Memaknai World without Strangers
Senin, 02 November 2020 - 05:54 WIB
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
“WHEN your days break, my evenings descend, but there is no such thing as distance. In every shade and shape we were spun, but there is no such thing as difference, for we all are, jewels in the sun, yeah there is no such thing as difference. From mountains high, to desert seas ,I am you and you are me. Neath jeepney sky, and blossom shade, no pride, no fear no hate.”
Artikel ini saya mulai dengan mengutip petikan lirik lagu World without Strangers yang menggambarkan bentuk pluralisme global yang menjadi tujuan seluruh umat manusia di muka bumi. Pluralisme global dikatakan menjadi tujuan karena di dalamnya terkandung kesadaran akan perbedaan pada saat membangun perdamaian dunia.
Sebagaimana diketahui isu pluralisme kembali menjadi persoalan serius baik secara internasional maupun nasional. Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron atas gambar karikatur media Charlie Hebdo yang menyinggung umat Islam memantik polemik dunia internasional. Kondisi tersebut diikuti dengan penyerangan di gereja Northerdame Dame dan juga penyerangan di kedutaan Arab Saudi di Prancis.
Dalam skala nasional persoalan pluralisme menjadi sorotan dan trending di berbagai media, baik cetak maupun media sosial. Peristiwa bermula ketika seorang guru turut menyuarakan politik identitas, yakni menyarankan agar para siswa memilih ketua OSIS yang beragama sama. Peristiwa ini terjadi di salah satu sekolah negeri di Jakarta yang seharusnya memegang teguh pluralisme dan berasas Pancasilais.
Persoalan pluralisme, khususnya yang menyangkut identitas agama, perlu disikapi secara bijak mengingat persoalan tersebut berpotensi membuat masyarakat terbelah atas dampak politik identitas. Selain itu hal tersebut akan membentuk eksklusivitas pada tiap kelompok dan pada akhirnya justru tidak terbentuk pluralisme dalam masyarakat. Abdurahman Wahid (1995) menjelaskan bahwa esensi pluralisme adalah meleburnya eksklusivitas antarkelompok sehingga terbentuk keragaman tanpa tersekat identitas agama, suku maupun ras. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa world without strangers adalah keberagaman itu sendiri.
World without Strangers = Pluralisme
Presiden Prancis melalui duta besarnya dalam berbagai rilisnya menyatakan bahwa pernyataan “dukungan” terhadap media Charlie Hebdo atas karikatur yang dipandang menyinggung muslim tersebut adalah bentuk dukungan atas kebebasan berekspresi. Seharusnya dukungan terhadap kebebasan berekspresi diungkapkan dalam bentuk yang lebih “teduh” dengan meletakkan pluralisme sebagai sendi utama sehingga kebebasan berekspresi dapat memperkuat keberagaman yang ada dalam masyarakat, bukan sebaliknya.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
“WHEN your days break, my evenings descend, but there is no such thing as distance. In every shade and shape we were spun, but there is no such thing as difference, for we all are, jewels in the sun, yeah there is no such thing as difference. From mountains high, to desert seas ,I am you and you are me. Neath jeepney sky, and blossom shade, no pride, no fear no hate.”
Artikel ini saya mulai dengan mengutip petikan lirik lagu World without Strangers yang menggambarkan bentuk pluralisme global yang menjadi tujuan seluruh umat manusia di muka bumi. Pluralisme global dikatakan menjadi tujuan karena di dalamnya terkandung kesadaran akan perbedaan pada saat membangun perdamaian dunia.
Sebagaimana diketahui isu pluralisme kembali menjadi persoalan serius baik secara internasional maupun nasional. Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron atas gambar karikatur media Charlie Hebdo yang menyinggung umat Islam memantik polemik dunia internasional. Kondisi tersebut diikuti dengan penyerangan di gereja Northerdame Dame dan juga penyerangan di kedutaan Arab Saudi di Prancis.
Dalam skala nasional persoalan pluralisme menjadi sorotan dan trending di berbagai media, baik cetak maupun media sosial. Peristiwa bermula ketika seorang guru turut menyuarakan politik identitas, yakni menyarankan agar para siswa memilih ketua OSIS yang beragama sama. Peristiwa ini terjadi di salah satu sekolah negeri di Jakarta yang seharusnya memegang teguh pluralisme dan berasas Pancasilais.
Persoalan pluralisme, khususnya yang menyangkut identitas agama, perlu disikapi secara bijak mengingat persoalan tersebut berpotensi membuat masyarakat terbelah atas dampak politik identitas. Selain itu hal tersebut akan membentuk eksklusivitas pada tiap kelompok dan pada akhirnya justru tidak terbentuk pluralisme dalam masyarakat. Abdurahman Wahid (1995) menjelaskan bahwa esensi pluralisme adalah meleburnya eksklusivitas antarkelompok sehingga terbentuk keragaman tanpa tersekat identitas agama, suku maupun ras. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa world without strangers adalah keberagaman itu sendiri.
World without Strangers = Pluralisme
Presiden Prancis melalui duta besarnya dalam berbagai rilisnya menyatakan bahwa pernyataan “dukungan” terhadap media Charlie Hebdo atas karikatur yang dipandang menyinggung muslim tersebut adalah bentuk dukungan atas kebebasan berekspresi. Seharusnya dukungan terhadap kebebasan berekspresi diungkapkan dalam bentuk yang lebih “teduh” dengan meletakkan pluralisme sebagai sendi utama sehingga kebebasan berekspresi dapat memperkuat keberagaman yang ada dalam masyarakat, bukan sebaliknya.
tulis komentar anda