Mencegah Korupsi di Era Covid-19

Selasa, 05 Mei 2020 - 06:15 WIB
loading...
Mencegah Korupsi di Era Covid-19
Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Peneliti Antikorupsi. Foto: Ist
A A A
Heru Susetyo

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Peneliti Antikorupsi

VIRUS korona baru alias Covid-19 adalah musibah akbar seluruh umat manusia saat ini, tak terkecuali di Indonesia. Namun, bagi sebagian koruptor atau calon koruptor di Indonesia, Covid-19 bak “angin segar”.

Ketika perhatian dan trending topics seluruh dunia (termasuk di Indonesia) terpusat ke korona, korona, dan coran, disadari atau tidak, publik mulai lupa dengan kasus-kasus terkait korupsi di negeri ini. Apakah kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, kasus dugaan penyuapan Harun Masiku terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan (WS), dan peradilan tersangka kasus penyerangan Novel Baswedan.

Dalam kasus Jiwasraya, BPK menyebutkan bahwa total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun. Terdiri atas kerugian negara (akibat) investasi saham Rp4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi di reksadana Rp12,16 triliun.

Adapun total nilai aset yang disita dari para tersangka Jiwasraya baru menyentuh Rp13,1 triliun. Aset yang disita berupa tanah, bangunan, saham, kendaraan, dan perhiasan. Enam tersangka sudah ditetapkan Kejaksaan Agung, yang terdiri atas para direktur dan komisaris PT maupun pejabat-pejabat PT Asuransi Jiwasraya.

Dalam kasus PT Asabri, BPK menaksir kerugian negara bisa mencapai Rp16 triliun. Dalam audit BPK, Asabri kedapatan membeli saham bodong senilai Rp802 miliar. Perseroan juga tercatat membeli dua saham gorengan, yakni milik PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) senilai Rp203,9 miliar dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI) sebesar Rp452 miliar.

Ada juga pelepasan 12 saham non-blue chip senilai Rp1,062 triliun, sebelumnya dibeli dengan harga Rp987 miliar ke reksadana afiliasi yang diduga bertujuan mengerek keuntungan akhir tahun.

Selain itu, BPK menyoroti pembelian ribuan kaveling tanpa sertifikat
senilai Rp732 miliar. Sementara itu, kasus penyuapan WS anggota KPU oleh tersangka Harun Masiku dan Saeful Bahri, orang suruhannya, sudah sampai proses persidangan. Saeful didakwa menyuap WS Rp600 juta terkait pergantian antarwaktu caleg PDIP, Harun Masiku. Uniknya, sampai tulisan ini dibuat, Harun Masiku tetap raib. Sudah tiga bulan sejak anggota KPU WS dan tujuh lainnya ditangkap pada pekan pertama Januari 2020, Harun Masiku masih tetap raib.

Kemudian, lahirnya Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 membuat para pegiat antikorupsi menjadi waswas. Kemunculan Perppu ini amat wajar dan penting sebagai strategi keuangan negara untuk menangani pandemi Covid-19. Namun, ada satu pasal yang mengkhawatirkan, yaitu Pasal 27 (angka 1, 2, dan 3) yang menyebutkan bahwa segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara.

Pasal 27 Ayat 2 menyebutkan bahwa semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum (secara pidana maupun perdata). Kemudian, Pasal 27 ayat 3 mengatur, semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu No 1/2020 bukan merupakan objek gugatan di PTUN.

Perppu ini dinilai memberikan kekebalan hukum bagi pejabat pengguna anggaran. Apalagi, pejabat-pejabat tersebut tak dapat digugat perdata ataupun di proses pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan
pada iktikad baik. Dan, telah ada beberapa kelompok yang mengajukan uji materi terhadap Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi RI.

Mencegah Potensi Korupsi

Demi memuluskan perang melawan Covid-19 dan sekaligus mencegah potensi terjadinya korupsi, pemerintah harus dapat menjamin bahwa Perppu No 1/2020 ini benar-benar dikeluarkan karena suasana genting dan kebutuhan mendesak, yaitu timbulnya pandemi yang disebabkan oleh Covid-19. Di mana diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Maka, diperlukan pemberian kewenangan bagi pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara.

APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.

Sementara itu, Azsmar Halim (2020) menyebutkan bahwa di masa pandemi seperti saat ini, negara tetap dituntut bergerak cepat. Jangan sampai tidak adanya dasar peraturan perundang-undangan membuat pemerintah menjadi tidak dapat melaksanakan aktivitasnya.

Agar tidak adanya kebuntuan dan disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah dituntut berani untuk melakukan diskresi. Ihwal diskresi ini telah diatur oleh Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 22 UU ini menyebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

Selain itu, setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan haruslah bertujuan untuk: (a). melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; dan (c) memberikan kepastian hukum. Selanjutnya Pejabat Pemerintah yang menggunakan Diskresi sebagaimana diatur pada Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan, harus memenuhi syarat antara lain: tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance and Clean Government); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik.

Perangi Korona dan Perangi Korupsi

Perang melawan korona dan perang melawan korupsi harus tetap berjalan. Jangan sampai pandemi Covid-19 ini bak memberikan “angin segar” bagi korupsi di Indonesia. Kasus Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku, hingga persidangan terdakwa kasus penganiayaan Novel Baswedan, serta kasus-kasus lainnya harus terus berlangsung walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang terlemahkan secara struktural.

Pelemahan KPK memang amat disayangkan. Apalagi, Presiden tidak jadi melahirkan Perppu untuk menganulir UU KPK 2019. Undang-Undang KPK No 19 tahun 2019 secara eksplisit telah melemahkan KPK secara struktural di mana KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara.

Selanjutnya bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan projusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK. Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dampaknya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2019 (versi Transparency International) masih memprihatinkan. Indonesia berada di peringkat 85 dari 186 negara dengan skor 40, seurutan dengan Burkina Faso, Lesotho, Kuwait, Guyana, dan Trinidad & Tobago.

Di Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura (10 besar dunia) dan Malaysia (di urutan ke-51).

Parahnya, menurut KPK, antara 2014-2019 institusi paling banyak melakukan korupsi justru adalah DPR dan DPRD (255 anggota), lalu eksekutif di pemerintahan (203 orang), kepala daerah (108 tersangka), menteri/ kepala lembaga negara (27 tersangka). Berikutnya, hakim sebanyak 22 tersangka, 7 jaksa dan komisioner, 11 advokat, 6 korporasi, 4 Duta Besar, dan 2 tersangka polisi.

Di luar institusi publik, pihak swasta sendiri adalah pelaku korupsi terbanyak dengan jumlah 372 tersangka dalam lima tahun. Maka, jangan beri angin segar pada korupsi. Tetaplah memerangi korona seraya memerangi korupsi. Lembaga seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian harus kembali diperkuat ekosistemnya dalam perang melawan korupsi.

Penyelenggara Negara dan swasta juga jangan memancing di air keruh dari anggaran penanggulangan Covid-19. Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Juga integritas dan kejujuran harus dibangun di semua institusi, termasuk dari rumah, keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, di sekolah, kampus, hingga badan-badan pemerintah maupun swasta. Asas-asas umum pemerintahan yang baik dan prinsip-prinsip good governance and clean government wajib menjadi pegangan.

Selandia Baru (New Zealand) dan Denmark bisa bergantian menduduki posisi puncak negara paling bersih dari korupsi di dunia (versi Transparency International) dengan menerapkan budaya antikorupsi dan toleransi nol terhadap korupsi. Padahal, di kedua negara tersebut tak ada lembaga serupa KPK. Di sana, transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Semua institusi sudah memiliki “KPK-nya” sendiri.

Sistemnya sudah terinternalisasi secara pribadi kepada warga negara maupun secara kelembagaan. Setiap lembaga adalah “KPK”. Setiap orang adalah “KPK.”

Sekali lagi, jangan beri angin segar pada korupsi. Cukuplah korona membuat kita menderita secara kolektif, jangan tambah penderitaan kita dengan korupsi. Bersama kita melawan korona, bersama kita melawan korupsi.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1327 seconds (0.1#10.140)