seolah para pejabat tidak bersungguh-sungguh hadir untuk membantu meringankan beban rakyat. Mereka justru sengaja menerabas aturan dan komitmennya sendiri untuk mengeruk uang milik rakyat.

Pengamat hukum Feri Amsari mengapresiasi tindakan KPK yang makin agresif dalam menangkap para koruptor. Apalagi, OTT dilakukan di tengah berbagai upaya pelemahan KPK. Dia juga prihatin karena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seperti semakin masif dilakukan orang para pejabat. Menurut Feri, ada sistem politik yang buruk di mana kader-kader partai yang berada di kekuasaan sering ”dituntut” menjadi simpul-simpul anggaran. Hal ini berpijak dari kasus-kasus sebelumnya, di mana uang hasil korupsi digunakan untuk kegiatan parpol. “Kita belum tahu dua menteri ini ke mana arahnya (uang). Proses pengadilan akan memperlihatkan apakah untuk kepentingan parpol atau individu,” ujarnya.

Agar ada efek jera, Feri menyarankan aparat penegak hukum menggunakan pasal dengan hukuman maksimal. Apalagi, korupsi ini dilakukan di tengah musibah atau bencana Covid-19. Banyak pihak mengusulkan hukuman mati. “Cenderung bisa memberikan sanksi yang menjerakan. Itu jarang sekali diberikan kepada koruptor, terutama penyelenggara negara yang punya tanggung jawab besar,” ucapnya. (Baca juga: Kemenag Harap Madrasah Jadi Ruang Pembudayaan Pembelajaran)

Upaya menghentikan korupsi, menurut Feri, membutuhkan perbaikan sistem secara menyeluruh dan kerja sama semua pihak. Feri menyatakan salah satu upaya untuk mencegah korupsi adalah kepatutan dan kelayakan hidup. Gaji hanya salah satu komponennya. “Selain gaji, jaminan hari tua yang pasti dan proses seleksi yang baik. Kalau mereka diberi gaji besar, tetapi ‘dipaksa’ mencari pundi-pundi partai ya bakal korupsi juga. Jadi mesti ada kesinambungan sistem,” katanya.

Ulah Juliari dan Edhy jelas menjadi tamparan keras bagi Presiden Jokowi. Apalagi, sejak awal dia sudah mewanti-wanti para menterinya di Kabinet Indonesia Baru untuk tidak melakukan korupsi. Jokowi pun mengaku terus-menerus meminta agar diciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi. Dia meminta agar menteri dan kepala daerah makin berhati-hati dalam menggunakan APBD maupun APBN. “Itu uang rakyat. Apalagi ini terkait dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan oleh rakyat,” ujar Jokowi dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor kemarin.

Jokowi tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi. Dia percaya KPK bekerja secara profesional. “Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” tutur Jokowi yang kemarin juga menetapkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sebagai pelaksana tugas (plt) menteri sosial (mensos). (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)

KPK Siap Terapkan Hukuman Mati

Ketua KPK Firli Bahuri memastikan siap menerapkan tuntutan pidana mati terhadap Mensos Juliari dan empat tersangka lain dalam penyalahgunaan dana bansos. Menurut Firli, pandemi Covid-19 yang merupakan bencana nonalam telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Dengan demikian, untuk penanganan kasus Juliari dkk tentu tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan suap-menyuap.

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat memungkinkan penerapan pidana mati. “Kita paham juga pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam nasional sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan," jamin Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.

Firli menggariskan, KPK akan bekerja secara maksimal untuk melihat adanya unsur penyalahgunaan kewenangan, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi hingga berujung kerugian negara. Seperti diketahui, nilai pengadaan paket bansos sembako penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020 mencapai Rp5,9 triliun. Program bansos ini melibatkan 272 vendor dan dilaksanakan dalam dua periode. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)

Berdasarkan data KPK, salah satu kementerian yang selalu dilibatkan dalam pengawasan selama ini adalah Kemensos . Sejak awal KPK juga sudah menyampaikan titik-titik rawan akan terjadi korupsi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, salah satunya terkait pelaksanaan perlindungan sosial dalam hal ini pemberian bansos. "Jadi, KPK sudah mendeteksi sejak awal, dan betul ada," kata Firli.

PK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan paket bansos sembako. Lima tersangka terbagi dalam dua bagian. Sebagai penerima suap adalah Juliari Batubara selaku menteri sosial, Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) sekaligus pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (RPI), dan Adi Wahyono selaku PPK Kemensos sekaligus Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos. Dua tersangka pemberi suap yakni Ardian IM (swasta), dan Harry Sabukke (swasta).

Saat OTT, tim KPK menyita uang tunai yang disimpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel, dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14, 5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing sejumlah Rp11, 9 miliar, USD171,085 (setara Rp2,420 M), dan SGD23.000 (setara Rp243 juta).

Diduga dalam kasus ini pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan cara penunjukan langsung para rekanan. Diduga juga ada kesepakatan tentang fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. (Baca juga: Covid-19 Meroket, Pertumbuhan EKonomi 2021 Bisa Lebih Rendah dari Perkiraan)

Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp10.000 dari nilai Rp300.000. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar, yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar. Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober sampai Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Kalau Rp8,8 miliar dijumlahkan dengan Rp8,2 miliar, maka jatah dugaan suap untuk Juliari sebesar Rp17 miliar. (Sabir Laluhu/Kiswondari/Abdul Rochim/Dita Angga)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1835 seconds (0.1#10.140)