Paras Janus KPK
loading...
A
A
A
A AHSIN THOHARI
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PARAS Janus (Janus-faced) adalah adjektiva untuk menerangkan sesuatu yang memiliki dua aspek atau karakteristik kontras dalam satu helaan napas, karena suasana hati yang berubah-ubah. Sebagai dewa dalam mitologi Romawi, Janus memang digambarkan berparas ganda.
Satu paras melihat ke depan dengan penuh keyakinan dan optimisme, adapun paras lain menghadap ke belakang dengan penuh keraguan dan pesimisme. Darinya kelak nama bulan Januari diambil sebagai gambaran sempadan waktu yang bisa digunakan untuk menatap maju ke tahun depan sekaligus dapat menoleh kembali ke tahun sebelumnya di belakang.
Hari-hari terakhir ini jagat hukum kita diguncang oleh dua operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini yang menjadi targetnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri selama hampir setahun, total KPK telah melakukan lima kali OTT. Sebelumnya, sasaran OTT KPK meliputi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dan Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta Dwi Achmad Noor. Kasus terakhir ini dilimpahkan ke kepolisian.
Potret, Bukan Film
Serangkaian OTT itu seperti menunjukkan paras Janus KPK yang penuh kontradiksi. Perasaan pesimisme dan optimisme akan masa depan KPK bercampur aduk dan menyembul segera setelah OTT dengan target big fish itu terjadi. Sebelumnya, banyak kalangan menduga pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta-merta akan melemahkan KPK, sekaligus menyulitkan OTT yang selama ini menjadi efek penggentar bagi koruptor. Setidaknya ada empat hal yang menjadi alasan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah menghapus status KPK sebagai lembaga negara yang berjarak dengan pemerintah menjadi lembaga negara yang sepenuhnya berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (bestuurorganen). Kedua, pencegahan adalah mantra suci yang dirapal berulang-ulang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan lebih dijadikan arus utama strategi pemberantasan korupsi ketimbang penindakan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memperkenalkan Dewan Pengawas yang kewenangannya tidak sekadar mengawasi melainkan juga memegang otoritas perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Keempat, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diatur kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Tidak hanya itu, kontroversi seputar pelanggaran kode etik Firli Bahuri, mundurnya beberapa pegawai, dan belum tertangkapnya tersangka penyuap Wahyu Setiawan, Harun Masiku, semakin mendelegitimasi keberadaan KPK setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK format baru ini diyakini banyak pihak sebagai ujung ajal lembaga antirasuah yang merupakan anak kandung reformasi bersama Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Akan tetapi, di luar dugaan, ternyata OTT masih dapat dilakukan KPK setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Bahkan, OTT itu menyasar seorang menteri aktif. Pertanyaannya, apakah OTT KPK kali ini merupakan tindakan penegakan hukum yang genuine? Tidakkah ia sekadar gimmick politik dengan kamuflase penegakan hukum pemberantasan korupsi? Tentunya KPK masih punya waktu untuk menjawab keraguan tersebut dan membuktikan bahwa OTT yang dilakukan adalah murni penegakan hukum.
Tentu saja beberapa OTT itu masih belum bisa meyakinkan publik bahwa pelemahan KPK itu tidak ada dan pimpinan KPK periode 2019-2023 telah berhasil membuktikan sebaliknya. Beberapa OTT itu masih berupa potret (snapshot) dengan satu pose, bukan film (moving picture) utuh yang berisi permulaan, pertengahan, dan penutup. Kita masih harus menunggu pembuktian KPK soal komitmennya dalam memberantas korupsi.
Bad Apples dan Bad Laws
Meminjam istilah Bart J Wilson dan Michael Preciado dalam Bad Apples and Bad Laws (2014), sesungguhnya KPK saat ini menurut beberapa kalangan diatur dengan peraturan yang buruk (bad laws) karena mengingkari fitrah lembaga independen yang mesti berjarak dari eksekutif plus beberapa ketentuan tentang Dewan Pengawas yang tidak masuk akal. Akan tetapi, kita berharap lima pimpinan KPK seluruhnya bukanlah orang yang buruk dalam satu kelompok (bad apples). Sebab, kata sebuah peribahasa: a rotten apple quickly infects its neighbor (apel busuk dengan cepat menginfeksi tetangganya).
Beberapa kalangan juga menegaskan bahwa bad laws semakin tampak saat disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pengalihan ini merupakan konsekuensi logis bergesernya KPK menjadi lembaga negara yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Bagi pegawai yang belum berstatus sebagai ASN dapat diangkat menjadi ASN dalam waktu dua tahun.
Walhasil, KPK telah menjadi mesin birokrasi karena PP tersebut mengharuskan penyesuaian jabatan-jabatan pada KPK menjadi jabatan-jabatan ASN. Maka, lapisan-lapisan jabatan KPK menjadi seperti birokrasi pada umumnya yang meliputi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), JPT Madya, JPT Pratama, Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pelaksana. Dengan menjadi mesin birokrasi inilah pelbagai kalangan meragukan independensi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Akan tetapi, pimpinan KPK periode 2019-2023 masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa dengan bad laws pun ia dapat mengemban misi suci pemberantasan korupsi dengan sebaik-baiknya. Sebab, ia bukan sekumpulan bad apples yang saling menginfeksi antarkomisioner. Bagi publik, yang terpenting sejatinya adalah kinerja KPK yang optimal dalam membebaskan negeri ini dari cengkeraman rasuah. Tak peduli apakah hukum yang mengaturnya baik atau buruk.
Seperti kata-kata masyhur ahli hukum Belanda BM Taverne (1874-1944), “Geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken.” (Beri aku hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun, aku bisa mewujudkan keadilan).
Apakah sejarah emas penegakan hukum pemberantasan korupsi akan ditorehkan oleh pimpinan KPK periode 2019-2023? Ataukah sinyalemen pelemahan KPK justru semakin terkonfirmasi kebenarannya? KPK sendirilah yang memegang pena sejarah sehingga ia punya pilihan sadar untuk menulis apa pun.
Untuk KPK, selamat bertungkus lumus mengungkap patgulipat para koruptor yang menyalahgunakan kekuasaan dan mengkhianati kepercayaan publik.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PARAS Janus (Janus-faced) adalah adjektiva untuk menerangkan sesuatu yang memiliki dua aspek atau karakteristik kontras dalam satu helaan napas, karena suasana hati yang berubah-ubah. Sebagai dewa dalam mitologi Romawi, Janus memang digambarkan berparas ganda.
Satu paras melihat ke depan dengan penuh keyakinan dan optimisme, adapun paras lain menghadap ke belakang dengan penuh keraguan dan pesimisme. Darinya kelak nama bulan Januari diambil sebagai gambaran sempadan waktu yang bisa digunakan untuk menatap maju ke tahun depan sekaligus dapat menoleh kembali ke tahun sebelumnya di belakang.
Hari-hari terakhir ini jagat hukum kita diguncang oleh dua operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini yang menjadi targetnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri selama hampir setahun, total KPK telah melakukan lima kali OTT. Sebelumnya, sasaran OTT KPK meliputi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dan Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta Dwi Achmad Noor. Kasus terakhir ini dilimpahkan ke kepolisian.
Potret, Bukan Film
Serangkaian OTT itu seperti menunjukkan paras Janus KPK yang penuh kontradiksi. Perasaan pesimisme dan optimisme akan masa depan KPK bercampur aduk dan menyembul segera setelah OTT dengan target big fish itu terjadi. Sebelumnya, banyak kalangan menduga pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta-merta akan melemahkan KPK, sekaligus menyulitkan OTT yang selama ini menjadi efek penggentar bagi koruptor. Setidaknya ada empat hal yang menjadi alasan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah menghapus status KPK sebagai lembaga negara yang berjarak dengan pemerintah menjadi lembaga negara yang sepenuhnya berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (bestuurorganen). Kedua, pencegahan adalah mantra suci yang dirapal berulang-ulang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan lebih dijadikan arus utama strategi pemberantasan korupsi ketimbang penindakan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memperkenalkan Dewan Pengawas yang kewenangannya tidak sekadar mengawasi melainkan juga memegang otoritas perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Keempat, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diatur kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Tidak hanya itu, kontroversi seputar pelanggaran kode etik Firli Bahuri, mundurnya beberapa pegawai, dan belum tertangkapnya tersangka penyuap Wahyu Setiawan, Harun Masiku, semakin mendelegitimasi keberadaan KPK setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK format baru ini diyakini banyak pihak sebagai ujung ajal lembaga antirasuah yang merupakan anak kandung reformasi bersama Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Akan tetapi, di luar dugaan, ternyata OTT masih dapat dilakukan KPK setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Bahkan, OTT itu menyasar seorang menteri aktif. Pertanyaannya, apakah OTT KPK kali ini merupakan tindakan penegakan hukum yang genuine? Tidakkah ia sekadar gimmick politik dengan kamuflase penegakan hukum pemberantasan korupsi? Tentunya KPK masih punya waktu untuk menjawab keraguan tersebut dan membuktikan bahwa OTT yang dilakukan adalah murni penegakan hukum.
Tentu saja beberapa OTT itu masih belum bisa meyakinkan publik bahwa pelemahan KPK itu tidak ada dan pimpinan KPK periode 2019-2023 telah berhasil membuktikan sebaliknya. Beberapa OTT itu masih berupa potret (snapshot) dengan satu pose, bukan film (moving picture) utuh yang berisi permulaan, pertengahan, dan penutup. Kita masih harus menunggu pembuktian KPK soal komitmennya dalam memberantas korupsi.
Bad Apples dan Bad Laws
Meminjam istilah Bart J Wilson dan Michael Preciado dalam Bad Apples and Bad Laws (2014), sesungguhnya KPK saat ini menurut beberapa kalangan diatur dengan peraturan yang buruk (bad laws) karena mengingkari fitrah lembaga independen yang mesti berjarak dari eksekutif plus beberapa ketentuan tentang Dewan Pengawas yang tidak masuk akal. Akan tetapi, kita berharap lima pimpinan KPK seluruhnya bukanlah orang yang buruk dalam satu kelompok (bad apples). Sebab, kata sebuah peribahasa: a rotten apple quickly infects its neighbor (apel busuk dengan cepat menginfeksi tetangganya).
Beberapa kalangan juga menegaskan bahwa bad laws semakin tampak saat disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pengalihan ini merupakan konsekuensi logis bergesernya KPK menjadi lembaga negara yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Bagi pegawai yang belum berstatus sebagai ASN dapat diangkat menjadi ASN dalam waktu dua tahun.
Walhasil, KPK telah menjadi mesin birokrasi karena PP tersebut mengharuskan penyesuaian jabatan-jabatan pada KPK menjadi jabatan-jabatan ASN. Maka, lapisan-lapisan jabatan KPK menjadi seperti birokrasi pada umumnya yang meliputi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), JPT Madya, JPT Pratama, Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pelaksana. Dengan menjadi mesin birokrasi inilah pelbagai kalangan meragukan independensi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Akan tetapi, pimpinan KPK periode 2019-2023 masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa dengan bad laws pun ia dapat mengemban misi suci pemberantasan korupsi dengan sebaik-baiknya. Sebab, ia bukan sekumpulan bad apples yang saling menginfeksi antarkomisioner. Bagi publik, yang terpenting sejatinya adalah kinerja KPK yang optimal dalam membebaskan negeri ini dari cengkeraman rasuah. Tak peduli apakah hukum yang mengaturnya baik atau buruk.
Seperti kata-kata masyhur ahli hukum Belanda BM Taverne (1874-1944), “Geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken.” (Beri aku hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun, aku bisa mewujudkan keadilan).
Apakah sejarah emas penegakan hukum pemberantasan korupsi akan ditorehkan oleh pimpinan KPK periode 2019-2023? Ataukah sinyalemen pelemahan KPK justru semakin terkonfirmasi kebenarannya? KPK sendirilah yang memegang pena sejarah sehingga ia punya pilihan sadar untuk menulis apa pun.
Untuk KPK, selamat bertungkus lumus mengungkap patgulipat para koruptor yang menyalahgunakan kekuasaan dan mengkhianati kepercayaan publik.
(bmm)