Mencegah Korupsi di Era Covid-19
Selasa, 05 Mei 2020 - 06:15 WIB
Agar tidak adanya kebuntuan dan disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah dituntut berani untuk melakukan diskresi. Ihwal diskresi ini telah diatur oleh Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 22 UU ini menyebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
Selain itu, setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan haruslah bertujuan untuk: (a). melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; dan (c) memberikan kepastian hukum. Selanjutnya Pejabat Pemerintah yang menggunakan Diskresi sebagaimana diatur pada Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan, harus memenuhi syarat antara lain: tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance and Clean Government); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik.
Perangi Korona dan Perangi Korupsi
Perang melawan korona dan perang melawan korupsi harus tetap berjalan. Jangan sampai pandemi Covid-19 ini bak memberikan “angin segar” bagi korupsi di Indonesia. Kasus Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku, hingga persidangan terdakwa kasus penganiayaan Novel Baswedan, serta kasus-kasus lainnya harus terus berlangsung walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang terlemahkan secara struktural.
Pelemahan KPK memang amat disayangkan. Apalagi, Presiden tidak jadi melahirkan Perppu untuk menganulir UU KPK 2019. Undang-Undang KPK No 19 tahun 2019 secara eksplisit telah melemahkan KPK secara struktural di mana KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan projusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK. Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Dampaknya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2019 (versi Transparency International) masih memprihatinkan. Indonesia berada di peringkat 85 dari 186 negara dengan skor 40, seurutan dengan Burkina Faso, Lesotho, Kuwait, Guyana, dan Trinidad & Tobago.
Selain itu, setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan haruslah bertujuan untuk: (a). melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; dan (c) memberikan kepastian hukum. Selanjutnya Pejabat Pemerintah yang menggunakan Diskresi sebagaimana diatur pada Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan, harus memenuhi syarat antara lain: tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance and Clean Government); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik.
Perangi Korona dan Perangi Korupsi
Perang melawan korona dan perang melawan korupsi harus tetap berjalan. Jangan sampai pandemi Covid-19 ini bak memberikan “angin segar” bagi korupsi di Indonesia. Kasus Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku, hingga persidangan terdakwa kasus penganiayaan Novel Baswedan, serta kasus-kasus lainnya harus terus berlangsung walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang terlemahkan secara struktural.
Pelemahan KPK memang amat disayangkan. Apalagi, Presiden tidak jadi melahirkan Perppu untuk menganulir UU KPK 2019. Undang-Undang KPK No 19 tahun 2019 secara eksplisit telah melemahkan KPK secara struktural di mana KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan projusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK. Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Dampaknya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2019 (versi Transparency International) masih memprihatinkan. Indonesia berada di peringkat 85 dari 186 negara dengan skor 40, seurutan dengan Burkina Faso, Lesotho, Kuwait, Guyana, dan Trinidad & Tobago.
tulis komentar anda