Bahaya Pilkada
Selasa, 22 September 2020 - 05:58 WIB
Dosen Universitas Padjadjaran (Unpad) itu menerangkan bahwa pemerintah harus berani menurunkan aparat keamanan untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan dalam pilkada. Apalagi, kemarin Kapolri Jenderal Idham Azis telah mengeluarkan maklumat tentang kepatuhan terhadap protokol kesehatan dalam pilkada. (Baca juga: Inggris Mengaku Menghadapi Titik kritis Pandemi Covid-19)
Idil juga meminta KPU untuk menghilangkan ketentuan yang memperbolehkan konser musik, meski penyelenggara beralasan hal tersebut diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada. Izin konser musik dengan peserta 100 orang ini menuai kritik banyak pihak. “Kampanye yang mendatangkan massa dianulir, enggak usah dilakukan. Tidak ada masalah pelanggaran UU karena ada prinsip kedaruratan,” tegasnya.
Penundaan Jadi Solusi
Di berbagai negara, penundaan pemilu menjadi alternatif solusi saat pandemi corona. Hal itu dilakukan karena pemerintah tidak ingin menjadikan pemilu justru ajang untuk penularan virus corona. Dalam catatan International Foundation for Electoral System (IFES), sedikitnya ada 111 pemilu berskala nasional dan lokal yang ditunda di 65 negara dan delapan teritorial. Penundaan tersebut berkaitan dengan pandemi corona yang masih mewabah dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Direktur IFES Erica Shein merekomendasikan kepada pemegang kebijakan untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan semua pihak mengenai perubahan atau ketetapan jadwal pemilu. "Perlunya tanggal baru untuk penundaan pemilu," katanya. Dia juga menyarankan perlunya mempertimbangkan biaya, kapasitas, dan organisasi yang mengatur pemilu. (Baca juga: OPM Sudah Kelewatan, Penggunaan Operasi Militer Dinilai Mendesak)
Selandia Baru merupakan salah satu negara yang memilih menunda pelaksanaan pemilu selama satu bulan. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memutuskan menunda pemilu negara tersebut, setelah ada peningkatan kasus infeksi Covid-19. Pemilu Selandia Baru ditunda selama satu bulan dan akan digelar 17 Oktober mendatang dari jadwal sebelumnya pada 19 September.
Dia mengabaikan penundaan pemungutan suara lebih jauh, karena Partai Buruh yang dipimpinnya mempertahankan keunggulan kuat atas Partai Nasional yang konservatif dalam jajak pendapat. "Kita semua satu perahu. Kita semua berkampanye di lingkungan yang sama," ungkapnya, dilansir Reuters.
Selain Selandia Baru, negara yang memilih menunda pemilu nasional saat pandemi adalah Bangladesh dan Papua Nugini. Mayoritas pemerintah di berbagai negara memilih penundaan pemilu lokal skala gubernur dan wali kota, seperti Tunisia, Inggris, Swiss, Rumania.
Namun demikian, dalam kajian Council on Foreign Relatin (CFR), juga disebutkan bahwa banyak negara lain seperti Burundi, Prancis, dan Korea Selatan (Korsel) memilih untuk terus menggelar pemilu. "Korsel dipuji banyak pihak karena melaksanakan pemilu dengan baik dengan segala persiapan dan pencegahan penularan terbaik," kata Lindsay Maizland, peneliti CFR. Hal berbeda dengan Belarusia yang juga tetap melaksanakan pemilu, tetapi justru kasus corona di negara tersebut mengalami peningkatan. (Baca juga: Soal Aturan Gowes, Daerah Lain Diminta Contoh Anies)
Penyelenggara Diminta Jawab Keraguan
Idil juga meminta KPU untuk menghilangkan ketentuan yang memperbolehkan konser musik, meski penyelenggara beralasan hal tersebut diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada. Izin konser musik dengan peserta 100 orang ini menuai kritik banyak pihak. “Kampanye yang mendatangkan massa dianulir, enggak usah dilakukan. Tidak ada masalah pelanggaran UU karena ada prinsip kedaruratan,” tegasnya.
Penundaan Jadi Solusi
Di berbagai negara, penundaan pemilu menjadi alternatif solusi saat pandemi corona. Hal itu dilakukan karena pemerintah tidak ingin menjadikan pemilu justru ajang untuk penularan virus corona. Dalam catatan International Foundation for Electoral System (IFES), sedikitnya ada 111 pemilu berskala nasional dan lokal yang ditunda di 65 negara dan delapan teritorial. Penundaan tersebut berkaitan dengan pandemi corona yang masih mewabah dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Direktur IFES Erica Shein merekomendasikan kepada pemegang kebijakan untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan semua pihak mengenai perubahan atau ketetapan jadwal pemilu. "Perlunya tanggal baru untuk penundaan pemilu," katanya. Dia juga menyarankan perlunya mempertimbangkan biaya, kapasitas, dan organisasi yang mengatur pemilu. (Baca juga: OPM Sudah Kelewatan, Penggunaan Operasi Militer Dinilai Mendesak)
Selandia Baru merupakan salah satu negara yang memilih menunda pelaksanaan pemilu selama satu bulan. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memutuskan menunda pemilu negara tersebut, setelah ada peningkatan kasus infeksi Covid-19. Pemilu Selandia Baru ditunda selama satu bulan dan akan digelar 17 Oktober mendatang dari jadwal sebelumnya pada 19 September.
Dia mengabaikan penundaan pemungutan suara lebih jauh, karena Partai Buruh yang dipimpinnya mempertahankan keunggulan kuat atas Partai Nasional yang konservatif dalam jajak pendapat. "Kita semua satu perahu. Kita semua berkampanye di lingkungan yang sama," ungkapnya, dilansir Reuters.
Selain Selandia Baru, negara yang memilih menunda pemilu nasional saat pandemi adalah Bangladesh dan Papua Nugini. Mayoritas pemerintah di berbagai negara memilih penundaan pemilu lokal skala gubernur dan wali kota, seperti Tunisia, Inggris, Swiss, Rumania.
Namun demikian, dalam kajian Council on Foreign Relatin (CFR), juga disebutkan bahwa banyak negara lain seperti Burundi, Prancis, dan Korea Selatan (Korsel) memilih untuk terus menggelar pemilu. "Korsel dipuji banyak pihak karena melaksanakan pemilu dengan baik dengan segala persiapan dan pencegahan penularan terbaik," kata Lindsay Maizland, peneliti CFR. Hal berbeda dengan Belarusia yang juga tetap melaksanakan pemilu, tetapi justru kasus corona di negara tersebut mengalami peningkatan. (Baca juga: Soal Aturan Gowes, Daerah Lain Diminta Contoh Anies)
Penyelenggara Diminta Jawab Keraguan
Lihat Juga :
tulis komentar anda