Edhy Prabowo Jadi Tersangka, Kebijakan KKP Dituding Sarat Oligarki
Kamis, 26 November 2020 - 15:45 WIB
JAKARTA - Penangkapan sekaligus penetapan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) memantik apresiasi dari publik, termasuk para pemerhati lingkungan. Edhy dijerat atas dugaan dugaan transaksi untuk memuluskan proses penetapan calon perusahaan ekspor benih lobster atau benur .
Greenpeace Indonesia menyatakan keberhasilan KPK itu menjadi pertanda bahwa kebijakan yang dilakukan Edhy Prabowo terkait ekspor benur tersebut sarat akan kepentingan kelompok tertentu. Ada penyalahgunaan kewenangan yang dinilai berpotensi pada eksploitasi sumber daya kelautan. (Baca juga: Soal Pengganti Edhy Prabowo di KKP, Gerindra Serahkan ke Jokowi)
“Dugaan korupsi terkait ekspor benur menunjukkan bahwa kebijakan KKP ini telah menjadi ladang bisnis segelintir pihak di sektor perikanan dan kelautan yang membuka celah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Dalam setahun terakhir kebijakan Menteri Edhy hanya berpijak pada eksploitasi sumber daya kelautan dan perhitungan profit semata ketimbang kebutuhan ekologi,” tegas Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (26/11/2020).
Lebih lanjut, Afdillah menilai ada lima aspek kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam kurun waktu setahun terakhir yang perlu dievaluasi. Sebab, aturan itu lebih menguntungkan kepentingan oligarki dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan kerugian negara lebih besar.
Kelima aspek itu meliputi pembukaan keran ekspor benur lobster, pembolehan kembali alat tangkap cantrang, pencabutan bobot batas ukuran kapal ikan, penenggelaman atau pemusnahan terhadap kapal ikan yang terbukti terlibat perikanan ilegal tidak lagi prioritas, dan kemudahan perizinan usaha kapal ikan di atas 30 GT (gross ton) sehingga proses verifikasi kepatuhan pemilik kapal dapat terabaikan.
“Kami berharap KPK dapat mengembangkan dugaan kasus korupsi ini secara menyeluruh. Pasalnya kebijakan-kebijakan tersebut telah mengorbankan kepentingan rakyat terutama nelayan dan pembudidaya ikan serta keberlanjutan sumberdaya ikan,” tegas dia.
Di sisi lain, pihaknya juga menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan kasus tersebut sebagai momentum evaluasi terhadap kementerian/lembaga di bawah naungannya. Upaya itu ditujukan agar mencegah masuknya kepentingan oligarki dalam pemerintahan.
“Presiden harus menjadikan ini sebagai momentum untuk membersihkan kementerian atau lembaga eksekutif dari kepentingan oligarki yang bernuansa bagi-bagi jatah untuk kroni politik,” tukas Afdillah.
Sebelumnya, Edhy Prabowo diciduk KPK di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu dinihari (25/11/2020) sekitar pukul 01.23 WIB usai pulang dari lawatan ke Amerika Serikat. Ia ditangkap saat beserta istri dan belasan orang lainnya dari lingkungan KKP. (Baca juga: Dua Jenis Benih Lobster yang Harganya Selangit Bikin Nama Edhy Prabowo Melejit)
Petinggi Partai Gerindra itu disangka terlibat dalam kasus korupsi ekspor benih bening (benur) lobster. Lewat kewenangannya, KKP disebut memberikan izin pada 30 perusahaan terkait ekspor benur.
Greenpeace Indonesia menyatakan keberhasilan KPK itu menjadi pertanda bahwa kebijakan yang dilakukan Edhy Prabowo terkait ekspor benur tersebut sarat akan kepentingan kelompok tertentu. Ada penyalahgunaan kewenangan yang dinilai berpotensi pada eksploitasi sumber daya kelautan. (Baca juga: Soal Pengganti Edhy Prabowo di KKP, Gerindra Serahkan ke Jokowi)
“Dugaan korupsi terkait ekspor benur menunjukkan bahwa kebijakan KKP ini telah menjadi ladang bisnis segelintir pihak di sektor perikanan dan kelautan yang membuka celah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Dalam setahun terakhir kebijakan Menteri Edhy hanya berpijak pada eksploitasi sumber daya kelautan dan perhitungan profit semata ketimbang kebutuhan ekologi,” tegas Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (26/11/2020).
Lebih lanjut, Afdillah menilai ada lima aspek kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam kurun waktu setahun terakhir yang perlu dievaluasi. Sebab, aturan itu lebih menguntungkan kepentingan oligarki dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan kerugian negara lebih besar.
Kelima aspek itu meliputi pembukaan keran ekspor benur lobster, pembolehan kembali alat tangkap cantrang, pencabutan bobot batas ukuran kapal ikan, penenggelaman atau pemusnahan terhadap kapal ikan yang terbukti terlibat perikanan ilegal tidak lagi prioritas, dan kemudahan perizinan usaha kapal ikan di atas 30 GT (gross ton) sehingga proses verifikasi kepatuhan pemilik kapal dapat terabaikan.
“Kami berharap KPK dapat mengembangkan dugaan kasus korupsi ini secara menyeluruh. Pasalnya kebijakan-kebijakan tersebut telah mengorbankan kepentingan rakyat terutama nelayan dan pembudidaya ikan serta keberlanjutan sumberdaya ikan,” tegas dia.
Di sisi lain, pihaknya juga menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan kasus tersebut sebagai momentum evaluasi terhadap kementerian/lembaga di bawah naungannya. Upaya itu ditujukan agar mencegah masuknya kepentingan oligarki dalam pemerintahan.
“Presiden harus menjadikan ini sebagai momentum untuk membersihkan kementerian atau lembaga eksekutif dari kepentingan oligarki yang bernuansa bagi-bagi jatah untuk kroni politik,” tukas Afdillah.
Sebelumnya, Edhy Prabowo diciduk KPK di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu dinihari (25/11/2020) sekitar pukul 01.23 WIB usai pulang dari lawatan ke Amerika Serikat. Ia ditangkap saat beserta istri dan belasan orang lainnya dari lingkungan KKP. (Baca juga: Dua Jenis Benih Lobster yang Harganya Selangit Bikin Nama Edhy Prabowo Melejit)
Petinggi Partai Gerindra itu disangka terlibat dalam kasus korupsi ekspor benih bening (benur) lobster. Lewat kewenangannya, KKP disebut memberikan izin pada 30 perusahaan terkait ekspor benur.
(kri)
tulis komentar anda