Sengkarut Justice Collaborator

Sabtu, 12 September 2020 - 09:02 WIB
Foto: dok/SINDOnews
JAKARTA - Sengkarut seorang pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator (JC) menyeruak di ruang publik. Dua kejadian teranyar menjadi perhatian khalayak. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) , dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) keukeuh memberikan remisi hingga berujung bebasnya dua narapidana, meski alasannya masih bias.

Bahkan penegak hukum yang menangani perkara satu narapidana memastikan tidak pernah memberikan status JC agar narapidana itu dengan singkat bisa bebas. Di sisi lain, perbedaan penafsiran antara penuntut umum dan hakim atas status seseorang menjadi JC masih menjadi persoalan pelik. (Baca: Sektor Transportasi Darat Masih Meraba PSBB Total ala gubernur Anies)

Dua kejadian tersebut yakni mantan terpidana mantan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP (purnawirawan) Raden Brotoseno akan bebas murni pada 29 September 2020, setelah sebelumnya menerima remisi serta pembebasan bersyarat (PB) sejak 15 Februari lalu. Dirjen Pemasyarakatan menyebutkan pemberian remisi 13 bulan 25 hari serta PB kepada Brotoseno karena Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) telah menetapkan status JC.

Kemudian pemilik Permai Group sekaligus mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin alias Nazar bebas murni pada 13 Agustus 2020, setelah sebelumnya menerima remisi 4 tahun 1 bulan serta cuti menjelang bebas (CMB) pada 14 Juni. Dirjen Pas menyebutkan remisi serta CMB bagi Nazar diberikan karena yang bersangkutan telah mendapatkan status JC.



Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani beberapa perkara Nazar sebelumnya memastikan tidak pernah menerbitkan surat keputusan penetapan status Nazar sebagai JC dalam kasus atau perkara apa pun. KPK hanya menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk Nazar. Surat keterangan diterbitkan KPK karena Nazar sejak proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan telah mengungkap sejumlah perkara lain dan telah membayar lunas pidana denda ke kas negara terkait perkaranya. (Baca juga: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak Berebut Jihad di Perang Badar)

Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai JC masih menyisakan banyak masalah, baik saat proses penyidikan dan pengadilan maupun saat seseorang menjadi terpidana yang kemudian mendapatkan remisi, CMB, dan PB. Menurut dia, masalah tersebut bermuara pada tidak adanya definisi yang terang dan indikator jelas seseorang disebut pelaku utama dan bukan pelaku utama. "Jadi, banyak penafsiran dari penegak hukum yang terkesan subjektif tanpa bisa diperjelas," ungkapnya.

Contoh riil, kata Kurnia, mantan terpidana Raden Brotoseno. Kejari Jaksel tiba-tiba memberikan status JC, padahal dia tidak membuka peran pihak lain dan Brotoseno terbukti sebagai penerima suap langsung. Di tahap persidangan, jaksa juga tidak menetapkan status JC serta majelis hakim tidak menyebutkan dalam putusan dan pertimbangannya tentang posisi JC Brotoseno.

Bagi dia, status JC seseorang lebih baik ditentukan oleh majelis hakim berdasarkan tuntutan penuntut umum. Jadi, harusnya tidak ada lagi status JC diberikan kepada seorang terpidana. Musababnya, batas waktu seseorang untuk kooperatif dan membuka kasus atau perkara ada di fase penyidikan dan di persidangan.

"Lembaga Pemasyarakatan tinggal baca saja putusannya ada atau tidak status JC. Kalau putusan hakimnya tidak disebutkan sebagai JC, ya sudah, berarti selama dia menjalani masa tahanan tidak ada pemberian remisi yang mengakibatkan adanya pembebasan bersyarat," ujarnya. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More