Akhlak Bernegara Hukum

Kamis, 26 November 2020 - 05:00 WIB
Pertama, konsistensi dalam pembuatan perundang-undangan. Pada tataran formal, setiap UU dan peraturan pemerintah (PP), hanya sah bila diberi irah-irah “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Irah-irah bernuansa ideologis itu bukan sekadar pemanis bunyi UU atau PP, melainkan sebuah klausula pengingat agar proses pembuatan dan substansi UU atau PP senantiasa sarat nilai-nilai Pancasila. Para pembuat UU atau PP mesti sadar terhadap amanat ini dan secara konsisten menuangkan, mengonkretkan, dalam pasal-pasal serta ayat-ayat. Pembuatan UU atau PP, tidak boleh sekali-kali melalaikan nilai-nilai Pancasila. Ini akhlak bernegara hukum.

Kedua, konsistensi antara ucapan dan tindakan. Keduanya merupakan pengejawantahan suasana hati, ketajaman akal, dan kendali nafsu. Nilai-nilai kemanusiaan dalam Sila Kedua mengajarkan bahwa semua manusia terlahir dalam keadaan fitrah, bersih, berpotensi menjadi manusia bermartabat. Pantang, manusia mana pun berbohong, berbuah jahat, apalagi mencla-mencle, esuk dele sore tempe. Pejabat publik telah disumpah untuk taat kepada Pancasila dan hukum negara. Ucapan dalam sumpah itu wajib diwujudkan secara konsisten dalam tindakan. Amat disayangkan bila penyelenggara negara, berkata “ini demi rakyat”, padahal di balik itu ada kepentingan lain. Ini kebohongan publik. Tergolong akhlak buruk.

Ketiga, konsistensi penegakan hukum. Muara dari penegakan hukum adalah terwujudnya keadilan. Pada setiap vonis hakim, wajib dicantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah demikian mestinya dijadikan panduan bagi penegak hukum agar dalam proses peradilan senantiasa berada di jalur ideologis-religius. Penegak hukum mesti sadar dan berbuat maksimal agar apa pun yang dilalukannya, berorientasi demi terwujudnya keadilan substantif. Tidaklah cukup vonis hakim sekadar hasil utak-atik pasal-pasal hukum positif saja. Bila itu yang terjadi, vonis hakim identik dengan aktivitas mekanis, formal-prosedural, penerapan teks-teks perundang-undangan. Hasilnya hanya keadilan formal, bukan keadilan substantif. Hakim mesti sadar, pertanggungjawaban atas vonisnya tidak hanya horizontal kepada pencari keadilan, masyarakat, dan negara, tetapi kelak dipertanggungjawabkan juga ke hadirat Tuhan Yang Maha Adil.

Wallahu’alam.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More