Sengkarut Justice Collaborator
Sabtu, 12 September 2020 - 09:02 WIB
Kurnia membeberkan fakta tidak adanya kesamaan pandangan antara jaksa dan hakim baik di tingkat pengadilan pertama, banding, maupun kasasi atau peninjauan kembali. Contoh ini bisa dilihat dengan terang pada dua terpidana perkara korupsi proyek e-KTP, yakni Irman dan Sugiharto. KPK memberikan dan menetapkan status JC untuk Irman dan Sugiharto, tapi majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus menolak JC tersebut.
ICW menyodorkan dua solusi untuk mengatasi berbagai keruwetan ini. Pertama, para penegak hukum, termasuk hakim serta Dirjen Pemasyarakatan harus menjadikan UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai rujukan utama untuk status JC.
Ketika ada tersangka atau terdakwa mengajukan diri, penegak hukum harus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Begitu juga ketika Kemenkumham ingin memberikan remisi atau CMB atau PB, maka seharusnya Kemenkumham berkoordinasi juga dengan LPSK. "Jadi, tidak ada standar ganda. Yang satu menganggap JC, yang lain tidak. Jadi di sini memang peran LPSK diperkuat," papar Kurnia. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Kedua, para penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun Mahkamah Agung (MA) dan LPSK harus duduk bersama guna menyatukan pandangan sehubungan dengan JC dan memperjelas indikator siapa yang bisa disebut pelaku utama atau bukan. Apalagi, kata Kurnia, JPU acap kali berbeda dengan hakim dalam memaknai dan mengimplementasikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi menegaskan, publik dihadapkan dan dipertontonkan perlakuan atau sikap yang berbeda dari penegak hukum terhadap tersangka, terdakwa, atau terpidana dalam pemberian status JC. Ada yang diberikan, tapi menimbulkan kecurigaan bahwa pemberian tersebut didasari kepentingan lain atau dugaan iming-iming di luar kepentingan hukum. “Sebenarnya gagasan JC dalam Undang-Undang Nomor 31/2014 adalah lembaga yang secara objektif menilai apakah seseorang itu layak atau tidak menjadi saksi pelaku," ucapnya.
Edwin membeberkan, dalam praktiknya para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, serta hakim yang mengadili perkara, hanya berpijak pada SEMA Nomor 4/2011. Padahal, SEMA itu dalam rangka mengisi kekosongan hukum saat itu. Di lain sisi, di dalam UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya ada satu ayat di Pasal 10 terkait saksi sekaligus pelaku yang bisa diberikan keringanan hukuman.
"Undang-Undang Nomor 31/2014 yang terbaru itu produk negara, produk DPR dan pemerintah. Tunduklah pada undang-undang itu. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan kepada publik bahwa aparat penegak hukum maupun Kemenkumham tidak memiliki kepentingan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa atau narapidana," katanya. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Edwin menunjukkan, ada perkara yang cukup memprihatinkan yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, terkait korupsi pembangunan revitalisasi Pasar Manggisan. Dalam perkara ini, empat orang menjadi terdakwa di Kejari Jember. Satu di antaranya Muhammad Fariz Nurhidayat. Fariz telah bersikap kooperatif kepada penegak hukum dengan membuka secara gamblang perkara tersebut: siapa saja pelaku lain, termasuk pelaku utama dan mengakui kesalahannya.
Sikap kooperatif Fariz pun sesuai dengan penilaian Pansus Angket DPRD Kabupaten Jember setelah Pansus bertemu dan mengonfirmasi sejumlah hal ke Fariz. Edwin mengatakan, Fariz juga telah mengajukan diri sebagai JC dan meminta perlindungan ke LPSK. LPSK telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan telaah serta memutuskan pada 13 April 2020 bahwa Fariz adalah JC dan layak dilindungi. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
"Uniknya jaksa tidak mau menetapkan Fariz sebagai JC, meskipun LPSK sudah menyatakannya sebagai JC. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31/2014, rekomendasi LPSK itu harus dimasukkan jaksa dalam surat tuntutannya, tapi tidak dimasukkan oleh jaksa. Jadi, bagaimana kita bicara penegakan hukum sementara penegak hukum kita enggak merujuk pada hukum?," keluhnya.
ICW menyodorkan dua solusi untuk mengatasi berbagai keruwetan ini. Pertama, para penegak hukum, termasuk hakim serta Dirjen Pemasyarakatan harus menjadikan UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai rujukan utama untuk status JC.
Ketika ada tersangka atau terdakwa mengajukan diri, penegak hukum harus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Begitu juga ketika Kemenkumham ingin memberikan remisi atau CMB atau PB, maka seharusnya Kemenkumham berkoordinasi juga dengan LPSK. "Jadi, tidak ada standar ganda. Yang satu menganggap JC, yang lain tidak. Jadi di sini memang peran LPSK diperkuat," papar Kurnia. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Kedua, para penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun Mahkamah Agung (MA) dan LPSK harus duduk bersama guna menyatukan pandangan sehubungan dengan JC dan memperjelas indikator siapa yang bisa disebut pelaku utama atau bukan. Apalagi, kata Kurnia, JPU acap kali berbeda dengan hakim dalam memaknai dan mengimplementasikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi menegaskan, publik dihadapkan dan dipertontonkan perlakuan atau sikap yang berbeda dari penegak hukum terhadap tersangka, terdakwa, atau terpidana dalam pemberian status JC. Ada yang diberikan, tapi menimbulkan kecurigaan bahwa pemberian tersebut didasari kepentingan lain atau dugaan iming-iming di luar kepentingan hukum. “Sebenarnya gagasan JC dalam Undang-Undang Nomor 31/2014 adalah lembaga yang secara objektif menilai apakah seseorang itu layak atau tidak menjadi saksi pelaku," ucapnya.
Edwin membeberkan, dalam praktiknya para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, serta hakim yang mengadili perkara, hanya berpijak pada SEMA Nomor 4/2011. Padahal, SEMA itu dalam rangka mengisi kekosongan hukum saat itu. Di lain sisi, di dalam UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya ada satu ayat di Pasal 10 terkait saksi sekaligus pelaku yang bisa diberikan keringanan hukuman.
"Undang-Undang Nomor 31/2014 yang terbaru itu produk negara, produk DPR dan pemerintah. Tunduklah pada undang-undang itu. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan kepada publik bahwa aparat penegak hukum maupun Kemenkumham tidak memiliki kepentingan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa atau narapidana," katanya. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Edwin menunjukkan, ada perkara yang cukup memprihatinkan yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, terkait korupsi pembangunan revitalisasi Pasar Manggisan. Dalam perkara ini, empat orang menjadi terdakwa di Kejari Jember. Satu di antaranya Muhammad Fariz Nurhidayat. Fariz telah bersikap kooperatif kepada penegak hukum dengan membuka secara gamblang perkara tersebut: siapa saja pelaku lain, termasuk pelaku utama dan mengakui kesalahannya.
Sikap kooperatif Fariz pun sesuai dengan penilaian Pansus Angket DPRD Kabupaten Jember setelah Pansus bertemu dan mengonfirmasi sejumlah hal ke Fariz. Edwin mengatakan, Fariz juga telah mengajukan diri sebagai JC dan meminta perlindungan ke LPSK. LPSK telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan telaah serta memutuskan pada 13 April 2020 bahwa Fariz adalah JC dan layak dilindungi. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
"Uniknya jaksa tidak mau menetapkan Fariz sebagai JC, meskipun LPSK sudah menyatakannya sebagai JC. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31/2014, rekomendasi LPSK itu harus dimasukkan jaksa dalam surat tuntutannya, tapi tidak dimasukkan oleh jaksa. Jadi, bagaimana kita bicara penegakan hukum sementara penegak hukum kita enggak merujuk pada hukum?," keluhnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda