UU Cipta Kerja Resmi Berlaku, KSPI: Kembalinya Rezim Upah Murah
Selasa, 03 November 2020 - 08:55 WIB
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menandatangani Undang-Undang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ). UU yang menuai banyak protes dari buruh, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat itu bernomor UU Nomor 11 Tahun 2020 .
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan menolak UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut. "Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Berdasarkan kajian KSPI , ada banyak pasal di klaster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. UU 'sapu jagat' itu akan membuka ruang sistem upah murah . Hal terlihat dari sisipan Pasal 88C ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP).
Kemudian, pasal 88C ayat (2) menyatakan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten dan kota dengan syarat tertentu. Said menerangkan, penggunaan frasa 'dapat' dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. "Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini mengakibatkan upah murah," ucapnya.
( ).
Misalnya, UMP Jawa Barat (Jabar) tahun 2019 Rp1,8 juta. Sedangkan, UMK Bekasi sebesar Rp4,2 juta. Menurut Said Iqbal, jika hanya menetapkan UMP, nilai upah minimum di Bekasi akan turun.
KSPI menganggap berlakunya UU Cipta Kerja sama saja dengan mengembalikan kepada rezim upah murah . Hal ini tentu sangat kontradiktif. Apalagi, upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) dan provinsi (UMSP) dihilangkan.
( ).
Said menjelaskan, dihilangkannya UMSK dan UMSP menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif, seperti Toyota dan Astra, atau sektor pertambangan, seperti Freeport, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk.
"KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat. UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan. Jika ini terjadi, akan menyebabkan tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah," pungkasnya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan menolak UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut. "Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Berdasarkan kajian KSPI , ada banyak pasal di klaster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. UU 'sapu jagat' itu akan membuka ruang sistem upah murah . Hal terlihat dari sisipan Pasal 88C ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP).
Kemudian, pasal 88C ayat (2) menyatakan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten dan kota dengan syarat tertentu. Said menerangkan, penggunaan frasa 'dapat' dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. "Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini mengakibatkan upah murah," ucapnya.
( ).
Misalnya, UMP Jawa Barat (Jabar) tahun 2019 Rp1,8 juta. Sedangkan, UMK Bekasi sebesar Rp4,2 juta. Menurut Said Iqbal, jika hanya menetapkan UMP, nilai upah minimum di Bekasi akan turun.
KSPI menganggap berlakunya UU Cipta Kerja sama saja dengan mengembalikan kepada rezim upah murah . Hal ini tentu sangat kontradiktif. Apalagi, upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) dan provinsi (UMSP) dihilangkan.
( ).
Said menjelaskan, dihilangkannya UMSK dan UMSP menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif, seperti Toyota dan Astra, atau sektor pertambangan, seperti Freeport, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk.
"KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat. UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan. Jika ini terjadi, akan menyebabkan tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda