Paras Janus KPK
Jum'at, 04 Desember 2020 - 05:35 WIB
A AHSIN THOHARI
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PARAS Janus (Janus-faced) adalah adjektiva untuk menerangkan sesuatu yang memiliki dua aspek atau karakteristik kontras dalam satu helaan napas, karena suasana hati yang berubah-ubah. Sebagai dewa dalam mitologi Romawi, Janus memang digambarkan berparas ganda.
Satu paras melihat ke depan dengan penuh keyakinan dan optimisme, adapun paras lain menghadap ke belakang dengan penuh keraguan dan pesimisme. Darinya kelak nama bulan Januari diambil sebagai gambaran sempadan waktu yang bisa digunakan untuk menatap maju ke tahun depan sekaligus dapat menoleh kembali ke tahun sebelumnya di belakang.
Hari-hari terakhir ini jagat hukum kita diguncang oleh dua operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini yang menjadi targetnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri selama hampir setahun, total KPK telah melakukan lima kali OTT. Sebelumnya, sasaran OTT KPK meliputi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dan Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta Dwi Achmad Noor. Kasus terakhir ini dilimpahkan ke kepolisian.
Potret, Bukan Film
Serangkaian OTT itu seperti menunjukkan paras Janus KPK yang penuh kontradiksi. Perasaan pesimisme dan optimisme akan masa depan KPK bercampur aduk dan menyembul segera setelah OTT dengan target big fish itu terjadi. Sebelumnya, banyak kalangan menduga pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta-merta akan melemahkan KPK, sekaligus menyulitkan OTT yang selama ini menjadi efek penggentar bagi koruptor. Setidaknya ada empat hal yang menjadi alasan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah menghapus status KPK sebagai lembaga negara yang berjarak dengan pemerintah menjadi lembaga negara yang sepenuhnya berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (bestuurorganen). Kedua, pencegahan adalah mantra suci yang dirapal berulang-ulang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan lebih dijadikan arus utama strategi pemberantasan korupsi ketimbang penindakan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memperkenalkan Dewan Pengawas yang kewenangannya tidak sekadar mengawasi melainkan juga memegang otoritas perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Keempat, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diatur kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PARAS Janus (Janus-faced) adalah adjektiva untuk menerangkan sesuatu yang memiliki dua aspek atau karakteristik kontras dalam satu helaan napas, karena suasana hati yang berubah-ubah. Sebagai dewa dalam mitologi Romawi, Janus memang digambarkan berparas ganda.
Satu paras melihat ke depan dengan penuh keyakinan dan optimisme, adapun paras lain menghadap ke belakang dengan penuh keraguan dan pesimisme. Darinya kelak nama bulan Januari diambil sebagai gambaran sempadan waktu yang bisa digunakan untuk menatap maju ke tahun depan sekaligus dapat menoleh kembali ke tahun sebelumnya di belakang.
Hari-hari terakhir ini jagat hukum kita diguncang oleh dua operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini yang menjadi targetnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri selama hampir setahun, total KPK telah melakukan lima kali OTT. Sebelumnya, sasaran OTT KPK meliputi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dan Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta Dwi Achmad Noor. Kasus terakhir ini dilimpahkan ke kepolisian.
Potret, Bukan Film
Serangkaian OTT itu seperti menunjukkan paras Janus KPK yang penuh kontradiksi. Perasaan pesimisme dan optimisme akan masa depan KPK bercampur aduk dan menyembul segera setelah OTT dengan target big fish itu terjadi. Sebelumnya, banyak kalangan menduga pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta-merta akan melemahkan KPK, sekaligus menyulitkan OTT yang selama ini menjadi efek penggentar bagi koruptor. Setidaknya ada empat hal yang menjadi alasan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah menghapus status KPK sebagai lembaga negara yang berjarak dengan pemerintah menjadi lembaga negara yang sepenuhnya berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (bestuurorganen). Kedua, pencegahan adalah mantra suci yang dirapal berulang-ulang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan lebih dijadikan arus utama strategi pemberantasan korupsi ketimbang penindakan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memperkenalkan Dewan Pengawas yang kewenangannya tidak sekadar mengawasi melainkan juga memegang otoritas perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Keempat, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diatur kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
tulis komentar anda