Omnibus Law dan Kebencanaan
Senin, 26 Oktober 2020 - 06:33 WIB
Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker disebutkan akan ada proses sinkronisasi dari produk-produk penataan ruang darat dan laut atau kawasan strategis nasional dan kawasan strategis nasional tertentu. Dalam konteks ini sebenarnya ada banyak kemudahan bagi proses manajemen ruang yaitu menjadi lebih mudah diakses, mudah dilihat kepastian alokasi ruangnya, serta tidak menyebabkan terjadi misinterpretasi pemanfaatan ruang.
Namun karena adanya keharusan dalam mengintegrasikan risiko, maka penulis berpendapat, bahwa produk-produk tata ruang harus disusun atas dasar pertimbangan potensi bahwa dan risiko yang ada. Untuk itu peta basis dalam alokasi ruang sudah dilakukan di atas peta dan informasi risiko (IRBI) indek risiko bencana. Agar ada integrasi antara subjek dan objek investasi maka risiko juga harus menjelaskan tingkat potensi dalam aspek kesehatan, kelematan kerja, keselamatan lingkungan dan daya dukung, serta sustainability standar kehidupan minimum.
Kenapa penting mengintegrasikan risiko dalam tata ruang? Paling tidak ada tiga dasar pemikirannya. Pertama, dengan adanya informasi risiko dalam dokumen penataan ruang, maka documen tata ruang akan memiliki kekuatan pengaturan dan pegendalian. Kedua, kita akan mampu merancang upaya mitigasi, adaptasi dan penguatan kapasitas adaptasi dalam kaitannya dengan perubahan dan dinamika risiko karena aktivitas investasi. Ketiga, karena dinamika potensi bahaya dapat meningkat dengan adanya tekanan baru dari investasi, maka aka nada elastisitas pemetaan daerah berisiko termasuk upaya pencegahan dan mitigasnya sesuai dengan proses revisi tata ruang dapat dilakukan secara periodik. Karena ada potensi bahwa peningkatan kejadian bencana terjadi karena kesalahan dalam pengalokasian ruang. Keempat, setiap aktivitas investasi yang akan dibangun akan selalu berada dalam koridor pembangunan yang seimbang dengan aktivitas masyarakat.
Kelembagaan Kebencanaan
Kelembagaan kebencanaan menjadi catatan tersendiri untuk dipastikan tetap ada terkait kebencanaan, investasi dan risiko. Sejalan dengan UU Cipta Kerja, saat ini juga sedang ada progress dari pemerintah untuk merivisi UU penanggulangan bencana. Penulis melihat setidaknya ada tigahal penting yang menjadi catatan berkaitan dengan ini.
Pertama adalah penting kelembagaan penanggulangan bencana yang tidak hanya setingkat badan, bahkan seharusnya kementerian. Ketika ada tindakan emergensi, relokasi, dan tindak yang bersifat kuratif seperti saat ini, maka keberadaan BNPB masih sangat relevan. Poin kedua, ketika adanya intervensi ruang dalam hal investasi yang juga potensial meningkatkan risiko, maka harus ada lembaga koordinasi yang lebih tinggi dari sebuah badan yang berfungsi sebagai koordinator. Dalam hal ini penulis meyakini, perlunya melakukan reformasi pada kelembagaan agrarian dan tata ruaang menjadi kementerian koordinator agraria, tata ruang dan kebencanaan. Dalam konteks ini penting memastikan kelembagaan yang menjadi basis pembangunan dan potensial meningkatkan risiko dan bencana sebagai kelompok kelembagaan pendukung pembangunan. Menurut hemat penulis, di sini akan tergabung kelembagaan BNPB, Kementerian Sosial, Agraria dan Tata Ruang, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Infrastruktur. Kelembagaan ini menjadi satu kekuatan dalam mengawal penguatan sistem basis pembangunan agar investasi dalam berjalan secara berkesinambungan.
Literasi Risiko
Selain dari dua hal di atas, bagian akhir yang tidak kalah pentingnya adalah literasi risiko terhadap masyarakat, pemerintah daerah, dan calon investor. Dalam konteks bangsa Indonesia potensi bahaya dapat berasal dari alam, masyarakat, teknologi, dan kebijakan. Maka untuk itu penting untuk memastikan bahwa semua pihak yang terkait dengan objek investasi memahami potensi bahaya dan risiko di daerah ini. Untuk itu upaya literasi menjadi penting sebagai kekuatan utama dalam mengawal agar investasi tidak menimbulkan bencana. Untuk itu beberapa hal yang perlu dilakukan dalam memperkuat literasi bahaya, risiko dan kebencanaan terkait investasi adalah pertama mengajak masyarakat terlibat dalam penyusunan tata ruang yang memuat informasi potensi bahaya dan risiko. Kedua melakukan edukasi mengenai upaya preventif pengendalian bahaya dan pengurangan risiko, ketiga mendorong keterlibatan bersama (multistakeholder) dalam memastikan aktivitas investasi dapat sejalan dengan rencana pemanfaatan ruang tanpa menyebabkan risiko yang lebih besar.
Dalam memastikan bahwa investasi yang dirancang menurut pemikiran UU Omnibus Law tidak menyebabkan bencana, maka berbagai langkah integrasi perlu disiapkan dengan baik, mulai dari pengaturan substansi, kelembagaan dan kapasitas adaptasi masyarakat. Menurut hemat penulis, dengan memperhatikan ketiga hal di atas, maka investasi dan pembangunan yang akan dipacu tidak akan meninggalkan beban dan bencana bagi masyarakat dan lingkungan.
Namun karena adanya keharusan dalam mengintegrasikan risiko, maka penulis berpendapat, bahwa produk-produk tata ruang harus disusun atas dasar pertimbangan potensi bahwa dan risiko yang ada. Untuk itu peta basis dalam alokasi ruang sudah dilakukan di atas peta dan informasi risiko (IRBI) indek risiko bencana. Agar ada integrasi antara subjek dan objek investasi maka risiko juga harus menjelaskan tingkat potensi dalam aspek kesehatan, kelematan kerja, keselamatan lingkungan dan daya dukung, serta sustainability standar kehidupan minimum.
Kenapa penting mengintegrasikan risiko dalam tata ruang? Paling tidak ada tiga dasar pemikirannya. Pertama, dengan adanya informasi risiko dalam dokumen penataan ruang, maka documen tata ruang akan memiliki kekuatan pengaturan dan pegendalian. Kedua, kita akan mampu merancang upaya mitigasi, adaptasi dan penguatan kapasitas adaptasi dalam kaitannya dengan perubahan dan dinamika risiko karena aktivitas investasi. Ketiga, karena dinamika potensi bahaya dapat meningkat dengan adanya tekanan baru dari investasi, maka aka nada elastisitas pemetaan daerah berisiko termasuk upaya pencegahan dan mitigasnya sesuai dengan proses revisi tata ruang dapat dilakukan secara periodik. Karena ada potensi bahwa peningkatan kejadian bencana terjadi karena kesalahan dalam pengalokasian ruang. Keempat, setiap aktivitas investasi yang akan dibangun akan selalu berada dalam koridor pembangunan yang seimbang dengan aktivitas masyarakat.
Kelembagaan Kebencanaan
Kelembagaan kebencanaan menjadi catatan tersendiri untuk dipastikan tetap ada terkait kebencanaan, investasi dan risiko. Sejalan dengan UU Cipta Kerja, saat ini juga sedang ada progress dari pemerintah untuk merivisi UU penanggulangan bencana. Penulis melihat setidaknya ada tigahal penting yang menjadi catatan berkaitan dengan ini.
Pertama adalah penting kelembagaan penanggulangan bencana yang tidak hanya setingkat badan, bahkan seharusnya kementerian. Ketika ada tindakan emergensi, relokasi, dan tindak yang bersifat kuratif seperti saat ini, maka keberadaan BNPB masih sangat relevan. Poin kedua, ketika adanya intervensi ruang dalam hal investasi yang juga potensial meningkatkan risiko, maka harus ada lembaga koordinasi yang lebih tinggi dari sebuah badan yang berfungsi sebagai koordinator. Dalam hal ini penulis meyakini, perlunya melakukan reformasi pada kelembagaan agrarian dan tata ruaang menjadi kementerian koordinator agraria, tata ruang dan kebencanaan. Dalam konteks ini penting memastikan kelembagaan yang menjadi basis pembangunan dan potensial meningkatkan risiko dan bencana sebagai kelompok kelembagaan pendukung pembangunan. Menurut hemat penulis, di sini akan tergabung kelembagaan BNPB, Kementerian Sosial, Agraria dan Tata Ruang, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Infrastruktur. Kelembagaan ini menjadi satu kekuatan dalam mengawal penguatan sistem basis pembangunan agar investasi dalam berjalan secara berkesinambungan.
Literasi Risiko
Selain dari dua hal di atas, bagian akhir yang tidak kalah pentingnya adalah literasi risiko terhadap masyarakat, pemerintah daerah, dan calon investor. Dalam konteks bangsa Indonesia potensi bahaya dapat berasal dari alam, masyarakat, teknologi, dan kebijakan. Maka untuk itu penting untuk memastikan bahwa semua pihak yang terkait dengan objek investasi memahami potensi bahaya dan risiko di daerah ini. Untuk itu upaya literasi menjadi penting sebagai kekuatan utama dalam mengawal agar investasi tidak menimbulkan bencana. Untuk itu beberapa hal yang perlu dilakukan dalam memperkuat literasi bahaya, risiko dan kebencanaan terkait investasi adalah pertama mengajak masyarakat terlibat dalam penyusunan tata ruang yang memuat informasi potensi bahaya dan risiko. Kedua melakukan edukasi mengenai upaya preventif pengendalian bahaya dan pengurangan risiko, ketiga mendorong keterlibatan bersama (multistakeholder) dalam memastikan aktivitas investasi dapat sejalan dengan rencana pemanfaatan ruang tanpa menyebabkan risiko yang lebih besar.
Dalam memastikan bahwa investasi yang dirancang menurut pemikiran UU Omnibus Law tidak menyebabkan bencana, maka berbagai langkah integrasi perlu disiapkan dengan baik, mulai dari pengaturan substansi, kelembagaan dan kapasitas adaptasi masyarakat. Menurut hemat penulis, dengan memperhatikan ketiga hal di atas, maka investasi dan pembangunan yang akan dipacu tidak akan meninggalkan beban dan bencana bagi masyarakat dan lingkungan.
(bmm)
tulis komentar anda