Polemik Mogok Nasional
Senin, 05 Oktober 2020 - 05:44 WIB
Perlu dipahami bahwa mogok nasional jelas bukan solusi. Pemerintah melalui Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8/2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit, perlu mengambil inisiatif atas jalan tengah yang dapat diterima, baik oleh pekerja, SP/SB, maupun investor.
Mogok nasional justru akan membuat kondisi perekonomian semakin tertekan, arus investasi baru akan melambat, dan bahkan akan menimbulkan banyak PHK baru. Sebagaimana diketahui, beberapa organisasi pengusaha, seperti Apindo maupun Kadin menerbitkan edaran mengenai mogok kerja tidak sah. Dalam situasi tingginya angka PHK seperti saat ini, maka menghindari potensi PHK adalah jalan terbaik karena penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui jalur formal, seperti melalui dinas tenaga kerja maupun melalui pengadilan hubungan industrial akan tidak efektif.
Akar Masalah dan Solusi Dalam hal ini LKS Tripartit harus mengambil peranan untuk memberi masukan pada pemerintah guna menyikapi agenda mogok nasional tersebut. Jika dirunut dalam setahun terakhir sebenarnya pernyataan mogok dan demonstrasi besar-besaran sudah sering kali dilontarkan SP/SB. Terakhir kali pada saat menjelang Hari Buruh 2020. Respons pemerintah pada saat itu adalah memilih menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Jadi akar masalah dalam hal ini adalah klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja. Jika dirunut pembahasannya, salah satu tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja adalah guna menarik investor, baik di dalam maupun luar negeri. Saat ini dengan melihat kondisi perekonomian makro global yang tidak lebih baik—bahkan memburuk dalam lima tahun terakhir, dan kondisi perekonomian dalam negeri yang mengalami resesi, demikian juga dampak pandemi Covid-19 yang meluas, maka RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi untuk segera disahkan.
LKS Tripartit tingkat nasional perlu memberi masukan pada pemerintah mengenai urgensi menunda pengesahan RUU Cipta Kerja, terutama dengan meninjau kembali klaster ketenagakerjaan. Hal ini akan lebih baik dibandingkan RUU Cipta Kerja disahkan secara terburu-buru dan pada akhirnya akan diuji kembali melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Jika ini terjadi, justru dapat menimbulkan ketidakpastian yang akan menimbulkan keraguan pada investor untuk berinvestasi.
Solusi yang paling tepat adalah tidak melakukan hal-hal sifatnya konfrontatif (seperti mogok maupun demonstrasi) dengan pertimbangan stabilitas perekonomian, meskipun mogok maupun demonstrasi hal yang sah dan dilindungi undang-undang. Demikian juga tanpa adanya isu klaster ketenagakerjaan, remunerasi pekerja tidak akan mengalami penyesuaian (pengurangan). Sebaliknya, dari sisi pemerintah, dibandingkan memaksakan pengesahan RUU Cipta Kerja di tengah gencarnya penolakan, lebih baik menyalurkan insentif pada investor guna kepentingan relaksasi kondisi keuangan investor sehingga tidak timbul PHK.
Mogok nasional justru akan membuat kondisi perekonomian semakin tertekan, arus investasi baru akan melambat, dan bahkan akan menimbulkan banyak PHK baru. Sebagaimana diketahui, beberapa organisasi pengusaha, seperti Apindo maupun Kadin menerbitkan edaran mengenai mogok kerja tidak sah. Dalam situasi tingginya angka PHK seperti saat ini, maka menghindari potensi PHK adalah jalan terbaik karena penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui jalur formal, seperti melalui dinas tenaga kerja maupun melalui pengadilan hubungan industrial akan tidak efektif.
Akar Masalah dan Solusi Dalam hal ini LKS Tripartit harus mengambil peranan untuk memberi masukan pada pemerintah guna menyikapi agenda mogok nasional tersebut. Jika dirunut dalam setahun terakhir sebenarnya pernyataan mogok dan demonstrasi besar-besaran sudah sering kali dilontarkan SP/SB. Terakhir kali pada saat menjelang Hari Buruh 2020. Respons pemerintah pada saat itu adalah memilih menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Jadi akar masalah dalam hal ini adalah klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja. Jika dirunut pembahasannya, salah satu tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja adalah guna menarik investor, baik di dalam maupun luar negeri. Saat ini dengan melihat kondisi perekonomian makro global yang tidak lebih baik—bahkan memburuk dalam lima tahun terakhir, dan kondisi perekonomian dalam negeri yang mengalami resesi, demikian juga dampak pandemi Covid-19 yang meluas, maka RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi untuk segera disahkan.
LKS Tripartit tingkat nasional perlu memberi masukan pada pemerintah mengenai urgensi menunda pengesahan RUU Cipta Kerja, terutama dengan meninjau kembali klaster ketenagakerjaan. Hal ini akan lebih baik dibandingkan RUU Cipta Kerja disahkan secara terburu-buru dan pada akhirnya akan diuji kembali melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Jika ini terjadi, justru dapat menimbulkan ketidakpastian yang akan menimbulkan keraguan pada investor untuk berinvestasi.
Solusi yang paling tepat adalah tidak melakukan hal-hal sifatnya konfrontatif (seperti mogok maupun demonstrasi) dengan pertimbangan stabilitas perekonomian, meskipun mogok maupun demonstrasi hal yang sah dan dilindungi undang-undang. Demikian juga tanpa adanya isu klaster ketenagakerjaan, remunerasi pekerja tidak akan mengalami penyesuaian (pengurangan). Sebaliknya, dari sisi pemerintah, dibandingkan memaksakan pengesahan RUU Cipta Kerja di tengah gencarnya penolakan, lebih baik menyalurkan insentif pada investor guna kepentingan relaksasi kondisi keuangan investor sehingga tidak timbul PHK.
(bmm)
tulis komentar anda