Pendidikan Berbasis Masyarakat
Jum'at, 23 Oktober 2020 - 05:41 WIB
Meski kini ungkapan pendidikan berbasis masyarakat sepertinya tidak mempunyai makna apa pun yang membekas di hati dan pikiran, jika diucapkan oleh politis, birokrat pendidikan, dan pemimpin organisasi pendidikan. Pendidikan organis yang menawarkan kemandirian, partisipasi keluarga dan masyarakat--yang mengutamakan pembelajaran character building seakan-akan mendapat cap “sudah tidak relevan dengan kondisi zaman”. Ringkasnya tidak fungsional. Alasannya, karena tidak sejalan dengan pendidikan kontemporer, yang gemar mengukur keberhasilan dan kemanfaatan pendidikan dengan dunia industri.
Dengan kata lain, peran masyarakat (society) dinihilkan dalam pendidikan. Masyarakat seperti komunitas "asing" bagi lembaga pendidikan seperti sekolah. Sejatinya hubungan antara masyarakat dan lembaga pendidikan tidak terpisahkan. Masyarakat dan sekolah mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan cara itu, ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan sekolah. Sebab, bagaimanapun sekolah membutuhkan dukungan dan aspirasi dari masyarakat. Sikap kepedulian itu yang akan menguatkan sekolah sebagai lembaga yang berdiri di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, di tengah kepungan pandemi, pendidikan yang memungkinkan untuk diterapkan ialah pendidikan berbasis masyarakat organis. Sebab, dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat organis, maka instrumen yang memenuhi syarat minimal ialah keluarga. Seperti diketahui keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat setelah negara. Seharusnya pada masa pandemi seperti ini fungsi pendidikan dalam keluarga dikampanyekan kembali. Mengingat keluargalah yang mempunyai kepentingan secara emosional, psikografik, dan demografik.
Akan menjadi persoalan besar jika pendidikan dipisahkan dari realitas kehidupan bermasyarakat. Misalnya mengabaikan keberadaan masyarakat dengan menyerahkan habis pendidikan pada kungkungan kurikulum lembaga pendidikan formal yang hanya mencetak peserta didik bermental tukang dalam pengertian kapitalistik. Mencetak generasi “jungklak” yang dipaksa menerima keseragaman. Masyarakat dipaksa menerima ideologi itu sebagai konsensus atas nama pembangunan teknologi-industri (one dimensional man).
Padahal, secara konseptual pendidikan berbasis masyarakat ialah pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendidikan tidak bisa dipisah dengan realitas masyarakat untuk menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan tidak mengasingkan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku pendidikan bukan objek pendidikan. Pendidikan yang ikut menyertakan masyarakat terutama dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Ringkasnya memberdayakan masyarakat untuk aktif bersama-sama dengan sekolah.
Learning Society
Tentu dalam konteks ini pendidikan berbasis masyarakat organis bersifat situasional. Maka dalam perspektif pendidikan berbasis masyarakat, sebagaimana diterangkan Watson dalam Toto Suharto (2013), landasan utamanya selain pedagogi kritis (critical pedagogy) ialah learning society. Model pendidikan learning society harus menegaskan dan memercayai kemampuan, kemandirian, keterampilan, dan pengetahuan untuk melaksanakan pendidikan di masyarakat.
Meminjam Indra Djati Sidi (2001), bahwa persoalan pendidikan seperti yang sedang berlangsung saat ini tidak hanya dimaknai secara individual pendidikan formal seperti lembaga sekolah, melainkan menjadi persoalan secara kolektif di tengah kehidupan masyarakat. “Sekolah” dalam paradigma ini tidak hanya diartikan secara formal-institusional, melainkan juga berada di mana-mana, terutama dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar.
Dengan kata lain, dalam aspek laku kehidupan manusia dapat dijadikan sebagai media dan sarana pembelajaran kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun. Ini sejalan dengan refleksi kritis Ivan Illich; pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah. Demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
Dari filosofis pendidikan berbasis masyarakat organis, kita dapat belajar satu hal yang relevan dengan keadaan pendidikan seperti sekarang ini, yaitu pendidikan sebagai proses pembelajaran tidak hanya dimaknai secara mekanistis, teknikal, dan penyeragaman layaknya aktivitas belajar di kelas-kelas sekolah. Pendidikan tidak cukup dipahami sebagai pembelajaran secara kognitif, ornamental, dan artifisial. Melainkan secara sadar dan sengaja untuk memburu pengetahuan, keterampilan, dan pandangan filosofis hidup dari siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Dengan kata lain, peran masyarakat (society) dinihilkan dalam pendidikan. Masyarakat seperti komunitas "asing" bagi lembaga pendidikan seperti sekolah. Sejatinya hubungan antara masyarakat dan lembaga pendidikan tidak terpisahkan. Masyarakat dan sekolah mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan cara itu, ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan sekolah. Sebab, bagaimanapun sekolah membutuhkan dukungan dan aspirasi dari masyarakat. Sikap kepedulian itu yang akan menguatkan sekolah sebagai lembaga yang berdiri di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, di tengah kepungan pandemi, pendidikan yang memungkinkan untuk diterapkan ialah pendidikan berbasis masyarakat organis. Sebab, dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat organis, maka instrumen yang memenuhi syarat minimal ialah keluarga. Seperti diketahui keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat setelah negara. Seharusnya pada masa pandemi seperti ini fungsi pendidikan dalam keluarga dikampanyekan kembali. Mengingat keluargalah yang mempunyai kepentingan secara emosional, psikografik, dan demografik.
Akan menjadi persoalan besar jika pendidikan dipisahkan dari realitas kehidupan bermasyarakat. Misalnya mengabaikan keberadaan masyarakat dengan menyerahkan habis pendidikan pada kungkungan kurikulum lembaga pendidikan formal yang hanya mencetak peserta didik bermental tukang dalam pengertian kapitalistik. Mencetak generasi “jungklak” yang dipaksa menerima keseragaman. Masyarakat dipaksa menerima ideologi itu sebagai konsensus atas nama pembangunan teknologi-industri (one dimensional man).
Padahal, secara konseptual pendidikan berbasis masyarakat ialah pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendidikan tidak bisa dipisah dengan realitas masyarakat untuk menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan tidak mengasingkan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku pendidikan bukan objek pendidikan. Pendidikan yang ikut menyertakan masyarakat terutama dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Ringkasnya memberdayakan masyarakat untuk aktif bersama-sama dengan sekolah.
Learning Society
Tentu dalam konteks ini pendidikan berbasis masyarakat organis bersifat situasional. Maka dalam perspektif pendidikan berbasis masyarakat, sebagaimana diterangkan Watson dalam Toto Suharto (2013), landasan utamanya selain pedagogi kritis (critical pedagogy) ialah learning society. Model pendidikan learning society harus menegaskan dan memercayai kemampuan, kemandirian, keterampilan, dan pengetahuan untuk melaksanakan pendidikan di masyarakat.
Meminjam Indra Djati Sidi (2001), bahwa persoalan pendidikan seperti yang sedang berlangsung saat ini tidak hanya dimaknai secara individual pendidikan formal seperti lembaga sekolah, melainkan menjadi persoalan secara kolektif di tengah kehidupan masyarakat. “Sekolah” dalam paradigma ini tidak hanya diartikan secara formal-institusional, melainkan juga berada di mana-mana, terutama dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar.
Dengan kata lain, dalam aspek laku kehidupan manusia dapat dijadikan sebagai media dan sarana pembelajaran kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun. Ini sejalan dengan refleksi kritis Ivan Illich; pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah. Demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
Dari filosofis pendidikan berbasis masyarakat organis, kita dapat belajar satu hal yang relevan dengan keadaan pendidikan seperti sekarang ini, yaitu pendidikan sebagai proses pembelajaran tidak hanya dimaknai secara mekanistis, teknikal, dan penyeragaman layaknya aktivitas belajar di kelas-kelas sekolah. Pendidikan tidak cukup dipahami sebagai pembelajaran secara kognitif, ornamental, dan artifisial. Melainkan secara sadar dan sengaja untuk memburu pengetahuan, keterampilan, dan pandangan filosofis hidup dari siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Lihat Juga :
tulis komentar anda