Ekonomi Politik Vaksinasi Covid-19
Jum'at, 13 November 2020 - 05:30 WIB
Idil Akbar
Pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
PERTANYAAN awal yang ingin diajukan, hal menarik apalagi dari pembicaraan tentang Covid-19 sekarang ini? Apakah soal penderita yang terus bertambah, yang dibarengi dengan kesembuhan penderita yang juga cenderung meningkat? Itu sudah tidak menarik. Ataukah soal vaksin yang konon akan beredar luas sebentar lagi? Itu memang kabar yang cukup menggembirakan, tapi apakah orang-orang merespons baik kabar tersebut?
Menarik mencermati pendapat masyarakat Indonesia terhadap vaksin ini. Pada akhir Oktober lalu Kementerian Kesehatan RI bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) merilis hasil survei dengan hasil 64,8% masyarakat bersedia divaksinasi, 7,6% menolak, dan 26% masih ragu (Kemenkes RI, 2020).
Mungkin kita bertanya, mengapa orang yang mau divaksinasi tidak mencapai, katakanlah 99% (dengan plus minus margin of error jika menggunakan sampling 1%), untuk menggambarkan bahwa tidak ada penolakan dan keraguan orang Indonesia terhadap niat pemerintah memberikan vaksin Covid-19 ini? Apakah orang-orang masih relatif belum meyakini sepenuhnya bahwa vaksin tersebut nanti bisa berefek terhadap peningkatan imunitas tubuh dari serangan Covid-19?
Ataukah keraguan itu muncul dari masalah pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang terkesan tergesa-gesa tanpa disertai pembuktian empiris akan khasiat lanjutan vaksin? Mari kita telaah sedikit agar tidak sekadar mensimplifikasi persoalan ke dalam dikotomi perdebatan yakin atau ragu; mau atau tidak; atau (dalam kacamata pemerintah) butuh effort sosialisasi yang lebih intens.
Tawar Menawar Lemah
Vaksin Covid-19 jika dipandang dalam kacamata ekonomi politik bukan sekadar obat atau alat peningkat imunitas tubuh dari penularan Covid-19 semata. Vaksin Covid-19 juga berasosiasi dengan kepentingan ekonomi politik banyak negara. Di dalamnya terkandung dominasi kekuasaan, bahkan hegemoni dan infiltrasi kepentingan pasar suatu negara.
Dalam refleksi kapitalisme, vaksin Covid-19 berkorelasi terhadap kepentingan negara dalam kerangka menciptakan sumber-sumber kekayaan baru dan meningkatkan pendapatan. Vaksin Covid-19 dengan kata lain--meminjam istilah Caporaso dan Lavine (2015)-- merupakan bentuk dari “kekayaan yang terkondisikan”. Sebab dalam hal ini negara membangun relasi kekuasaan dengan entitas swasta (perusahaan, kapitalis, dan organisasi pekerja dan konsumen) untuk sama-sama memproduksi dan mendistribusikan kekayaan.
Pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
PERTANYAAN awal yang ingin diajukan, hal menarik apalagi dari pembicaraan tentang Covid-19 sekarang ini? Apakah soal penderita yang terus bertambah, yang dibarengi dengan kesembuhan penderita yang juga cenderung meningkat? Itu sudah tidak menarik. Ataukah soal vaksin yang konon akan beredar luas sebentar lagi? Itu memang kabar yang cukup menggembirakan, tapi apakah orang-orang merespons baik kabar tersebut?
Menarik mencermati pendapat masyarakat Indonesia terhadap vaksin ini. Pada akhir Oktober lalu Kementerian Kesehatan RI bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) merilis hasil survei dengan hasil 64,8% masyarakat bersedia divaksinasi, 7,6% menolak, dan 26% masih ragu (Kemenkes RI, 2020).
Mungkin kita bertanya, mengapa orang yang mau divaksinasi tidak mencapai, katakanlah 99% (dengan plus minus margin of error jika menggunakan sampling 1%), untuk menggambarkan bahwa tidak ada penolakan dan keraguan orang Indonesia terhadap niat pemerintah memberikan vaksin Covid-19 ini? Apakah orang-orang masih relatif belum meyakini sepenuhnya bahwa vaksin tersebut nanti bisa berefek terhadap peningkatan imunitas tubuh dari serangan Covid-19?
Ataukah keraguan itu muncul dari masalah pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang terkesan tergesa-gesa tanpa disertai pembuktian empiris akan khasiat lanjutan vaksin? Mari kita telaah sedikit agar tidak sekadar mensimplifikasi persoalan ke dalam dikotomi perdebatan yakin atau ragu; mau atau tidak; atau (dalam kacamata pemerintah) butuh effort sosialisasi yang lebih intens.
Tawar Menawar Lemah
Vaksin Covid-19 jika dipandang dalam kacamata ekonomi politik bukan sekadar obat atau alat peningkat imunitas tubuh dari penularan Covid-19 semata. Vaksin Covid-19 juga berasosiasi dengan kepentingan ekonomi politik banyak negara. Di dalamnya terkandung dominasi kekuasaan, bahkan hegemoni dan infiltrasi kepentingan pasar suatu negara.
Dalam refleksi kapitalisme, vaksin Covid-19 berkorelasi terhadap kepentingan negara dalam kerangka menciptakan sumber-sumber kekayaan baru dan meningkatkan pendapatan. Vaksin Covid-19 dengan kata lain--meminjam istilah Caporaso dan Lavine (2015)-- merupakan bentuk dari “kekayaan yang terkondisikan”. Sebab dalam hal ini negara membangun relasi kekuasaan dengan entitas swasta (perusahaan, kapitalis, dan organisasi pekerja dan konsumen) untuk sama-sama memproduksi dan mendistribusikan kekayaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda