Ekonomi Politik Vaksinasi Covid-19
Jum'at, 13 November 2020 - 05:30 WIB
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, dalam batasan kepentingan secara besar, Indonesia adalah negara konsumen. Jika pun Indonesia masuk di dalam konteks menciptakan kekayaan yang terkondisikan, itu lebih pada agar vaksin Covid-19 bisa diterima dan diproses di dalam masyarakat sendiri. Irisan seperti itu tidak bisa menempatkan negara sebagai entitas produksi, tetapi hanya sebatas pada entitas distribusi. Itulah mengapa, pemerintah sejauh ini masih terus melakukan sosialisasi agar vaksin Covid-19 bisa didistribusikan secara luas ke masyarakat dan diserap untuk difungsikan secara luas pula.
Sejauh ini vaksin Covid-19 yang akan didatangkan oleh pemerintah Indonesia, porsi terbesarnya adalah impor. Meski ada penyertaan perusahaan dalam negeri (BUMN) di dalamnya, khususnya dalam aspek transfer teknologi dan pengetahuan (transfer of technology and knowledge), namun produksi secara masif masih terbatas dan butuh effort yang konsisten. Dengan kondisi begini, Indonesia tidak memiliki tawar menawar yang kuat meski pangsa pasar Indonesia sangat besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang terus meningkat, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima apa adanya. Kalaupun ada negosiasi, paling hanya tipis-tipis.
Dalam logika kekuasaan seperti ini memang Indonesia dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Di mata negara produsen vaksin Covid-19, Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah, yang kemudian kelemahan ini dimanfaatkan oleh negara lain untuk menawarkan produknya dengan posisi harga yang tinggi (Caporaso dan Levine, 2015).
Kebijakan Setengah Arah
Dalam kondisi yang membutuhkan, ditambah kelangkaan produk dan permintaan yang sudah pasti tinggi, maka mekanisme pasar memang berlaku. Persoalan di dalam negeri adalah bagaimana agar ketersediaan vaksin juga terjaga. Maka dari itu, langkah untuk membeli di awal dan menjalin kontrak pembelian dengan perusahaan asing menjadi pilihan pemerintah.
Fungsi pemerintahan memang seperti itu, yakni memiliki tanggung jawab domestik untuk menjamin kebutuhan masyarakat. Namun, pemerintah tidak seharusnya hanya memikirkan soal ketersediaan. Ada hal krusial lain yang tak kalah genting, yakni memastikan bahwa pemerintah tidak menjadikan rakyat sebagai pangsa pasar untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan bertindak selayaknya perusahaan yang berupaya memperoleh kekuasaan pasar (market power).
Jangan sampai pemerintah juga mengeluarkan kebijakan setengah arah yang mengonstruksikan tujuan penyelesaian Covid-19 dengan memaksakan logika pasar kepada rakyat. Negara harus mengambil peran besar untuk memastikan kebijakan lebih terarah dan tuntas. Mengapa? Karena rakyat masih dalam kondisi terpuruk akibat dampak Covid-19 ini. Kenormalan baru hanya mengubah budaya keseharian atas perilaku dan aktivitas, tanpa bisa membawa ekonomi masyarakat pada kenormalan yang layak.
Lantas, apakah negara sepenuhnya tidak boleh mendapatkan keuntungan? Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan pula, apakah negara tega menghitung keuntungan di tengah-tengah penderitaan rakyat yang terdampak Covid-19?
Perspektif ekonomi politik berbasis negara pada dasarnya menempatkan negara sebagai sentrum dari berbagai kepentingan kelompok (swasta) dan masyarakat menjadi kepentingan nasional. Kresner dalam Caporaso dan Levine (2015) menjelaskan bahwa negara dalam hal ini sebagai institusi yang bertanggung jawab menetapkan nilai-nilai yang digunakan dalam menentukan kegunaan bagi masyarakat.
Empirisnya, perlakuan negara dari vaksin Covid-19 adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam proses induksi nilai. Dengan kata lain, secara sederhana, lihatlah kondisi masyarakat kita dengan terbuka dan lihatlah kemampuan objektif masyarakat saat ini. Jika tidak mungkin, maka pemerintah perlu berkorban dalam kondisi rugi sekalipun. Jika sudah ada keselarasan nilai seperti itu, maka 100% kesadaran masyarakat akan tumbuh atas kegunaan vaksin.
Sejauh ini vaksin Covid-19 yang akan didatangkan oleh pemerintah Indonesia, porsi terbesarnya adalah impor. Meski ada penyertaan perusahaan dalam negeri (BUMN) di dalamnya, khususnya dalam aspek transfer teknologi dan pengetahuan (transfer of technology and knowledge), namun produksi secara masif masih terbatas dan butuh effort yang konsisten. Dengan kondisi begini, Indonesia tidak memiliki tawar menawar yang kuat meski pangsa pasar Indonesia sangat besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang terus meningkat, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima apa adanya. Kalaupun ada negosiasi, paling hanya tipis-tipis.
Dalam logika kekuasaan seperti ini memang Indonesia dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Di mata negara produsen vaksin Covid-19, Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah, yang kemudian kelemahan ini dimanfaatkan oleh negara lain untuk menawarkan produknya dengan posisi harga yang tinggi (Caporaso dan Levine, 2015).
Kebijakan Setengah Arah
Dalam kondisi yang membutuhkan, ditambah kelangkaan produk dan permintaan yang sudah pasti tinggi, maka mekanisme pasar memang berlaku. Persoalan di dalam negeri adalah bagaimana agar ketersediaan vaksin juga terjaga. Maka dari itu, langkah untuk membeli di awal dan menjalin kontrak pembelian dengan perusahaan asing menjadi pilihan pemerintah.
Fungsi pemerintahan memang seperti itu, yakni memiliki tanggung jawab domestik untuk menjamin kebutuhan masyarakat. Namun, pemerintah tidak seharusnya hanya memikirkan soal ketersediaan. Ada hal krusial lain yang tak kalah genting, yakni memastikan bahwa pemerintah tidak menjadikan rakyat sebagai pangsa pasar untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan bertindak selayaknya perusahaan yang berupaya memperoleh kekuasaan pasar (market power).
Jangan sampai pemerintah juga mengeluarkan kebijakan setengah arah yang mengonstruksikan tujuan penyelesaian Covid-19 dengan memaksakan logika pasar kepada rakyat. Negara harus mengambil peran besar untuk memastikan kebijakan lebih terarah dan tuntas. Mengapa? Karena rakyat masih dalam kondisi terpuruk akibat dampak Covid-19 ini. Kenormalan baru hanya mengubah budaya keseharian atas perilaku dan aktivitas, tanpa bisa membawa ekonomi masyarakat pada kenormalan yang layak.
Lantas, apakah negara sepenuhnya tidak boleh mendapatkan keuntungan? Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan pula, apakah negara tega menghitung keuntungan di tengah-tengah penderitaan rakyat yang terdampak Covid-19?
Perspektif ekonomi politik berbasis negara pada dasarnya menempatkan negara sebagai sentrum dari berbagai kepentingan kelompok (swasta) dan masyarakat menjadi kepentingan nasional. Kresner dalam Caporaso dan Levine (2015) menjelaskan bahwa negara dalam hal ini sebagai institusi yang bertanggung jawab menetapkan nilai-nilai yang digunakan dalam menentukan kegunaan bagi masyarakat.
Empirisnya, perlakuan negara dari vaksin Covid-19 adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam proses induksi nilai. Dengan kata lain, secara sederhana, lihatlah kondisi masyarakat kita dengan terbuka dan lihatlah kemampuan objektif masyarakat saat ini. Jika tidak mungkin, maka pemerintah perlu berkorban dalam kondisi rugi sekalipun. Jika sudah ada keselarasan nilai seperti itu, maka 100% kesadaran masyarakat akan tumbuh atas kegunaan vaksin.
Lihat Juga :
tulis komentar anda