Waspada Komunis Itu Positif dan Harus!
Kamis, 01 Oktober 2020 - 06:05 WIB
Sebuah gejala tentunya bukankah kesimpulan, sampai masanya bisa dibuktikan. Gejala hanya jembatan menju kepada realita. Dan Karenanya sikap yang dibangun bukanlah “konklusi” (kesimpulan). Tapi sekali lagi, lebih kepada membangun kewaspadaan.
Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di Bandara Soekarno-Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid.
Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid.
Di sinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini.
Di bawah ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa ini.
Pertama, kebanggan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka.
Yang menjadi masalah kemudian adalah keterbukaan mereka dengan kebanggan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu?
Kebanggan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu gejala atau indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada prilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai.
Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia.
Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka.
Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di Bandara Soekarno-Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid.
Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid.
Di sinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini.
Di bawah ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa ini.
Pertama, kebanggan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka.
Yang menjadi masalah kemudian adalah keterbukaan mereka dengan kebanggan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu?
Kebanggan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu gejala atau indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada prilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai.
Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia.
Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka.
Lihat Juga :
tulis komentar anda