Sengkarut Justice Collaborator
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sengkarut seorang pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator (JC) menyeruak di ruang publik. Dua kejadian teranyar menjadi perhatian khalayak. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) , dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) keukeuh memberikan remisi hingga berujung bebasnya dua narapidana, meski alasannya masih bias.
Bahkan penegak hukum yang menangani perkara satu narapidana memastikan tidak pernah memberikan status JC agar narapidana itu dengan singkat bisa bebas. Di sisi lain, perbedaan penafsiran antara penuntut umum dan hakim atas status seseorang menjadi JC masih menjadi persoalan pelik. (Baca: Sektor Transportasi Darat Masih Meraba PSBB Total ala gubernur Anies)
Dua kejadian tersebut yakni mantan terpidana mantan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP (purnawirawan) Raden Brotoseno akan bebas murni pada 29 September 2020, setelah sebelumnya menerima remisi serta pembebasan bersyarat (PB) sejak 15 Februari lalu. Dirjen Pemasyarakatan menyebutkan pemberian remisi 13 bulan 25 hari serta PB kepada Brotoseno karena Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) telah menetapkan status JC.
Kemudian pemilik Permai Group sekaligus mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin alias Nazar bebas murni pada 13 Agustus 2020, setelah sebelumnya menerima remisi 4 tahun 1 bulan serta cuti menjelang bebas (CMB) pada 14 Juni. Dirjen Pas menyebutkan remisi serta CMB bagi Nazar diberikan karena yang bersangkutan telah mendapatkan status JC.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani beberapa perkara Nazar sebelumnya memastikan tidak pernah menerbitkan surat keputusan penetapan status Nazar sebagai JC dalam kasus atau perkara apa pun. KPK hanya menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk Nazar. Surat keterangan diterbitkan KPK karena Nazar sejak proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan telah mengungkap sejumlah perkara lain dan telah membayar lunas pidana denda ke kas negara terkait perkaranya. (Baca juga: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak Berebut Jihad di Perang Badar)
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai JC masih menyisakan banyak masalah, baik saat proses penyidikan dan pengadilan maupun saat seseorang menjadi terpidana yang kemudian mendapatkan remisi, CMB, dan PB. Menurut dia, masalah tersebut bermuara pada tidak adanya definisi yang terang dan indikator jelas seseorang disebut pelaku utama dan bukan pelaku utama. "Jadi, banyak penafsiran dari penegak hukum yang terkesan subjektif tanpa bisa diperjelas," ungkapnya.
Contoh riil, kata Kurnia, mantan terpidana Raden Brotoseno. Kejari Jaksel tiba-tiba memberikan status JC, padahal dia tidak membuka peran pihak lain dan Brotoseno terbukti sebagai penerima suap langsung. Di tahap persidangan, jaksa juga tidak menetapkan status JC serta majelis hakim tidak menyebutkan dalam putusan dan pertimbangannya tentang posisi JC Brotoseno.
Bagi dia, status JC seseorang lebih baik ditentukan oleh majelis hakim berdasarkan tuntutan penuntut umum. Jadi, harusnya tidak ada lagi status JC diberikan kepada seorang terpidana. Musababnya, batas waktu seseorang untuk kooperatif dan membuka kasus atau perkara ada di fase penyidikan dan di persidangan.
"Lembaga Pemasyarakatan tinggal baca saja putusannya ada atau tidak status JC. Kalau putusan hakimnya tidak disebutkan sebagai JC, ya sudah, berarti selama dia menjalani masa tahanan tidak ada pemberian remisi yang mengakibatkan adanya pembebasan bersyarat," ujarnya. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Kurnia membeberkan fakta tidak adanya kesamaan pandangan antara jaksa dan hakim baik di tingkat pengadilan pertama, banding, maupun kasasi atau peninjauan kembali. Contoh ini bisa dilihat dengan terang pada dua terpidana perkara korupsi proyek e-KTP, yakni Irman dan Sugiharto. KPK memberikan dan menetapkan status JC untuk Irman dan Sugiharto, tapi majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus menolak JC tersebut.
ICW menyodorkan dua solusi untuk mengatasi berbagai keruwetan ini. Pertama, para penegak hukum, termasuk hakim serta Dirjen Pemasyarakatan harus menjadikan UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai rujukan utama untuk status JC.
Ketika ada tersangka atau terdakwa mengajukan diri, penegak hukum harus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Begitu juga ketika Kemenkumham ingin memberikan remisi atau CMB atau PB, maka seharusnya Kemenkumham berkoordinasi juga dengan LPSK. "Jadi, tidak ada standar ganda. Yang satu menganggap JC, yang lain tidak. Jadi di sini memang peran LPSK diperkuat," papar Kurnia. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Kedua, para penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun Mahkamah Agung (MA) dan LPSK harus duduk bersama guna menyatukan pandangan sehubungan dengan JC dan memperjelas indikator siapa yang bisa disebut pelaku utama atau bukan. Apalagi, kata Kurnia, JPU acap kali berbeda dengan hakim dalam memaknai dan mengimplementasikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi menegaskan, publik dihadapkan dan dipertontonkan perlakuan atau sikap yang berbeda dari penegak hukum terhadap tersangka, terdakwa, atau terpidana dalam pemberian status JC. Ada yang diberikan, tapi menimbulkan kecurigaan bahwa pemberian tersebut didasari kepentingan lain atau dugaan iming-iming di luar kepentingan hukum. “Sebenarnya gagasan JC dalam Undang-Undang Nomor 31/2014 adalah lembaga yang secara objektif menilai apakah seseorang itu layak atau tidak menjadi saksi pelaku," ucapnya.
Edwin membeberkan, dalam praktiknya para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, serta hakim yang mengadili perkara, hanya berpijak pada SEMA Nomor 4/2011. Padahal, SEMA itu dalam rangka mengisi kekosongan hukum saat itu. Di lain sisi, di dalam UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya ada satu ayat di Pasal 10 terkait saksi sekaligus pelaku yang bisa diberikan keringanan hukuman.
"Undang-Undang Nomor 31/2014 yang terbaru itu produk negara, produk DPR dan pemerintah. Tunduklah pada undang-undang itu. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan kepada publik bahwa aparat penegak hukum maupun Kemenkumham tidak memiliki kepentingan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa atau narapidana," katanya. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Edwin menunjukkan, ada perkara yang cukup memprihatinkan yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, terkait korupsi pembangunan revitalisasi Pasar Manggisan. Dalam perkara ini, empat orang menjadi terdakwa di Kejari Jember. Satu di antaranya Muhammad Fariz Nurhidayat. Fariz telah bersikap kooperatif kepada penegak hukum dengan membuka secara gamblang perkara tersebut: siapa saja pelaku lain, termasuk pelaku utama dan mengakui kesalahannya.
Sikap kooperatif Fariz pun sesuai dengan penilaian Pansus Angket DPRD Kabupaten Jember setelah Pansus bertemu dan mengonfirmasi sejumlah hal ke Fariz. Edwin mengatakan, Fariz juga telah mengajukan diri sebagai JC dan meminta perlindungan ke LPSK. LPSK telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan telaah serta memutuskan pada 13 April 2020 bahwa Fariz adalah JC dan layak dilindungi. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
"Uniknya jaksa tidak mau menetapkan Fariz sebagai JC, meskipun LPSK sudah menyatakannya sebagai JC. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31/2014, rekomendasi LPSK itu harus dimasukkan jaksa dalam surat tuntutannya, tapi tidak dimasukkan oleh jaksa. Jadi, bagaimana kita bicara penegakan hukum sementara penegak hukum kita enggak merujuk pada hukum?," keluhnya.
Edwin menambahkan, saat ini Kemenkumham sedang merumuskan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang JC. Draf tersebut disusun karena sebelumnya ada amanat Presiden Joko Widodo agar ada perpres yang lebih spesifik dan rinci terkait JC. Saat penyusunan rancangan itu, kata Edwin, Kemenkumham juga melibatkan LPSK.
"Menurut saya, perpres tentang JC ini salah satu peluang agar semua pihak, khususnya aparat penegak hukum, lebih patuh terhadap apa yang ada di undang-undang," ucap Edwin. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Motor Nekat kabur)
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan, prinsip pemberian status JC ada dua. Pertama, ketika sejak awal seseorang yang dinyatakan tersangka, maka secara saksama diteliti dan dianalisa oleh penegak hukum atas peran perbuatannya apakah memiliki peran aktif maupun pasif. Kedua, komitmen serta konsistensi dari keterangan tersangka/terdakwa untuk membuka adanya peran dari pelaku utama.
"Supaya ada kesamaan persepsi, semestinya penegak hukum dari hulu ke hilir mesti duduk bareng bahas bersama soal JC ini. Dari mulai penyidik, penuntut, hakim, Kumham dan LPSK. Sehingga ada pemahaman yang sama soal kriteria dan konsekuensi pemberian status JC ini," ujar Ali. (Sabir Laluhu)
Bahkan penegak hukum yang menangani perkara satu narapidana memastikan tidak pernah memberikan status JC agar narapidana itu dengan singkat bisa bebas. Di sisi lain, perbedaan penafsiran antara penuntut umum dan hakim atas status seseorang menjadi JC masih menjadi persoalan pelik. (Baca: Sektor Transportasi Darat Masih Meraba PSBB Total ala gubernur Anies)
Dua kejadian tersebut yakni mantan terpidana mantan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP (purnawirawan) Raden Brotoseno akan bebas murni pada 29 September 2020, setelah sebelumnya menerima remisi serta pembebasan bersyarat (PB) sejak 15 Februari lalu. Dirjen Pemasyarakatan menyebutkan pemberian remisi 13 bulan 25 hari serta PB kepada Brotoseno karena Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) telah menetapkan status JC.
Kemudian pemilik Permai Group sekaligus mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin alias Nazar bebas murni pada 13 Agustus 2020, setelah sebelumnya menerima remisi 4 tahun 1 bulan serta cuti menjelang bebas (CMB) pada 14 Juni. Dirjen Pas menyebutkan remisi serta CMB bagi Nazar diberikan karena yang bersangkutan telah mendapatkan status JC.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani beberapa perkara Nazar sebelumnya memastikan tidak pernah menerbitkan surat keputusan penetapan status Nazar sebagai JC dalam kasus atau perkara apa pun. KPK hanya menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk Nazar. Surat keterangan diterbitkan KPK karena Nazar sejak proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan telah mengungkap sejumlah perkara lain dan telah membayar lunas pidana denda ke kas negara terkait perkaranya. (Baca juga: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak Berebut Jihad di Perang Badar)
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai JC masih menyisakan banyak masalah, baik saat proses penyidikan dan pengadilan maupun saat seseorang menjadi terpidana yang kemudian mendapatkan remisi, CMB, dan PB. Menurut dia, masalah tersebut bermuara pada tidak adanya definisi yang terang dan indikator jelas seseorang disebut pelaku utama dan bukan pelaku utama. "Jadi, banyak penafsiran dari penegak hukum yang terkesan subjektif tanpa bisa diperjelas," ungkapnya.
Contoh riil, kata Kurnia, mantan terpidana Raden Brotoseno. Kejari Jaksel tiba-tiba memberikan status JC, padahal dia tidak membuka peran pihak lain dan Brotoseno terbukti sebagai penerima suap langsung. Di tahap persidangan, jaksa juga tidak menetapkan status JC serta majelis hakim tidak menyebutkan dalam putusan dan pertimbangannya tentang posisi JC Brotoseno.
Bagi dia, status JC seseorang lebih baik ditentukan oleh majelis hakim berdasarkan tuntutan penuntut umum. Jadi, harusnya tidak ada lagi status JC diberikan kepada seorang terpidana. Musababnya, batas waktu seseorang untuk kooperatif dan membuka kasus atau perkara ada di fase penyidikan dan di persidangan.
"Lembaga Pemasyarakatan tinggal baca saja putusannya ada atau tidak status JC. Kalau putusan hakimnya tidak disebutkan sebagai JC, ya sudah, berarti selama dia menjalani masa tahanan tidak ada pemberian remisi yang mengakibatkan adanya pembebasan bersyarat," ujarnya. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Kurnia membeberkan fakta tidak adanya kesamaan pandangan antara jaksa dan hakim baik di tingkat pengadilan pertama, banding, maupun kasasi atau peninjauan kembali. Contoh ini bisa dilihat dengan terang pada dua terpidana perkara korupsi proyek e-KTP, yakni Irman dan Sugiharto. KPK memberikan dan menetapkan status JC untuk Irman dan Sugiharto, tapi majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus menolak JC tersebut.
ICW menyodorkan dua solusi untuk mengatasi berbagai keruwetan ini. Pertama, para penegak hukum, termasuk hakim serta Dirjen Pemasyarakatan harus menjadikan UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai rujukan utama untuk status JC.
Ketika ada tersangka atau terdakwa mengajukan diri, penegak hukum harus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Begitu juga ketika Kemenkumham ingin memberikan remisi atau CMB atau PB, maka seharusnya Kemenkumham berkoordinasi juga dengan LPSK. "Jadi, tidak ada standar ganda. Yang satu menganggap JC, yang lain tidak. Jadi di sini memang peran LPSK diperkuat," papar Kurnia. (Baca juga: Bela Yunani, Uni Eropa Siap Keroyok Turki dengan Sanksi)
Kedua, para penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun Mahkamah Agung (MA) dan LPSK harus duduk bersama guna menyatukan pandangan sehubungan dengan JC dan memperjelas indikator siapa yang bisa disebut pelaku utama atau bukan. Apalagi, kata Kurnia, JPU acap kali berbeda dengan hakim dalam memaknai dan mengimplementasikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi menegaskan, publik dihadapkan dan dipertontonkan perlakuan atau sikap yang berbeda dari penegak hukum terhadap tersangka, terdakwa, atau terpidana dalam pemberian status JC. Ada yang diberikan, tapi menimbulkan kecurigaan bahwa pemberian tersebut didasari kepentingan lain atau dugaan iming-iming di luar kepentingan hukum. “Sebenarnya gagasan JC dalam Undang-Undang Nomor 31/2014 adalah lembaga yang secara objektif menilai apakah seseorang itu layak atau tidak menjadi saksi pelaku," ucapnya.
Edwin membeberkan, dalam praktiknya para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, serta hakim yang mengadili perkara, hanya berpijak pada SEMA Nomor 4/2011. Padahal, SEMA itu dalam rangka mengisi kekosongan hukum saat itu. Di lain sisi, di dalam UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya ada satu ayat di Pasal 10 terkait saksi sekaligus pelaku yang bisa diberikan keringanan hukuman.
"Undang-Undang Nomor 31/2014 yang terbaru itu produk negara, produk DPR dan pemerintah. Tunduklah pada undang-undang itu. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan kepada publik bahwa aparat penegak hukum maupun Kemenkumham tidak memiliki kepentingan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa atau narapidana," katanya. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Edwin menunjukkan, ada perkara yang cukup memprihatinkan yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, terkait korupsi pembangunan revitalisasi Pasar Manggisan. Dalam perkara ini, empat orang menjadi terdakwa di Kejari Jember. Satu di antaranya Muhammad Fariz Nurhidayat. Fariz telah bersikap kooperatif kepada penegak hukum dengan membuka secara gamblang perkara tersebut: siapa saja pelaku lain, termasuk pelaku utama dan mengakui kesalahannya.
Sikap kooperatif Fariz pun sesuai dengan penilaian Pansus Angket DPRD Kabupaten Jember setelah Pansus bertemu dan mengonfirmasi sejumlah hal ke Fariz. Edwin mengatakan, Fariz juga telah mengajukan diri sebagai JC dan meminta perlindungan ke LPSK. LPSK telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan telaah serta memutuskan pada 13 April 2020 bahwa Fariz adalah JC dan layak dilindungi. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)
"Uniknya jaksa tidak mau menetapkan Fariz sebagai JC, meskipun LPSK sudah menyatakannya sebagai JC. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31/2014, rekomendasi LPSK itu harus dimasukkan jaksa dalam surat tuntutannya, tapi tidak dimasukkan oleh jaksa. Jadi, bagaimana kita bicara penegakan hukum sementara penegak hukum kita enggak merujuk pada hukum?," keluhnya.
Edwin menambahkan, saat ini Kemenkumham sedang merumuskan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang JC. Draf tersebut disusun karena sebelumnya ada amanat Presiden Joko Widodo agar ada perpres yang lebih spesifik dan rinci terkait JC. Saat penyusunan rancangan itu, kata Edwin, Kemenkumham juga melibatkan LPSK.
"Menurut saya, perpres tentang JC ini salah satu peluang agar semua pihak, khususnya aparat penegak hukum, lebih patuh terhadap apa yang ada di undang-undang," ucap Edwin. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Motor Nekat kabur)
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan, prinsip pemberian status JC ada dua. Pertama, ketika sejak awal seseorang yang dinyatakan tersangka, maka secara saksama diteliti dan dianalisa oleh penegak hukum atas peran perbuatannya apakah memiliki peran aktif maupun pasif. Kedua, komitmen serta konsistensi dari keterangan tersangka/terdakwa untuk membuka adanya peran dari pelaku utama.
"Supaya ada kesamaan persepsi, semestinya penegak hukum dari hulu ke hilir mesti duduk bareng bahas bersama soal JC ini. Dari mulai penyidik, penuntut, hakim, Kumham dan LPSK. Sehingga ada pemahaman yang sama soal kriteria dan konsekuensi pemberian status JC ini," ujar Ali. (Sabir Laluhu)
(ysw)