Tanggung Renteng Layanan Kesehatan Penyintas
Sabtu, 21 November 2020 - 07:35 WIB
Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal, jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. "Jadi silakan publik menilai apakah pemerintah sudah menunjukkan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" ucapnya.
Menko Bidang PMK Tak Tahu
Di tempat terpisah, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Ditambah lagi, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK sangat terbatas. Karenanya, ketika tanggung jawab beralih ke LPSK, semestinya pemerintah pusat mengucurkan anggaran untuk pemenuhan bantuan medis, psikososial, dan psikologis bagi para penyintas.
“Anggaran itu di luar anggaran yang sudah ditetapkan untuk LPSK karena ketika dalam perpres tanggung jawabnya beralih ke LPSK mestinya sudah ada prediksi alokasi anggarannya untuk LPSK untuk dana kesehatan dan bantuan-bantuan lain itu. LPSK mendorong saja ke pemerintah untuk realisasi anggaran. Itu kan urusan negara, harus direalisasikan atas anggaran itu," ujar Jamal kepada KORAN SINDO belum lama ini.
Mantan inspektur jenderal pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi ini menggariskan, berbagai upaya LPSK menjalin kerja sama maupun yang masih tahap penjajakan dengan sejumlah lembaga baik pemerintah maupun pihak swasta untuk pemenuhan layanan kesehatan dan bantuan bagi korban tindak pidana harus diapresiasi. Di sisi lain, Jamal mengingatkan, agar kerja sama tersebut tidak menyimpang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun mengakibatkan anggaran dobel. (Lihat videonya: Sisi SD di Gowa Buta usai Belajar Daring 4 Jam)
"Memang, dalam praktik selama ini perlindungan dan pemenuhan layanan kesehatan untuk korban itu belum optimal. Tapi, jangan sampai juga LPSK dibiarkan sendiri. Negara harus benar-benar hadir. Dalam konteks ini LPSK kan punya kepentingan. Harus duduk bersama dengan pihak-pihak terkait untuk terpenuhinya hak-hak warga negara, dalam hal ini layanan kesehatan bagi korban tindak pidana," desak Jamal.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy kepada KORAN SINDO menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara.
Sayangnya, saat ditanya soal proses pembahasan Perpres Nomor 82/2018 khususnya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r saat masih menjadi rancangan, termasuk soal kenapa LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan, Muhadjir mengaku tidak tahu. Alasannya, dia waktu itu belum menjabat menteri di Kementerian Koordinator Bidang PMK. (Sabir Laluhu)
Menko Bidang PMK Tak Tahu
Di tempat terpisah, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Ditambah lagi, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK sangat terbatas. Karenanya, ketika tanggung jawab beralih ke LPSK, semestinya pemerintah pusat mengucurkan anggaran untuk pemenuhan bantuan medis, psikososial, dan psikologis bagi para penyintas.
“Anggaran itu di luar anggaran yang sudah ditetapkan untuk LPSK karena ketika dalam perpres tanggung jawabnya beralih ke LPSK mestinya sudah ada prediksi alokasi anggarannya untuk LPSK untuk dana kesehatan dan bantuan-bantuan lain itu. LPSK mendorong saja ke pemerintah untuk realisasi anggaran. Itu kan urusan negara, harus direalisasikan atas anggaran itu," ujar Jamal kepada KORAN SINDO belum lama ini.
Mantan inspektur jenderal pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi ini menggariskan, berbagai upaya LPSK menjalin kerja sama maupun yang masih tahap penjajakan dengan sejumlah lembaga baik pemerintah maupun pihak swasta untuk pemenuhan layanan kesehatan dan bantuan bagi korban tindak pidana harus diapresiasi. Di sisi lain, Jamal mengingatkan, agar kerja sama tersebut tidak menyimpang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun mengakibatkan anggaran dobel. (Lihat videonya: Sisi SD di Gowa Buta usai Belajar Daring 4 Jam)
"Memang, dalam praktik selama ini perlindungan dan pemenuhan layanan kesehatan untuk korban itu belum optimal. Tapi, jangan sampai juga LPSK dibiarkan sendiri. Negara harus benar-benar hadir. Dalam konteks ini LPSK kan punya kepentingan. Harus duduk bersama dengan pihak-pihak terkait untuk terpenuhinya hak-hak warga negara, dalam hal ini layanan kesehatan bagi korban tindak pidana," desak Jamal.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy kepada KORAN SINDO menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara.
Sayangnya, saat ditanya soal proses pembahasan Perpres Nomor 82/2018 khususnya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r saat masih menjadi rancangan, termasuk soal kenapa LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan, Muhadjir mengaku tidak tahu. Alasannya, dia waktu itu belum menjabat menteri di Kementerian Koordinator Bidang PMK. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda